maaf email atau password anda salah


Bukti Buruknya Seleksi Komisioner KPK

Kasus-kasus etik terus menggerogoti Komisi Pemberantasan Korupsi. Panitia seleksi calon komisioner KPK sebaiknya mengulang pemilihan.

arsip tempo : 172871410532.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172871410532.

SELEKSI yang buruk akan menghasilkan pejabat yang lancung. Contohnya bisa kita lihat di Komisi Pemberantasan Korupsi. Hampir semua pemimpin lembaga tersebut tersandung perkara etik. Bahkan ada yang tersangkut dugaan korupsi dan menjadi tersangka.

Bukti terbaru adalah tuduhan pelanggaran etik dan pidana oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Ia dilaporkan ke polisi atas pertemuannya dengan mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta, Eko Darmanto, yang belakangan menjadi tersangka pencucian uang di KPK. Pertemuan terjadi pada 9 Maret 2023, sementara Eko ditetapkan sebagai tersangka pada 18 April tahun yang sama. 

Karena itulah Alexander berkelit bahwa pertemuannya bukan dengan pihak beperkara, melainkan pelapor korupsi. Ia menyebutkan pertemuan tersebut didampingi staf dan atas setahu pemimpin KPK lain. Alexander menutup mata bahwa Eko sedang bermasalah dan menjadi gunjingan publik. 

Eko disorot setelah memamerkan gaya hidup mewah sehingga dicopot dari jabatannya pada 2 Maret 2023. Nah, di sinilah kejanggalannya. Tak masuk akal jika Alexander tidak mengetahui bahwa Eko sedang bermasalah. Alasan Alexander makin tak meyakinkan karena ia enggan menjelaskan kasus apa yang diusut KPK berdasarkan laporan Eko. 

Potensi pelanggaran etik, bahkan pidana, tak akan muncul jika calon komisioner yang disodorkan panitia seleksi bentukan pemerintah dan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat betul-betul sosok yang berintegritas. Calon pemimpin KPK yang demikian tak akan didapat dari seleksi yang tidak akuntabel. Pemimpin KPK periode ini membuktikan buruknya penyaringan oleh panitia seleksi.

Lima tahun lalu, sebelum calon komisioner KPK mengerucut ke sepuluh nama, banyak pihak mengingatkan panitia seleksi untuk tak meloloskan sejumlah orang. Rekam jejak mereka yang buruk sudah terang benderang, tapi panitia seleksi tak menggubrisnya. Karena prosesnya tak transparan dan akuntabel, wajar kita curiga bahwa kesepuluh nama yang muncul merupakan hasil intervensi penguasa atau kompromi politik. 

Pada akhirnya, pemilihan mereka di DPR menjadi lima nama tak terlalu penting lagi. Siapa pun yang dipilih adalah orang yang cenderung bisa diajak main mata atau gampang disetir. Pemilihan yang berlangsung tak lama setelah revisi Undang-Undang KPK tersebut tampak seperti sebuah orkestrasi untuk menyempurnakan pelemahan KPK.

Seperti sudah diduga, pemimpin KPK pun terus disandung masalah. Sebelum mundur karena skandal pemerasan terhadap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Ketua KPK Firli Bahuri berkali-kali diadukan ke Dewan Pengawas. Di kepolisian, ia juga disangka bertemu dengan pihak beperkara dan melakukan pencucian uang. 

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar lebih dulu mundur setelah dilaporkan menerima fasilitas dan akomodasi acara MotoGP Mandalika 2022 dari Pertamina. Sebelumnya Lili terbukti melanggar etik karena berkomunikasi dengan mantan Wali Kota Tanjung Balai yang tengah beperkara di KPK. Ada juga Nurul Ghufron yang melanggar etik karena berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian untuk memutasi seorang pegawai kementerian itu. 

Gara-gara pemimpinnya bermasalah, kerusakan pun menular ke anak buah. Terungkapnya penyidik Stepanus Robin Pattuju menerima suap Rp 11 miliar pada 2022 dan pungutan liar senilai Rp 6,3 miliar oleh 15 pegawai rumah tahanan KPK merupakan sebagian contohnya. Barangkali, jikapun Undang-Undang KPK tetap direvisi, keberadaan komisioner yang berintegritas bisa menahan laju kerusakan yang lebih parah.

Karena itu, agar komisioner KPK yang baru kelak kualitasnya lebih baik dari yang sekarang, seleksinya harus bebas dari intervensi penguasa dan segala macam kompromi politik. Maka seleksi pemimpin KPK periode mendatang, yang prosesnya masih berlangsung, sebaiknya diulang. Apalagi di antara sepuluh nama hasil penyaringan panitia seleksi masih ada calon yang bermasalah. Ini bukti bahwa panitia seleksi tak sungguh-sungguh memfilter mereka.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 12 Oktober 2024

  • 11 Oktober 2024

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan