Janji Tinggal Janji Reforma Agraria Jokowi
Penerbitan sertifikat tanah ala Jokowi bukan ukuran keberhasilan reforma agraria. Tak menyentuh ketimpangan penguasaan tanah.
DI ujung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satu janji yang tidak kunjung ditepati adalah reforma agraria. Gagah berani memasukkan janji tersebut dalam Nawacita, program pemerintahannya pada 2014, Jokowi terbukti lebih condong pada investasi kelas kakap berbasis agraria dibanding masyarakat kecil, misalnya petani.
Ribuan petani dari berbagai daerah memperingati Hari Tani Nasional pada Selasa, 24 September 2024, dengan menggelar unjuk rasa di depan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Mereka menuntut pemerintah menjalankan reforma agraria sejati yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Sikap para petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat itu sudah semestinya karena mereka telah menjadi korban janji Jokowi sejak ia dilantik sebagai presiden pada 2014. Saat itu, dia berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektare. Namun, dalam praktiknya, reforma agraria itu dimanipulasi sehingga sekadar program legalisasi aset atau bagi-bagi sertifikat tanah.
Reforma agraria ala Jokowi tidak menyentuh akar persoalan, yakni ketidakadilan atau ketimpangan penguasaan tanah antara petani atau masyarakat dan pemilik modal atau badan usaha. Pemulihan ketimpangan inilah yang sejatinya menjadi agenda reforma agraria. Sedangkan legalisasi aset atau sertifikasi tanah cukuplah sebagai tugas pokok dan fungsi Kementerian ATR. Apalagi tanah-tanah itu jelas kepemilikannya dan tak ada konflik di sana.
Lain halnya dengan ketimpangan penguasaan tanah, yang semestinya didahului dengan penyelesaian konflik agraria. Setelah konflik terselesaikan, barulah reforma agraria dapat dijalankan dengan meredistribusikan tanah obyek reforma agraria. Misalnya memberikan tanah bekas hak guna usaha (HGU) perusahaan atau HGU yang ditelantarkan, mengembalikan tanah rakyat yang diklaim sebagai kawasan hutan, atau mengembalikan tanah yang dirampas sejak Orde Lama.
Jokowi tidak berfokus melakukan hal itu. Agenda reforma agraria tidak dibarengi dengan penyelesaian konflik agraria. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam dua periode kekuasaan Jokowi sejak 2015 hingga 2023, terjadi 2.932 konflik agraria di atas 6,3 juta hektare lahan. Sengketa pertanahan itu telah menggusur 1,7 juta keluarga petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat.
Hulu dari semua ini adalah pemerintahan Jokowi tak serius membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria. Tim Reforma Agraria Nasional yang dibentuk pada 2018 gagal menjalankan mandat. Pembentukan Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional sebagai penggantinya pada 2023 juga setali tiga uang. Keduanya tak efektif karena diketuai menteri koordinator. Seharusnya presiden yang langsung memimpinnya untuk mengatasi ego sektoral kementerian.
Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja kian menghambat reforma agraria. Berbagai aturan turunan dari undang-undang tersebut lebih berpihak pada investasi atas nama pembangunan. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, misalnya, membuat mudah menyingkirkan masyarakat adat dari tanahnya yang terkena Program Strategis Nasional.
Begitupun dengan Peraturan Menteri ATR Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sekilas, aturan ini terlihat mulia sebagai upaya memberikan pengakuan tanah ulayat. Padahal, dengan menerbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) untuk tanah ulayat itu, pemerintah sudah mengambil alih kewenangan pengelolaan hak atas tanah dari masyarakat adat.
Dalih pemerintah bahwa sertifikat HPL tanah ulayat bertujuan menjamin kepastian hukum dan memberikan manfaat ekonomi juga sangat mengada-ada. Bagi Jokowi, kepentingan investasi adalah di atas segalanya, tak peduli itu merampas hak ulayat rakyat banyak, apalagi sekadar janji kampanye.