Salah Prosedur Mencegah Tawuran
Pendekatan represif oleh kepolisian gagal mencegah tawuran remaja. Justru menimbulkan korban jiwa.
IBARAT tongkat membawa rebah, polisi yang semestinya melindungi remaja dari tawuran justru menyebabkan korban jiwa. Karena itu, selain memeriksa para polisi yang bertugas menghalau tawuran di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 21 September 2024, Kepolisian RI harus mengevaluasi prosedur pembubaran kerumunan oleh anggotanya.
Tujuh remaja ditemukan tewas di Kali Bekasi sehari setelah polisi membubarkan kerumunan yang hendak tawuran di Jalan Cipendawa Baru, yang melintasi sungai tersebut. Polisi menyatakan mereka tewas setelah melompat ke sungai lantaran takut ditangkap. Namun keterangan polisi yang sepotong-potong ini malah membuat penyebab kematian kian mencurigakan.
Dari banyaknya jumlah korban, patut diduga ada kesalahan polisi dalam pembubaran kerumunan remaja tersebut. Apalagi kasus tewasnya remaja dalam operasi polisi mencegah tawuran bukan pertama kali terjadi. Pada Juni lalu, misalnya, seorang remaja bernama Afif Maulana ditemukan tewas di kolong Jembatan Kuranji di Padang, Sumatera Barat, satu hari setelah polisi menghalau kerumunan yang diduga akan beramai-ramai berkelahi.
Polisi menyatakan Afif tewas setelah melompat dari jembatan karena menghindari petugas. Namun Lembaga Bantuan Hukum Padang menemukan tanda-tanda bekas penganiayaan di tubuh anak 13 tahun itu. Belum lagi kematian Afif tuntas terungkap, operasi pencegahan tawuran oleh polisi memakan korban di Bekasi.
Sebagaimana penanganan perkara Afif, pengungkapan kematian tujuh remaja di Bekasi tidak transparan. Polisi terkesan sedang menutup-nutupinya sampai sorotan publik redup. Jika polisi berniat baik, pelaporan perkembangan kasus secara terbuka justru akan membantu penanganan perkara. Masyarakat juga bisa ikut mengawal sehingga kasus tak berujung bengkok.
Penanganan perkara secara tertutup menimbulkan syak wasangka, apakah hukum betul-betul ditegakkan atau rampungnya kasus semu belaka. Jangan-jangan perkara diselesaikan dengan jabat tangan demi menjaga nama baik institusi atau melindungi personel. Pada akhirnya, selain melanggengkan kultur kekerasan, impunitas bisa menyebabkan kejadian serupa terulang.
Kalaupun betul para remaja di Bekasi tersebut tewas setelah melompat ke sungai, perlu ditelusuri apa penyebabnya sehingga mereka berbuat demikian. Apakah sekadar takut ditangkap atau menghindari kekerasan saat pembubaran. Dugaan terakhir ini tak berangkat dari ruang hampa. Selama ini, polisi cenderung melakukan pendekatan represif dalam mengatasi tawuran remaja. Bahkan pembubaran kerumunan remaja, yang belum tentu akan berkelahi, dilakukan dengan menenteng senjata api lengkap.
Karena itu, kepolisian mesti memperbaiki prosedur pencegahan tawuran. Tapi pertama-tama polisi harus mengubah pola pikirnya. Para remaja tersebut bukanlah gerombolan penjahat sehingga pendekatan represif dalam mencegah tawuran tak perlu digunakan. Akibat pola pikir dan pendekatan ini, kekerasan tak hanya terjadi saat pembubaran, tapi juga setelah para remaja tersebut ditangkap, seperti yang dialami remaja sebaya Afif Maulana di Padang.