Tak Perlu Buru-buru Memilih Pimpinan KPK
Uji kelayakan dan kepatutan serta pemilihan pimpinan KPK lebih elok dilakukan DPR baru. Tak perlu mengejar target sebelum pergantian presiden.
PANITIA seleksi tidak perlu tergesa-gesa dalam menyelesaikan proses pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi masa jabatan pimpinan KPK sekarang baru berakhir pada 20 Desember 2024. Panitia seleksi masih mempunyai waktu cukup untuk menyaring 20 calon yang lolos menjadi 10 nama.
Pansel tak perlu terburu-buru mengejar target menyerahkan nama-nama tersebut kepada Presiden Joko Widodo. Meskipun Jokowi masih mempunyai wewenang untuk mengirim 10 nama itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat, alangkah eloknya jika hal tersebut dilakukan oleh presiden baru nanti, yakni Prabowo Subianto.
Pimpinan KPK yang baru nanti bekerja pada era pemerintahan dan DPR baru. Dengan demikian, pemerintahan dan DPR barulah yang lebih punya tanggung jawab moral memilihnya, meskipun secara hukum pemerintah dan DPR sekarang punya wewenang itu. Jadi lebih baik uji kelayakan dan kepatutan hingga pemilihan dilakukan menunggu pergantian pemerintah serta DPR periode berikutnya.
Jika DPR sekarang yang memilih, anggota Dewan baru bisa lepas tangan bila kualitas anggota KPK tidak sesuai dengan harapan. Lagi pula, masa jabatan anggota DPR tinggal sebentar lagi. Kita sedang memilih sosok-sosok petarung dalam pemberantasan korupsi.
Menunda proses uji kelayakan dan kepatutan hingga DPR periode mendatang akan memberikan waktu yang cukup untuk proses pengujian secara lebih mendalam. Kita berharap Komisi III DPR yang baru akan memiliki pandangan dan penilaian lebih segar serta obyektif, tidak terjebak dalam dinamika politik periode sekarang. Dengan begitu, hasil pemilihan tidak tersandera oleh kepentingan-kepentingan saat ini.
Penundaan uji kelayakan dan kepatutan juga akan menepis anggapan serta dugaan adanya cawe-cawe Presiden Joko Widodo. Sebab, kini meruyak dugaan Jokowi mengintervensi seleksi calon pimpinan KPK. Bahkan, berembus kabar, panitia seleksi telah mengirim 20 nama calon pemimpin KPK kepada Presiden sehingga Jokowi dapat menentukan 10 nama yang sesuai dengan keinginannya.
Seharusnya panitia seleksi yang menyaring dan memilih 10 nama calon itu, lalu melaporkannya kepada Presiden. Setelah itu, Presiden menyerahkan nama-nama tersebut kepada DPR untuk mengikuti uji kelayakan. Selain itu, ada sinyalemen Komisi III DPR akan mempercepat proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK sebelum masa jabatan mereka berakhir. Semua potensi ke arah sana perlu diantisipasi.
Belum lagi sorotan masyarakat bahwa 20 nama hasil proses seleksi itu mengecewakan. Nama-nama yang punya integritas, seperti Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko dan sejumlah nama dari Indonesia Memanggil 57 atau IM57+ Institute—organisasi gerakan antikorupsi yang didirikan eks pegawai KPK—tak lolos. Justru yang lolos adalah penegak hukum dari kejaksaan serta kepolisian yang kinerja dan integritasnya meragukan.
Begitu pula empat bekas pegawai KPK yang lolos syarat umur gagal dalam tes. Salah satunya eks Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK, Herry Muryanto. Padahal mereka telah mendarah daging dalam urusan pemberantasan korupsi.
Pemilihan pimpinan KPK harus dilakukan dengan serius dan dalam waktu longgar agar benar-benar menghasilkan calon terbaik, bukan sekadar memenuhi jadwal serta tuntutan administratif. Demi mengembalikan kualitas lembaga yang menjadi garda depan pemberantasan korupsi, kita perlu memastikan bahwa seleksi dilakukan dengan hati-hati, teliti, transparan, dan akuntabel.
Dengan waktu yang cukup, panitia seleksi seharusnya bisa kembali membuka masukan masyarakat untuk mengkritisi 20 calon sebelum memilih 10 nama untuk disampaikan kepada Presiden, lalu diajukan kepada DPR. Jika perlu, masukan itu diberikan secara terbuka dan bisa diakses oleh publik.
Partisipasi publik dalam pemilihan calon pimpinan KPK ini penting demi mendapatkan sosok-sosok berintegritas dan bebas dari kepentingan politik pihak-pihak tertentu. Korupsi adalah musuh bersama. Kita tidak boleh serampangan dalam memilih orang-orang yang akan memimpin pertarungan melawannya.