maaf email atau password anda salah


Kebebalan Aparat dalam Perkara Pelecehan Seksual

Perekaman bagian tubuh sensitif perempuan tanpa izin masuk kategori pelecehan seksual nonfisik.

arsip tempo : 172575116999.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172575116999.

PERLAKUAN polisi terhadap perempuan berinisial QHC menunjukkan kebebalan yang nyata. Mereka menolak laporan korban pelecehan seksual dengan dalih yang mengada-ada.

Penolakan itu memperlihatkan polisi tidak memahami kejahatan seksual. Padahal insiden yang dialami QHC masuk kategori pelecehan seksual nonfisik, sebagaimana ditegaskan juga oleh Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta penjelasannya mengatur bentuk kekerasan seksual nonfisik, yaitu berupa pernyataan, gerak tubuh, ataupun aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan. Pelaku kejahatan ini dipidana maksimal 9 bulan penjara dan denda Rp 10 juta.

QHC, jurnalis di sebuah media online, mengadu ke kepolisian setelah menjadi korban pelecehan seksual nonfisik dalam perjalanan pulang dari Stasiun Duren Kalibata, Jakarta Selatan, ke Stasiun Jakarta Kota pada Selasa malam, 16 Juli 2024. Pria yang duduk di seberangnya, DH, 50 tahun, merekam bagian tubuh QHC secara diam-diam. 

Petugas keamanan kereta rel listrik Commuter Line yang mengetahui hal tersebut lantas memberi tahu korban, lalu memeriksa telepon seluler pelaku. Di ponsel tersebut ditemukan tujuh video korban dan sekitar 300 video porno. Didampingi petugas keamanan KRL Commuter Line, korban lalu mengadu ke Kepolisian Sektor Taman Sari, Polsek Menteng, Polsek Tebet, dan Kepolisian Resor Jakarta Selatan.

Namun polisi di empat kantor kepolisian itu menolak laporan korban. Polsek Taman Sari di Jakarta Barat dan Polsek Menteng di Jakarta Pusat berdalih lokasi kejadian bukan di wilayah hukum mereka. Mereka meminta korban mengadu ke Polsek Tebet di Jakarta Selatan. Di sini, laporan korban pun ditolak dengan alasan insiden tersebut bukan pelecehan seksual. Seorang polisi bahkan mengucapkan kalimat tak pantas kepada korban. 

Kepala Polsek Tebet Komisaris Murodih berdalih polsek tidak berwenang menangani kasus pelecehan seksual. Alasannya, di polsek tidak terdapat unit perlindungan perempuan dan anak (PPA)—satuan polisi yang menangani kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Namun, di Unit PPA Polres Jakarta Selatan pun, laporan korban tetap ditolak. Seorang polisi wanita di sini menganggap peristiwa tersebut bukan pelecehan seksual karena alat vital atau bagian sensitif korban tak terlihat dalam video.

QHC bukan satu-satunya korban yang laporannya ditolak. Di Belitung Timur, Bangka Belitung, remaja NJ bahkan sampai mengalami kekerasan seksual oleh polisi di Polsek Tanjung Pandan ketika melaporkan pencabulan yang dialaminya oleh penjaga panti asuhan. Dua kasus tersebut menunjukkan kepolisian turut menyuburkan kekerasan seksual

Indonesia sudah masuk kategori darurat kejahatan seksual. Menurut Komnas Perempuan, pada 2023 terjadi 11 pelecehan seksual setiap hari. Tapi perkara yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada tahun lalu hanya 2.078 kasus. Hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2022 juga menunjukkan banyak perempuan menjadi korban kejahatan ini. Dari total 4.236 responden perempuan, sebanyak 3.539 orang pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, termasuk transportasi umum.

Tidak semua korban kejahatan seksual seberani QHC dan NJ yang mengadukan kejadian yang menimpa mereka kepada polisi. Bahkan, setelah polisi menolak laporannya, QHC menceritakan insiden yang menimpanya di media sosial. Banyak korban kejahatan seksual justru bungkam akibat ketakutan, trauma, ataupun terpaksa “berdamai” dengan pelaku.

Karena itu, penolakan polisi terhadap laporan korban kejahatan seksual patut dikecam. Selain menunjukkan betapa cupetnya pemahaman polisi terhadap kekerasan seksual, penolakan laporan menunjukkan aparat sulit diandalkan untuk mengusut kejahatan ini.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 8 September 2024

  • 7 September 2024

  • 6 September 2024

  • 5 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan