maaf email atau password anda salah


Efektivitas Pemeriksa Fakta Melawan Disinformasi

Proyek pemeriksa fakta untuk memerangi misinformasi dan disinformasi terus bermunculan. Sejauh mana efektivitasnya?

arsip tempo : 172575127539.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172575127539.

MASYARAKAT dunia tengah dihantam badai misinformasi dan disinformasi yang menyebabkan polarisasi serta perselisihan sosial. Permasalahan ini menjadi sangat penting untuk dibahas, karena pada tahun ini, setidaknya ada 64 negara, atau hampir separuh populasi dunia, yang menggelar pemilihan umum. 

Negara-negara yang menyelenggarakan pemilu pada 2024 sebagian memiliki populasi terbesar di dunia, yaitu India (1,4 miliar), Uni Eropa (total 448 juta untuk 27 negara anggota Uni Eropa), Amerika Serikat (341 juta), Indonesia (279 juta), Pakistan (243 juta), dan Bangladesh (174 juta). Hal ini sekaligus menandai 2024 sebagai tahun pemilu terbesar dalam sejarah. 

Menurut Laporan World Economic Forum Global Risk 2024, misinformasi dan disinformasi adalah risiko jangka pendek terbesar yang dihadapi oleh negara-negara di dunia. Berdasarkan analisis tingkat keparahannya, misinformasi dan disinformasi menempati peringkat teratas untuk kategori teknologi dalam periode dampak dua tahun terakhir. Sedangkan untuk periode dampak 10 tahun, misinformasi dan disinformasi menduduki peringkat kelima. 

Demi memitigasi penyebaran disinformasi, lembaga-lembaga pemeriksa fakta terus menjamur. Graves dan Cherubini (2016) menerbitkan lanskap lembaga pemeriksaan fakta di Eropa. Inisiatif perdana diprakarsai oleh Channel 4 News di Inggris pada 2005 untuk memeriksa fakta pemilihan parlemen. Pada 2008, upaya serupa dilakukan di Prancis dan Belanda, serta pada akhir 2010, pemeriksa fakta telah aktif di sepuluh negara.

Delapan tahun kemudian, atau pada 2018, setidaknya terdapat 137 proyek pemeriksaan fakta yang aktif di seluruh dunia. Sementara itu, di Eropa, 34 sumber permanen pemeriksaan fakta politik telah diidentifikasi aktif di 20 negara, dari Irlandia hingga Turki (Graves dan Cherubini, 2016). Menurut Duke Reporter’s Lab, pada 2023, terdapat 417 lembaga pemeriksa fakta yang aktif memverifikasi informasi di lebih dari 100 negara dan beroperasi dalam 69 bahasa. 

Di Indonesia, saat ini terdapat 11 situs web pemeriksa fakta yang aktif. Sembilan di antaranya merupakan situs web pemeriksa fakta dari media arus utama (AFP, Kompas, Kabar24, Liputan6, Medcom.id, Suara.com, Tempo, Times Indonesia, dan Tirto.id), yang dijalankan oleh jurnalis profesional; satu merupakan entitas kolaboratif (Cekfakta.com); dan salah satunya adalah kelompok masyarakat sipil (TurnBackHoax.id milik Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia atau Mafindo).

Sepanjang Pemilu 2024 di Indonesia, Koalisi Cek Fakta yang terdiri atas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Mafindo, dan 19 media yang tergabung dalam koalisi menggelar pemeriksaan fakta secara langsung sebanyak enam kali.

Lima pemeriksaan fakta di antaranya dilakukan saat debat capres dan cawapres yang digelar pada 12 Desember 2023, 22 Desember 2023, 7 Januari 2024, 21 Januari 2024, dan 4 Februari 2024. Adapun pemeriksaan fakta secara langsung terakhir digelar pada hari-H pencoblosan, yakni 14 Februari 2024. Dari total lima kali debat capres dan cawapres, kolaborasi Cekfakta.com berhasil memverifikasi 133 klaim atau pernyataan, dengan total 439 artikel terpublikasi di 19 media yang berkolaborasi. 

Adapun di Inggris, untuk melawan disinformasi yang menyebar saat pemilu selama periode pemilu pada 4 Juli 2024, ada sejumlah organisasi berita terkemuka Inggris yang aktif memeriksa fakta, di antaranya BBC, Reuters, dan Channel 4 News. Sementara itu, sejumlah organisasi lain, seperti PA Media dan Fullfact.org, berkolaborasi untuk memeriksa fakta khusus pemilu melalui program Election Check 24.

Namun segenap upaya memitigasi penyebaran misinformasi dan disinformasi pemilu belum terbukti efektif mengurangi dampak negatif disinformasi pada masyarakat luas sebagai konsumen informasi. Reinero et al (2023) melakukan tiga eksperimen untuk mengukur dampak korektif pemeriksaan fakta dalam konteks pemilu Amerika Serikat. 

Hasil eksperimen itu menunjukkan bahwa keberpihakan merupakan faktor kuat yang dapat menjauhkan masyarakat dari keakuratan. Identitas partisan kira-kira 12 kali lipat lebih kuat dibanding pemeriksaan fakta dalam membentuk keyakinan tentang misinformasi. Para partisipan cenderung percaya pada koreksi yang dilakukan oleh rekan-rekannya (dalam kelompok) ketimbang koreksi dari pihak yang netral. Namun mereka cenderung mempercayai koreksi dari pihak netral dibanding pihak lain (out group).

Pada 2022, tim peneliti dari Program Studi Digital Journalism, Universitas Multimedia Nusantara (UMN), melakukan penelitian yang melibatkan 1.596 audiens situs web cek fakta yang mewakili berbagai daerah di Indonesia. Sebanyak 901 responden (60,6 persen) mengungkapkan mereka “sangat suka” konten cek fakta berupa video pendek yang dilengkapi teks, foto, dan musik latar. Sementara itu, 853 responden (60,8 persen) menyatakan “sangat suka” bentuk konten cek fakta yang disampaikan melalui siaran langsung di Instagram. 

Kedua format cek fakta tersebut—video pendek dengan musik latar dan Instagram live—lebih disukai daripada teks yang panjang. Rekomendasi dari penelitian ini telah disosialisasi kepada kolaborasi Cekfakta.com. Kanal-kanal cek fakta di media arus utama telah memperkaya konten cek fakta mereka dengan format visual. Meski demikian, upaya ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. 

Kesimpulan serupa didapatkan dari laporan survei nasional yang dipublikasikan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2023. Sebanyak 81,4 persen responden menyatakan tidak pernah membaca hasil koreksi berita bohong oleh lembaga-lembaga pemeriksa fakta. Sementara itu, 18,6 persen responden yang pernah mengunjungi situs web pemeriksaan fakta menyatakan mereka tidak terbiasa membagikan hasil koreksi berita bohong. Yang lebih mengkhawatirkan, 45,4 persen responden survei ini tidak pernah memeriksa kebenaran informasi sehingga meningkatkan paparan seseorang terhadap gangguan informasi. 

Efektivitas kerja para pemeriksa fakta masih menjadi pekerjaan rumah para jurnalis yang bekerja di ranah media arus utama. Upaya memerangi disinformasi tentu tidak boleh berkurang sedikit pun, tapi penguatan strategi dan evaluasi perlu terus dilakukan agar berdampak maksimal.

Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektiga Digital terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 8 September 2024

  • 7 September 2024

  • 6 September 2024

  • 5 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan