maaf email atau password anda salah


Paradigma Keliru Panglima TNI Melihat Papua

Panglima TNI mesti mencabut penggunaan istilah OPM untuk kelompok bersenjata Papua. Label yang memperbesar konflik.

arsip tempo : 171449079927.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171449079927.

KEPUTUSAN Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto mengembalikan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai Organisasi Papua Merdeka seperti menyiramkan bensin ke bara konflik. Penyebutan OPM akan meningkatkan eskalasi politik di Papua yang tak kunjung selesai. 

Perintah tertulis Panglima TNI yang tertuang dalam telegram nomor STR/41/2024 pada 5 April 2024 itu juga keliru secara paradigmatik dan nirsejarah. Penyebutan OPM akan menyeret konflik di Papua dari urusan kriminal dan hukum menjadi konflik politik. Menyebut kelompok bersenjata di Papua dengan OPM sama saja mengamplifikasi aspirasi merdeka mereka.

Pemerintah berulang kali mengubah istilah dan penyebutan untuk kelompok bersenjata di Papua. Semula penyebutan mereka adalah kelompok kriminal bersenjata (KKB). Istilah ini mengacu pada penanganan konflik Papua dengan memperlakukan kelompok bersenjata itu sebagai pelaku kriminal sehingga penanganannya adalah penegakan hukum oleh polisi. Pemakaian istilah KKB juga menimbang fakta bahwa 92 persen warga Papua, seperti klaim pemerintah, pro terhadap Indonesia. 

Istilah itu berubah pada 2021. Pemerintah menyebut KKB sebagai kelompok teroris sehingga penanganannya memakai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alasannya, KKB telah melakukan tindakan teror terhadap warga sipil, membakar gedung, dan menyerang aparat keamanan. Konsekuensinya, tak ada upaya damai dalam memadamkan konflik di Papua karena pemerintah tak bisa berdialog dengan kelompok teroris. 

Kini Panglima TNI mengembalikan penyebutan KKB menjadi OPM dengan alasan mereka menyebut organisasinya sebagai “tentara pembebasan”. Dasar pemikiran Jenderal Agus Subiyanto ini gegabah dan cupet. Penyebutan oleh pemerintah terhadap kelompok masyarakat mengandung konsekuensi cara menangani aspirasi mereka.

Menyebut KKB dengan istilah OPM juga menjauhkan penanganan dialog di Papua. Sama seperti penyebutan teroris, pemerintah Indonesia tak bisa duduk sama tinggi dengan satu kelompok masyarakat membicarakan kedaulatan wilayah. Maka penyebutan OPM hanya menunjukkan pemerintah Indonesia akan memakai jalan bersenjata menangani konflik di Papua.

Faktanya, pendekatan keamanan dan senjata terbukti gagal menangani problem di Papua. Cara pandang Jakarta, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan membangun infrastruktur Papua juga keliru karena tak menangkap aspirasi dan keinginan warga Papua secara menyeluruh. Untuk mengetahui masalah utama konflik Papua, pemerintah sesungguhnya tinggal membuka arsip studi lembaga-lembaga resmi.

Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) nun pada 2009 sudah menyebutkan ada empat akar masalah di Papua: status dan sejarah politik, diskriminasi, kegagalan pembangunan, serta kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, untuk menyelesaikan kegagalan pembangunan saja, solusi pemerintahan Jokowi adalah membangun infrastruktur dan menaikkan dana otonomi khusus.

Gimik-gimik itu tak akan bisa menghentikan konflik di Papua karena tak menyentuh akar masalahnya. Pemerintah, seperti berulang-ulang menjadi sikap dan seruan koran ini, pertama-tama mesti menyetop penggunaan senjata. Pengerahan militer hanya memicu konflik lebih besar dan kian mengikis kepercayaan warga Papua terhadap pemerintah Indonesia. Sebab, pemakaian senjata dan kekerasan adalah pemicu pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi akar masalah konflik.

Jalan damai dan dialog menjadi penyelesaian konflik Papua yang paling mungkin. Caranya, tarik tentara dari Papua. Penanganan konflik sebaiknya memakai pendekatan yang lebih humanis dengan mengedepankan kepolisian, Kementerian Dalam Negeri, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menyerahkan penanganan konflik Papua dengan mengedepankan tentara hanya melahirkan keputusan serampangan Panglima TNI.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024

  • 27 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan