PRESIDEN Joko Widodo harus segera menganulir regulasi yang mengeluarkan abu batu bara atau fly ash dan bottom ash (FABA) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Mengecualikan polutan ini dari kategori B3 sama artinya dengan menggadaikan keselamatan masyarakat untuk mengejar kepentingan bisnis, yang belum jelas manfaatnya bagi publik.
Melalui Pasal 459 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah mengizinkan pemanfaatan limbah non-B3 untuk substitusi bahan baku, sumber energi, atau kegunaan lainnya. Lampiran XIV aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja ini memasukkan abu batu bara dari PLTU atau kegiatan lain yang memakai teknologi selain tungku industri sebagai limbah non-B3 terdaftar.
Konsekuensi dari lepasnya abu batu bara dari kategori limbah B3 adalah penanganan dan pengelolaan yang lebih longgar. Operator PLTU atau penghasil limbah ini tidak perlu lagi mengikuti kaidah yang diatur dalam PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3 yang mempersyaratkan izin khusus, prosedur yang ketat, hingga ancaman sanksi bagi yang tidak menjalankannya.
Pemerintah berdalih tidak semua jenis FABA dikecualikan dari kategori limbah B3. Hanya abu yang dihasilkan dari sistem pembakaran bejana tertutup yang masuk kategori non-B3, salah satunya dari PLTU, karena dianggap sudah minim material berbahaya. Karena itu, limbah jenis ini diperbolehkan untuk diolah menjadi material bangunan atau bahan konstruksi.
Namun izin ini memiliki dampak yang serius, yaitu lepasnya kewajiban bagi operator PLTU atau penghasil limbah jenis ini untuk menerapkan sistem tanggap darurat pencegah pencemaran. Bagi perusahaan penghasil limbah, hilangnya kewajiban penanganan limbah berarti penghematan biaya. Apalagi mereka diizinkan untuk mengolah dan menjual hasilnya. Tapi, bagi masyarakat, ini adalah petaka.
Pengecualian abu batu bara dari daftar B3 menjadi langkah mundur dalam penanganan limbah berbahaya, sekaligus menjauhkan kita dari sumber energi bersih. Kontras dengan kebijakan negara maju yang semakin meninggalkan bahan bakar fosil, pemerintah malah memberi insentif bagi pengguna batu bara dengan dalih harga jual listrik yang murah. Jika cara ini terus berlanjut, Indonesia bakal semakin jauh dari target bauran energi terbarukan, yang mencapai 23 persen pada 2025.
Regulasi baru ini juga menunjukkan sikap pemerintah yang mengabaikan keselamatan lingkungan. Setelah limbah ini mengantongi status non-B3, perusahaan atau operator PLTU yang menghasilkan FABA tidak perlu lagi menguji kadar polusi dan racun dari material tersebut. Artinya, pemanfaatan FABA memiliki risiko besar karena tidak diketahui potensi bahayanya. Hal ini menjadi indikator bahwa pemerintah lebih mengutamakan kemudahan bagi pengusaha ketimbang bahaya yang mungkin timbul.
Tak selayaknya pemerintah mengabaikan fakta-fakta yang menunjukkan dampak negatif dari limbah batu bara. Di sekitar PLTU Cilacap, Jawa Tengah, sebagai contoh, belasan anak mengidap bronkitis akibat terpapar abu sisa pembakaran batu bara. Limbah itu pun mencemari sumber air. Hal serupa terjadi di PLTU Palu, Sulawesi Tengah; PLTU di Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat; hingga PLTU Celukan Bawang di Bali. Jika hal ini diabaikan, pemerintah sudah terlibat dalam kejahatan lingkungan.