Sudah saatnya pemerintah, dalam mitigasi bencana, memperlakukan Jakarta, juga setiap wilayah di seluruh Indonesia, seperti organ-organ yang membentuk tubuh. Laiknya yang terjadi pada tubuh, kerusakan lingkungan sebuah wilayah bisa berdampak pada wilayah lain yang jauh, entah itu kabupaten lain, provinsi, bahkan pulau lain. Mitigasi yang tak dikurung oleh batas-batas wilayah administratif kini makin diperlukan karena ancaman bencana alam terus meningkat.
Contoh bencana tak kenal batas administratif sudah banyak. Yang terbaru adalah jebolnya tanggul Sungai Citarum di Desa Sumberurip dan Desa Karangsegar, Kecamatan Pebayuran, Bekasi, pada Ahad dinihari lalu. Penyebabnya, bah di wilayah hulu karena air hujan tak menemukan jalan untuk masuk ke dalam tanah akibat lenyapnya ruang terbuka hijau. Kerusakan di hulu itu lalu ditanggung wilayah di hilirnya. Air Citarum merendam ribuan rumah serta fasilitas umum dan sosial setinggi 2,5 meter, termasuk jalur kereta api dan jalan Pantura.
Prediksi bahwa ancaman bencana alam bakal makin borderless sudah banyak diingatkan para ahli, terutama yang berkaitan dengan bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Mengutip analisis data BMKG sejak 1866 yang dipublikasikan dalam International Journal of Climatology (2016/2017), perubahan iklim di Indonesia tak hanya mengakibatkan kenaikan suhu 2,12 derajat Celsius dalam periode 100 tahun, tapi juga menjadi penyebab peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem dalam 30 tahun terakhir. Ironisnya, pada musim kemarau, kekeringan juga kian ekstrem, membuat lahan dan hutan makin mudah terbakar.
Jelaslah, pemerintah tak boleh lagi mengkotak-kotakkan upaya mitigasi bencana kepada kepala daerah, baik bupati maupun gubernur. Pemerintah pusat harus memegang kendali dalam mitigasi bencana dan upaya memperbaiki lingkungan.
Salah satu langkah penting yang perlu segera dilakukan adalah meninjau kembali semua aturan dan model pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam. Yang paling gawat adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Di balik niatnya untuk mengefisienkan investasi dan memudahkan orang berusaha, undang-undang ini bisa menjadi pemicu serius bencana lingkungan.
UU Cipta Kerja, misalnya, menghapus ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengharuskan penetapan kawasan hutan sedikitnya 30 persen dari luas daerah aliran sungai dalam rencana tata ruang wilayah. Aturan baru dengan maksud mengkonversi hutan menjadi ruang usaha ini berbahaya karena banjir pada dasarnya merupakan masalah daya serap tanah. Mengabaikan rasio tersebut sama saja dengan membiarkan air tumpah tak terkendali ke wilayah yang lebih rendah.
Undang-undang ini juga menetapkan bahwa unsur masyarakat yang dilibatkan dalam penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) hanya yang terkena dampak langsung. Padahal, dalam banyak kasus, kerusakan lingkungan di satu daerah dapat berdampak jauh hingga ke daerah lain. Dalam kasus jebolnya tanggul Sungai Citarum di Desa Sumberurip dan Desa Karangsegar pada Ahad dinihari lalu, kerusakan lingkungan yang menyebabkan hujan menjadi bah dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang berada jauh di hilir.
Peristiwa alam, seperti gempa bumi, hujan ekstrem, dan letusan gunung berapi, memang tidak bisa kita tahan. Tapi bencana yang mengikuti peristiwa alam tersebut hampir selalu merupakan akibat dari kecerobohan dalam tata kelola lingkungan. Karena itu, pemerintah mesti serius untuk secara terpadu berupaya mengembalikan daya dukung alam. Jika tidak, bencana akan terus berulang dan bahkan semakin parah.