PROGRAM vaksinasi Covid-19 harus didukung. Tapi tidak semestinya pemerintah mengancam untuk memidanakan mereka yang menolak vaksin. Bagaimanapun, setiap orang memiliki hak penuh atas tubuhnya. Tak pantas dia dipenjara karena menampik memasukkan benda asing ke badannya.
Ancaman pidana tersebut dilontarkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Hiariej, yang mengutip Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Meski ketentuan itu tidak menyebutkan vaksinasi, guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada tersebut mengatakan vaksin merupakan bagian dari kewajiban dalam karantina kesehatan. Dengan demikian, penolak vaksinasi terancam hukuman penjara maksimal satu tahun dan/atau denda Rp 100 juta.
Mewajibkan vaksin dalam usaha penanggulangan wabah merupakan cara yang lazim dan konstitusional. Sejumlah negara melakukannya. Yang tidak lazim adalah pemaksaan lewat ancaman sanksi pidana dan pemenjaraan. Selain memasung hak pribadi, pemidanaan penolak vaksin bisa berdampak luas karena menambah beban kerja yang tak perlu pada pemerintah dan aparat hukum. Padahal pemerintah semestinya menggunakan semua sumber daya untuk penanggulangan Covid-19. Belum lagi dampak sosial yang dapat diakibatkan.
Banyak cara dapat diterapkan pemerintah untuk memaksa warga menjalankan kewajiban itu tanpa pidana. Misalnya menjadikan vaksin sebagai syarat untuk mendapatkan layanan publik, seperti mendaftar sekolah, naik kendaraan umum, atau masuk ke tempat hiburan. Sanksi semacam itu sekaligus dapat menyadarkan orang bahwa, jika menolak vaksin, mereka tidak bisa berada di ruang publik karena akan membahayakan kesehatan masyarakat.
Pemerintah seharusnya menghadapi penolakan terhadap vaksin dengan kepala dingin. Apalagi penolak juga datang dari kalangan yang paham tentang kegunaan vaksin, yakni tenaga kesehatan. Survei mendapati 20 persen dari tenaga kesehatan--yang merupakan kelompok awal penerima vaksin--juga menolak vaksinasi. Data per dua hari lalu, dari 500 ribu tenaga kesehatan yang terdaftar untuk imunisasi mulai hari ini, baru 71 ribu atau 14,2 persen yang telah meregistrasi diri kembali.
Pangkal masalahnya adalah kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah. Sejak awal, pemerintah lalai dalam penanganan wabah. Saat hampir semua negara di dunia mempersiapkan infrastruktur untuk melindungi warganya dari ancaman penyebaran Covid-19 dari luar negeri pada awal tahun lalu, Indonesia malah menyebarkan Rp 72 miliar ke influencer atau pemengaruh untuk menggaet wisatawan asing masuk. Berbagai parameter menunjukkan buruknya kinerja pemerintah, dari angka kematian pasien dan tenaga kesehatan yang tinggi, jumlah tes yang tidak memadai, hingga terbatasnya pelacakan kontak.
Daripada sibuk memidanakan penolak vaksin, lebih baik pemerintah berupaya membangun kepercayaan publik. Berbagai selebrasi dan seremoni berlebihan penyuntikan vaksin kepada Presiden Joko Widodo dan pejabat tidak bisa kita sebut sebagai bagian dari ikhtiar tersebut. Raffi Ahmad, pesohor yang diundang Istana mendampingi Jokowi sebagai penerima vaksin pertama, malah memberikan contoh buruk: berpesta tanpa memakai masker dan menjaga jarak pada malam setelah imunisasi.
Pemerintah bisa mulai mempertebal keyakinan publik lewat transparansi hasil uji klinis tahap serum Sinovac yang digunakan untuk vaksinasi perdana ini. Sebab, banyak orang ragu akan tingkat kemanjuran antivirus buatan Cina itu. Pemerintah menyatakan efikasinya 65,3 persen, namun belakangan uji klinis vaksin yang sama di Brasil mendapati keampuhannya cuma 50,4 persen. Membuka hasil uji klinis bisa menjawab keraguan tersebut.
Dengan transparansi data soal pandemi, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan meningkat. Sebaliknya, mengintimidasi orang yang menolak vaksinasi malah bisa mempertebal antipati masyarakat terhadap program pengendalian wabah yang sesungguhnya amat penting ini.