Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Teka-teki perihal siapa perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia yang akan menggantikan Jenderal Idham Azis sebagai Kepala Polri akhirnya terjawab. Presiden Joko Widodo menunjuk Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai calon tunggal pemimpin Korps Bhayangkara. Segudang pekerjaan rumah Kapolri baru pun telah menanti. Salah satunya menyoal agenda pemberantasan korupsi.
Meskipun sudah mengerucut pada satu nama yang menjadi kandidat Kapolri, kritik kepada Presiden patut untuk dilayangkan. Proses pemilihan Kapolri tidak partisipatif dan tanpa melibatkan lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Direktorat Jenderal Pajak. Walaupun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, bukan berarti hal itu dapat diabaikan begitu saja. Dengan mengakomodasi masukan publik dan terbuka akan keterlibatan lembaga pengawas, proses pemilihan kandidat Kapolri menjadi tidak sekadar penilaian subyektif Presiden.
Sebelum masuk lebih jauh pada substansi persoalan, hal utama yang mesti dijadikan visi bagi Kapolri terpilih adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Selama ini Korps Bhayangkara kerap dipersepsikan negatif oleh publik. Kesimpulan itu dapat merujuk pada temuan Global Corruption Barometer tahun 2020 yang menempatkan kepolisian sebagai lembaga terkorup nomor empat di Indonesia. Berlandaskan pada temuan itu, tidak salah jika masyarakat menanti agenda reformasi kepolisian yang ditawarkan oleh Kapolri terpilih.
Dari sekian banyak masalah kepolisian, tulisan ini hanya akan berfokus pada empat hal penting yang berkelindan dengan sektor pemberantasan korupsi. Pertama, lemahnya integritas polisi. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa anggota kepolisian banyak yang terjaring praktik korupsi. Sejak 2006 sampai 2010, setidaknya sembilan perwira tinggi Polri telah diproses hukum, dari Suyitno Landung sampai Napoleon Bonaparte. Hal ini menandakan kebijakan Kapolri ke depan mesti mengarah pada pembenahan integritas anggota Polri.
Soal integritas, Kapolri mesti memperkuat dua hal utama, yakni upaya pencegahan dan penindakan. Pada aspek pencegahan, hal yang mesti dilakukan adalah memastikan seluruh jajaran Polri patuh dan benar dalam melaporkan harta kekayaan (laporan harta kekayaan penyelenggara negara/LHKPN) kepada KPK. Menurut data Indonesia Corruption Watch pada pertengahan 2019, dari 29.526 anggota Polri yang wajib lapor, 12.779 di antaranya belum melaporkan LHKPN. Padahal sudah ada Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di lingkungan kepolisian yang semestinya dapat dimaksimalkan.
Untuk penindakan, langkah progresif yang harus dilakukan adalah membentuk tim satuan tugas khusus di lingkup internal Polri. Nantinya, tim ini dikhususkan untuk memberantas praktik korupsi yang dilakukan oleh polisi. Ide ini sebenarnya bukan hal baru. Pada masa kepemimpinan Sutarman dan Tito Karnavian, wacana tersebut sempat menguat. Namun realisasi komitmen itu berlalu begitu saja. Padahal, hal ini penting, setidaknya untuk menjawab pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat: "Bagaimana mungkin membersihkan lantai yang kotor jika sapunya juga kotor?"
Kedua, menurunnya jumlah penindakan perkara korupsi. Merujuk pada anggaran yang telah digelontorkan oleh Kementerian Keuangan kepada kepolisian pada 2019, Korps Bhayangkara memiliki target untuk menuntaskan 1.205 perkara korupsi. Namun hasil yang didapatkan masih jauh. ICW mencatat, sepanjang 2019, kepolisian hanya mampu mengerjakan 100 perkara dengan 209 tersangka. Capaian tersebut juga menurun jika dibanding pada tahun sebelumnya, yang mencapai 162 perkara dengan 337 tersangka.
Tidak hanya itu, aktor yang dijerat oleh kepolisian juga tak banyak menyentuh pelaku utama dan praktis hanya pada level jabatan pelaksana. Semestinya dengan personel dan anggaran yang jauh melampaui KPK, kepolisian dapat menunjukkan kinerja maksimal dalam menindak perkara korupsi. Namun, kembali lagi, masalah tersebut hanya akan terselesaikan jika Kapolri menaruh perhatian lebih pada penanganan korupsi.
Ketiga, praktik buruk koordinasi dan sinergi dalam pemberantasan korupsi dengan KPK. Hubungan dua institusi penegak hukum ini kerap berjalan tidak harmonis. Hal itu wajar, mengingat selama ini kepolisian selalu menunjukkan ego sektoral tatkala menangani perkara korupsi yang melibatkan anggotanya sendiri. Misalnya, perkara korupsi simulator SIM yang berujung pada konflik "cicak vs buaya". Praktik ini pun kembali terulang dalam perkara yang melibatkan dua perwira tinggi Polri, Prasetijo Utomo dan Napoleon Bonaparte. Kala itu, kepolisian tak kunjung mengirimkan berkas perkara penerbitan surat palsu Joko S. Tjandra kepada KPK.
Keempat, meningkatnya anggota Polri yang menempati jabatan publik. Data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan, dalam rentang Juni 2019 sampai Mei 2020, ada sekitar 30 polisi, baik aktif maupun purna-tugas, yang menduduki jabatan publik di luar lingkungan Polri. Temuan ini mengindikasikan adanya praktik dwifungsi Polri dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi.
Hal ini patut menjadi perhatian karena praktik tersebut bertentangan dengan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian yang menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar lingkup kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Jadi, siapa pun anggota kepolisian yang ingin menduduki jabatan publik, mesti mengundurkan diri lebih dahulu. Selain itu, praktik tersebut menimbulkan persepsi negatif publik akan adanya potensi konflik kepentingan.
Pada akhirnya, keputusan untuk mengubah citra kepolisian sepenuhnya berada di tangan Kapolri. Siapa pun Kapolri terpilih, dialah yang dapat mengembalikan kepercayaan publik kepada kepolisian yang telah lama hilang.