KESIMPULAN Tim Gabungan Pencari Fakta Kekerasan dan Penembakan Intan Jaya-Papua membawa kasus pembunuhan pendeta Yeremias Zanambani kembali ke titik nol. Tim menyimpulkan ada dua kemungkinan pembunuh Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Hitadipa itu: aparat atau pihak ketiga. Tidak ada yang baru dari kesimpulan tersebut. Dua kemungkinan yang disampaikan sudah dipetakan sejak semula dan tugas tim justru membuktikan siapa dari keduanya yang merupakan pelaku sesungguhnya.
Kegagalan tim pencari fakta bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. ini sudah diprediksi. Kompetensi dan independensi tim yang anggotanya didominasi pejabat pemerintah dan Badan Intelijen Negara tersebut memang meragukan. Mereka sama sekali tidak melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan unsur masyarakat sipil, seperti akademikus dan organisasi non-pemerintah.
Kesimpulan atas kasus pembunuhan pendeta Yeremias berbeda dengan temuan atas kasus pembunuhan dua prajurit Tentara Nasional Indonesia dan seorang warga Intan Jaya. Untuk kasus ini, tim dengan tegas menyatakan pelakunya adalah kelompok kriminal bersenjata.
Pendeta Yeremias tewas ditembak pada 19 September lalu. Tentara mengatakan Yeremias dibunuh oleh kelompok kriminal bersenjata. Tapi, melihat rentetan peristiwa sebelumnya, di antaranya sweeping senjata dan pertemuan Yeremias dengan beberapa orang, banyak yang meyakini pelakunya tentara.
Hasil kerja tim pencari fakta menguatkan dugaan bahwa pemerintah sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh ingin menyelesaikan kasus-kasus kekerasan di Papua. Polanya serupa jika kita menengok ke belakang. Pada 2014, misalnya, terjadi kerusuhan yang menewaskan lima warga sipil dan menyebabkan 21 orang luka berat. Pemerintah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Papua.
Di depan masyarakat Papua, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar kasus Paniai diusut tuntas dan jangan terulang. Tapi, apa yang terjadi, rekomendasi tim agar kasusnya diselesaikan lewat jalur hukum mandek. Warga Papua tidak mendapatkan keadilan hukum seperti dalam kasus-kasus sebelumnya, Biak Numfor (1998), Wasior (2001), dan Wamena (2003).
Sebaiknya Komnas HAM memutuskan untuk juga menyelidiki pembunuhan pendeta Yeremias. Pemerintah dan tentara mesti mendukung dan memberikan akses seluas-luasnya kepada mereka. Setelah kegagalan tim pencari fakta, kita berharap tim Komnas HAM dapat mengembalikan harapan masyarakat untuk mengungkap kasus pembunuhan pendeta Yeremias sekaligus memutus rantai kekerasan di Papua.
Selain itu, hentikan niat menambah jumlah personel TNI di Papua. Itu bukan solusi. Warga Papua membutuhkan pemerintah yang mengayomi, bukan tentara yang mengokang senjata dan menebar ketakutan. Papua bukan medan perang. Jika metode represif berlanjut, kita akan semakin jauh dari cita-cita perdamaian di Bumi Cendrawasih. * * *