Penyebab Gonta-ganti Kurikulum Pendidikan

Orang tua kerap diresahkan dengan pergantian kurikulum pendidikan. Ternyata negara lain juga sering gonta-ganti kurikulum.

Tempo

Jumat, 3 November 2023

Pernyataan “ganti pemerintah, ganti kurikulum” sudah sering muncul di masyarakat. Perubahan kurikulum pendidikan seolah-olah menjadi hal yang lumrah setiap kali pemerintahan berganti.

Perubahan kurikulum sendiri merupakan siklus normal yang terjadi di banyak negara. Berdasarkan data 2020 dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)—organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar—negara-negara top performers yang terkenal dengan sistem pendidikannya juga memiliki siklus rutin kurikulum.

Sebut saja Jepang (siklus 10 tahun), Singapura (siklus 6 tahun), Finlandia (siklus 10 tahun), dan Ontario, Kanada (siklus 7 tahun). Siklus rutin ini diperlukan untuk mengkaji kembali kurikulum yang digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah kurikulum tersebut masih relevan.

Di Indonesia, sejak pertama kali diterapkan pada 1947, perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali, yaitu masa kemerdekaan dan Orde Lama (1952 dan 1964); masa Orde Baru (1968, 1975, 1984, dan 1994); serta era reformasi dan setelahnya (2004, 2006, 2013, dan 2022).

Meskipun pernyataan “ganti pemerintah, ganti kurikulum” tidak sepenuhnya salah, kebijakan pemerintah pada periode tertentu bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan kurikulum.

Sejumlah siswa mengikuti ujian Asesmen Nasional Berbasis Komputer Nasional (ANBK) di SDN Supriyadi, Semarang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Apa saja faktor-faktor penyebabnya?

1. Pengaruh sosio politik global

Perubahan kurikulum pertama yang terjadi karena faktor sosio politik global terjadi pada 1947 untuk menghapus pengaruh pendidikan Belanda. Kurikulum baru ketika itu bertujuan mereformasi sistem pendidikan dari pengaruh pendidikan Belanda pasca-kemerdekaan Indonesia serta menitikberatkan pada pendidikan karakter, kesadaran bernegara, dan sistem kesadaran masyarakat.

Indonesia mengubah kurikulum kedua pada 1968 untuk mengenalkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dalam kurikulum Indonesia. Menurut penelitian 2014 dan 2019, kurikulum ini bertujuan memperkuat akhlak, mental, dan keimanan pelajar Indonesia, serta meningkatkan kecerdasan dan keterampilan.

Kurikulum merdeka yang diterapkan pasca-pandemi Covid-19 pada 2022 juga menjadi contoh dari pengaruh sosio politik global. Kurikulum ini berfokus pada literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Hal ini salah satunya didasari oleh rendahnya nilai skor Programme for International Student Assessment (PISA)—studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia—dari siswa Indonesia menurut data OECD 2018. Dalam kurikulum ini, Ujian Akhir Nasional (UAN) ditiadakan dan diganti dengan asesmen nasional yang indikatornya dirancang untuk mengikuti standar asesmen PISA dari OECD.

2. Penguatan ideologi negara

Faktor penguatan ideologi negara dalam perubahan kurikulum salah satunya terjadi pada penambahan mata pelajaran agama di kurikulum 1952. Sebuah artikel jurnal yang terbit pada 2016 menyebutkan bahwa kurikulum 1952, yang juga dikenal dengan sebutan Rencana Pembelajaran Terurai, adalah revisi dari kurikulum 1947.

Dua penelitian yang dipublikasikan pada 2017 dan 2020 menyebutkan bahwa penambahan pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum ini mencerminkan pentingnya pendidikan agama dalam membentuk perkembangan moral dan spiritual peserta didik sebagai bagian dari ideologi negara. Kurikulum ini kembali diubah pada 1964 untuk mengembangkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme.

Penggunaan Pancasila sebagai landasan kurikulum 1968 juga merupakan bukti dari faktor penguatan ideologi negara. Selain itu, pengenalan mata pelajaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan penetapan kembali bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib pada kurikulum 1984 juga mempertegas adanya faktor penguatan ideologi negara dalam perubahan kurikulum.

3. Kebijakan dan arah pembangunan pemerintah

Pengaruh faktor ini sudah terlihat sejak kurikulum pertama 1947 dalam upaya pemerintah untuk menghapus pengaruh pendidikan Belanda. Selain itu, kebijakan desentralisasi atau penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom di era reformasi mempengaruhi kurikulum 2004 dan 2006. Kedua kurikulum ini mulai memberikan otonomi lebih kepada sekolah dan universitas untuk menyusun kurikulum operasional sesuai dengan semangat desentralisasi.

Kurikulum 2004, yang juga dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), diterapkan sebagai respons terhadap perubahan struktural sistem pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru, dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Hanya berselang dua tahun kemudian, kurikulum 2006 diterapkan pada tingkat operasional di setiap satuan pendidikan, yang berarti sekolah memiliki otonomi lebih dalam merancang kurikulumnya sendiri.

Tumpukan buku-buku paket sekolah dasar di Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima mulia

4. Dinamika di masyarakat

Perubahan kurikulum juga merespons ketidakpuasan masyarakat atas sistem pendidikan dan hasil pendidikan. Kurikulum 2013, misalnya, merupakan reaksi atas kritik masyarakat karena rendahnya hasil belajar siswa.

Selain kurikulum 2013, kurikulum merdeka lahir karena alasan serupa, yaitu siswa dianggap terlalu dibebani dengan aspek kognitif dan kemampuan siswa Indonesia yang tidak menggembirakan, terutama kaitannya dengan skor PISA.

Kurikulum merdeka memberikan kebebasan kepada sekolah untuk membuat kurikulum operasional dengan melihat konteks, sumber daya, dan kebutuhan sekolah masing-masing dengan tetap mengikuti capaian pembelajaran yang ditetapkan pemerintah.

Meski telah berulang kali ganti kurikulum, sulit untuk mengatakan bahwa perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia didasari perencanaan jangka panjang atau mengikuti siklus tertentu layaknya negara-negara top performers di atas.

Seringnya, proses reformasi kurikulum dilakukan tanpa perencanaan jangka panjang atau penyusunan strategi (blue print) yang menurut OECD memang membutuhkan waktu untuk merumuskannya. Tak mengherankan jika masyarakat telanjur percaya bahwa pergantian pemerintah akan otomatis diikuti dengan pergantian kurikulum.

Kalau sudah begitu, melihat tren dan sejarah perubahan kurikulum di Indonesia, apakah kurikulum akan kembali berganti setelah Pemilu 2024 nanti?

---

Artikel ini ditulis oleh Wendi Wijarwadi dari University of New South Wales dan Samsu Alam dari Curtin University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya