Hukum Pelecehan di Dunia Kerja
Setiap Kamis dwimingguan, Koran Tempo dan Konde.co bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, serta Kalyanamitra menyajikan rubrik Klinik Hukum Perempuan untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Edisi kali ini membahas aturan atas tindak pelecehan dan bentuk kekerasan lainnya di dunia kerja. Artikel ini juga mendapat dukungan dari International Labour Organization (ILO) dan Never Okay Project.
Tempo
Kamis, 29 September 2022
Halo, saya mendapat pelecehan di tempat kerja. Apakah ada peraturan soal ini dan apa yang saya lakukan?
Terima kasih.
Terima kasih telah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Sebelumnya, saya turut prihatin atas apa yang Anda alami. Semoga saya bisa mengurangi beban Anda dengan memberikan layanan konsultasi ini.
Maraknya kekerasan di dunia kerja akhir-akhir ini memang menjadi perhatian banyak pihak. Kekerasan ini tak hanya menimpa perempuan, tapi juga laki-laki dan ragam gender lainnya. Jika perempuan banyak terkena kekerasan seksual, laki-laki banyak yang mengalami kekerasan fisik.
Kami menyebutnya sebagai kekerasan di dunia kerja, bukan tempat kerja. Maksudnya, pekerja dapat mengalami kekerasan saat ke luar rumah, di jalanan ketika pergi ke kantor hingga pulang, atau juga saat istirahat.
Data Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, sebuah jaringan buruh yang mengadvokasi kekerasan serta pelecehan di dunia kerja, menunjukkan banyak bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi dalam dunia kerja, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Perlakuan buruk itu bisa berhubungan dengan gender, ras, bentuk tubuh, agama, kelas, usia, seksualitas, orientasi seksual, dan kekuasaan. Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja menunjukkan kekerasan tersebut berdampak negatif pada partisipasi pekerja dalam angkatan kerja dan produktivitas kerja.
Penelitian Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Worker Rights Consortium (WRC) pada 2020-2021 juga mengungkap ihwal kekerasan berbasis gender di industri fashion. Dirilis pada Juli 2012, riset itu menunjukkan bahwa hanya 12 persen buruh yang berani melawan. Kebanyakan buruh bersikap diam atas tindakan kekerasan atau pelecehan karena takut dengan atasan.
Sedangkan penelitian Never Okay Project pada 2018-2020 mencatat setidaknya terdapat 117 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di dunia kerja. Angka ini, bisa jadi, hanya yang dilaporkan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, banyak korban yang tidak bersuara atas kejadian tersebut. Apalagi data kekerasan dan pelecehan yang tersebar juga belum terdokumentasi.
Jarangnya korban melaporkan kekerasan di lingkungan kerjanya ada kemungkinan akibat belum adanya perlindungan secara khusus, baik secara hukum nasional maupun prosedur operasional standar (SOP) di tempat mereka bekerja. Kosongnya peraturan tersebut, termasuk ihwal mekanisme penyelesaian di lingkup internal, telah menimbulkan dilema bagi korban untuk melaporkan kasus yang dialaminya.
Badan Perburuhan Dunia (ILO) sebenarnya telah mengesahkan Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja serta Rekomendasi 206 pada 21 Juni 2019. Pengesahan ini menjadi momentum yang menggembirakan karena kekerasan dan pelecehan yang menimpa pekerja di seluruh dunia diakui oleh PBB serta negara-negara di dunia sebagai sebuah persoalan yang harus diselesaikan. Sebelum ada Konvensi ILO 190, sangat sulit untuk mengadvokasi kekerasan yang menimpa pekerja. Saat ini terdapat 21 negara yang sudah meratifikasi konvensi ini. Namun, amat disayangkan, pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasinya hingga sekarang.
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Shutterstock
Pentingnya Indonesia Meratifikasi Konvensi ILO 190
Konvensi ILO 190 adalah konvensi yang mengatur kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Pemerintah dan pengusaha harus menjamin tidak adanya kekerasan serta pelecehan di dunia kerja. Konvensi ILO 190 merupakan konvensi yang spesifik. Isinya tak hanya mengatur kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja, tapi juga di dunia kerja. Artinya, konvensi mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja.
Selain itu, Konvensi ILO 190 mengakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak dialami pekerja perempuan akan berimbas pada kerja-kerja mereka. Konvensi ini juga memberikan pengakuan kepada semua pekerja, tidak hanya pekerja informal, tapi juga nonformal. Mahasiswa magang dan relawan pun diakui sebagai pekerja yang punya hak seperti pekerja lainnya.
Indonesia belum meratifikasi konvensi ini. Perlindungan pekerja selama ini hanya diatur dalam peraturan umum secara nasional, seperti di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi tentang Ras dan Etnis, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun peraturan tersebut belum mumpuni khusus untuk dunia kerja.
KUHP, misalnya, memuat beberapa jenis pengaturan kekerasan seksual. Namun cakupannya pada lingkup dunia kerja sangat terbatas, seperti perbuatan asusila terhadap orang lain (Pasal 281 KUHP), penyebaran konten secara tertulis atau foto atau obyek lain yang melanggar asusila (Pasal 282 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 UHP), pencabulan (Pasal 289 KUHP), hingga menyuruh atau turut serta melakukan perbuatan-perbuatan tindak pidana (Pasal 55 KUHP).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai kekerasan berbasis gender dalam lingkungan kerja. Pasal 185 jo Pasal 82, misalnya, mengatur sanksi pidana 1-4 tahun atau denda Rp 100-400 juta bagi perusahaan yang tidak memberikan cuti melahirkan dan cuti keguguran.
Selain peraturan level undang-undang, ada level kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV.2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Surat edaran tersebut menjadi rujukan bagi pemberi kerja atau pengusaha, pekerja, ataupun instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mencegah dan menangani pelecehan seksual secara efektif.
Surat edaran menteri tersebut cukup sejalan dengan semangat Konvensi ILO 190. Di dalamnya diatur bentuk pelecehan seksual, yaitu pelecehan fisik, verbal, isyarat, tertulis, dan psikologis atau emosional. Namun, amat disayangkan, ketentuan ini sifatnya adalah pedoman sehingga tidak wajib mengikat diatur dalam peraturan perusahaan.
Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190. Dengan langkah tersebut, Konvensi ILO 190 dapat menjadi pegangan untuk menyesuaikan hukum yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Ratifikasi ini bisa melengkapi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah sangat progresif untuk melindungi korban kekerasan seksual. Dengan begitu, negara dapat menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja yang hingga kini bak fenomena gunung es.
Mona Ervita
Lawyer pada Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)