Peran Pegawai Laki-laki dalam Kesetaraan Gender

Upaya mencapai kesetaraan gender di tempat kerja terlalu berfokus pada karyawan perempuan. Perlu melibatkan pegawai laki-laki.

Tempo

Rabu, 2 Agustus 2023

Dari penggambaran budaya populer #girlboss—sering digunakan untuk menyebut perempuan pekerja keras—hingga berbagai saran dan buku tentang bagaimana perempuan seharusnya “bersandar” untuk memajukan karier mereka, diskusi tentang kesetaraan gender di tempat kerja cenderung berfokus pada bagaimana pemimpin perempuan dapat menjadi panutan untuk perempuan lainnya. Meskipun buku, nasihat, dan pelatihan-pelatihan tentang kepemimpinan di tempat kerja sering kali tampak netral gender, kebanyakan masih belum menyentuh perihal tanggung jawab pemimpin untuk mendorong inklusivitas gender itu sendiri.

Penelitian menunjukkan, untuk menciptakan organisasi yang benar-benar inklusif gender, laki-laki juga dapat, bahkan harus, menjadi panutan untuk kesetaraan gender.

Cuthbert*, pemimpin senior di perusahaan global yang saya wawancarai sebagai bagian dari penelitian saya, bisa menjadi satu contoh bagaimana laki-laki dapat membantu mendorong kesetaraan gender di tempat kerja.

Sebelumnya, dia pikir dia sudah melakukan cara yang benar dalam mendorong kesetaraan gender di kantornya, dengan cara berhati-hati agar tidak bias saat merekrut karyawan dan berusaha mendukung perempuan di kantornya dengan, misalnya, memberikan mereka bimbingan untuk pengembangan karier.

Ilustrasi suasana kantor. Shutterstock

Namun, selama sesi mentoring dengan Phillipa, salah satu mentee-nya (orang yang diberikan mentoring), Cuthbert menyarankan kepadanya untuk mencontoh perempuan lain yang bisa menjadi panutan jika ia ingin bisa memajukan kariernya.

Hampir pada waktu yang sama, Cuthbert juga membimbing karyawan laki-laki bernama Ben. Dalam salah satu sesi tersebut, Cuthbert menyarankan agar Ben menjadi panutan bagi orang lain.

Jika melihat percakapan dalam dua sesi mentoring ini, ada perbedaan nasihat yang diberikan kepada kedua mentee-nya: menemukan panutan dan menjadi panutan.

Ben dan Phillipa mungkin memang membutuhkan saran yang berbeda untuk pengembangan karier mereka masing-masing. Namun apa yang dilakukan Cuthbert secara kebetulan membuktikan kebenaran penelitian yang mengungkap bahwa perempuan sering kali dituntut untuk mencari panutan. Sedangkan laki-laki didorong menjadi panutan.

Penelitian tersebut juga mempertanyakan mengapa ada banyak buku tentang kepemimpinan perempuan, sementara literatur tentang kepemimpinan laki-laki hampir tidak ada. Ini karena kepemimpinan laki-laki sudah dianggap hal yang lumrah. Buku-buku umum tentang kepemimpinan acap kali tidak berbicara tentang bagaimana para pemimpin bisa lebih inklusif gender.

Dalam sebuah artikel pada jurnal European Management Review, saya mendefinisikan para pembawa perubahan (change-maker)—lebih populer disebut agen perubahan—sebagai orang yang memimpin organisasi mereka menuju inklusivitas. Untuk membuat perubahan dalam hal kesetaraan gender di tempat kerja, mereka perlu menyadari bahwa nasihat yang mereka berikan kepada orang yang mereka bimbing mungkin, nyatanya, masih memiliki kesenjangan dalam dimensi gender.

Hal ini berlaku baik bagi perempuan maupun laki-laki yang berperan sebagai mentor. Namun, karena laki-laki umumnya masih lebih dominan (overrepresented) menempati posisi senior di kantor, mereka berpeluang lebih besar menjadi mentor. Ini membuat semakin pentingnya mereka untuk mengetahui bagaimana menjadi pemimpin yang memimpin keberagaman gender.

Menciptakan Perubahan

Dalam buku terbaru saya, saya menjabarkan tiga perbedaan sikap laki-laki tentang kesetaraan gender di tempat kerja. Beberapa dari mereka memang telah mendukung kesetaraan gender dari dulu dan memiliki gagasan yang cukup bagus tentang apa yang harus dilakukan. Beberapa lainnya cenderung mengalami kesulitan menghubungkan antara kebutuhan akan kesetaraan gender dan capaian prestasi. Tapi ada juga kelompok ketiga, yaitu laki-laki yang ingin mempromosikan kesetaraan gender, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

Selama meneliti, saya menemukan bahwa kelompok yang ingin mempromosikan kesetaraan gender dapat memperoleh manfaat dari mempelajari cara menjadi agen perubahan untuk kesetaraan gender. Kemudian, calon agen perubahan ini bertanggung jawab menciptakan situasi yang memungkinkan mereka membuat perbedaan melalui tindakan mereka.

Hal pertama, dan penting, yang bisa mereka lakukan adalah memikirkan alasan personal dalam mendukung kesetaraan gender. Pemimpin laki-laki perlu menciptakan lingkungan yang membuka ruang bagi semua orang yang bekerja kepadanya untuk dapat mengambil tindakan yang dapat mewujudkan kesetaraan gender. Contohnya bisa dalam bentuk tindakan sederhana, seperti menegaskan pentingnya program kesetaraan gender, jika ada karyawan yang menentang gagasan tersebut.

Agen perubahan juga harus menjadi role model untuk mewujudkan kesetaraan gender di tempat kerja agar dapat mempengaruhi bagaimana karyawan lainnya bersikap dalam kaitannya dengan kesetaraan gender. Seorang role model diharapkan menunjukkan perilaku yang akan dapat ditiru orang lain.

Ilustrasi suasana kantor. Shutterstock

Mencontohkan Perilaku Inklusif

Menjadi role model bisa mencakup beragam aktivitas. Selain memberikan mentoring, seperti yang dilakukan Cuthbert dengan Ben dan Phillipa, tugas penting lainnya adalah menentang perilaku apa pun yang menghalangi upaya penyetaraan gender.

Hal ini bisa terkait dengan perekrutan karyawan, misalnya memberi peringatan jika diskusi dalam rekrutmen karyawan dilakukan dengan cara yang bias, atau jika seorang karyawan (yang bias) mencoba mempekerjakan orang lain yang mirip dengan dirinya.

Umumnya, seorang agen perubahan pun mungkin masih yakin bahwa kemampuan laki-laki dan perempuan diukur dengan cara yang berbeda. Contoh klasiknya adalah jika seorang perempuan cenderung asertif, sering kali ia dianggap agresif. Dalam sebuah rapat, misalnya, mereka mungkin juga akan merespons dengan benar komentar yang disampaikan oleh perempuan yang kerap diabaikan oleh karyawan lainnya, atau berbicara secara personal dengan seseorang yang mengabaikan komentar perempuan itu setelah rapat selesai.

Dalam beberapa situasi, menghadapi perilaku yang tidak mendukung kesetaraan gender secara langsung bisa menjadi cara yang tepat. Namun, pada beberapa situasi lain, mengintervensi secara halus bisa jadi lebih efektif. Penting bagi agen perubahan untuk memiliki keterampilan guna mencari tahu strategi mana yang digunakan dan dalam situasi apa. Inilah jalan menuju kepemimpinan inklusif.

Tentu saja para pemimpin tersebut mungkin masih melakukan kesalahan atau perlu banyak koreksi. Butuh kesabaran, karena banyak praktik, yang menimbulkan ketidaksetaraan gender di tempat kerja, sulit diubah. Namun sangat penting bagi laki-laki, bukan hanya perempuan, untuk bertindak sebagai agen perubahan dan panutan bagi kesetaraan gender, baik di tempat kerja maupun di luar lingkungan pekerjaan.

---

Artikel ini ditulis oleh Elizabeth Kelan, guru besar organisasi dan kepemimpinan University of Oxford, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya