Agar Desa Wisata Tak Sekadar Ikut-ikutan

Peneliti BRIN mendapati banyak desa wisata sekadar ikut membangun obyek viral, seperti jembatan kaca. Perlu konsep pengembangan.

Tempo

Jumat, 26 Januari 2024

Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan penuh terhadap desa untuk mengelola aset dan meningkatkan perekonomiannya. Hal ini dimanfaatkan oleh banyak desa di Indonesia untuk membangun dan mengembangkan desa wisata.

Desa wisata merupakan bentuk pariwisata berbasis komunitas yang mengedepankan konsep keberlanjutan sehingga dinilai mampu mengurangi efek buruk pengembangan pariwisata massal, yang berfokus pada kedatangan wisatawan dalam jumlah besar. Efek buruk itu termasuk berkurangnya sumber daya alam, tercemarnya lingkungan, banyaknya pengalihan fungsi lahan produktif, terjadinya eksploitasi sosial-budaya, serta meningkatnya angka kriminalitas.

Kepopuleran desa wisata terus meningkat bahkan setelah masa pandemi Covid-19. Jenis pariwisata ini dinilai memiliki resiliensi tinggi terhadap berbagai macam perubahan sosial, seperti perkembangan teknologi, perubahan daya beli masyarakat, bahkan pandemi, karena berbasis masyarakat setempat.

Hal ini meningkatkan jumlah desa wisata baru. Pada 2023, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat ada 4.674 desa wisata di Indonesia. Jumlah ini meningkat sebesar 36,7 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 3.419 desa wisata.

Pedagang melayani pengunjung di desa wisata Pasar Dusun Karet (PADUKA), Muaro Jambi, Jambi, 30 Desember 2023. ANTARA/Wahdi Septiawan

Popularitas versus Keberlanjutan

Bertambahnya jumlah desa wisata di Indonesia sayangnya belum dibarengi dengan strategi yang matang untuk mempertahankan keberlanjutannya. Desa wisata yang ada saat ini cenderung mengikuti tren sesaat.

Keinginan untuk viral dan diserbu banyak wisatawan menyebabkan banyak desa berlomba-lomba membangun berbagai atraksi yang cenderung sama, seperti jembatan kaca, sepeda tali, rumah kaca, dan berbagai obyek foto unik lain yang bukan berasal dari desa itu sendiri.

Kecenderungan ini menyebabkan banyak desa wisata hanya ramai sesaat atau bahkan tidak pernah ramai sekali. Selain itu, ketidaksiapan masyarakat lokal di bidang industri pariwisata menjadi salah satu penyebab tidak berkembangnya desa wisata. Kedua hal ini menyebabkan tujuan pembangunan desa wisata yang bersifat berkelanjutan sulit dicapai.

Desa wisata yang diharapkan dapat menjadi solusi dari buruknya pariwisata massal akan menjadi pariwisata massal juga apabila perkembangannya tidak dikontrol dengan baik. Beberapa lokasi pariwisata yang sudah viral, misalnya, mengalami berbagai macam dampak buruk, seperti sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, dan berbagai masalah lain.

Apa Solusinya?

Agar menjadi model pariwisata yang berkelanjutan, pengembangan desa wisata perlu mengedepankan cara-cara berikut ini.

1. Berfokus pada potensi lokal

Pembentukan desa wisata dapat diawali dengan mengidentifikasi potensi unik serta kearifan lokal untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata, seperti:

a. Pemandangan alam

Sumber daya alam yang unik dan menarik di desa, seperti keindahan alam, keanekaragaman hayati, gunung, sungai, danau, hutan, dan berbagai lanskap fisik, merupakan potensi alami yang tidak dapat direplikasi.

Desa Wisata Nglanggeran di Yogyakarta menjadi salah satu contoh, dengan bentang alam gunung api purba sebagai potensi yang unik dan tidak dimiliki desa wisata lain.

b. Sosiokultural

Desa dengan bangunan bersejarah atau arsitektur tradisional, kebiasaan unik masyarakat, serta tradisi atau upacara adat yang khas dapat dikembangkan menjadi desa wisata.

Dengan potensi budaya dan kultural ini, sebuah desa dapat menciptakan pengalaman wisata yang unik. Salah satu contohnya adalah Desa Wisata Penglipuran, Bali, yang memiliki aturan adat dalam mengatur tata ruang desa serta berbagai macam tradisi adat yang unik.

c. Inovasi

Potensi wisata ini memadukan potensi alam dan sosial yang dimiliki dengan berbagai inovasi agar mampu menjadi desa wisata. Pengembangan ini tidak terbatas pada pembangunan atraksi-atraksi wisata, seperti jembatan kaca dan tempat foto berbentuk love, tapi juga dapat berupa cerita yang diciptakan agar menarik. Contohnya adalah cerita mengenai bagaimana sebuah desa bertransformasi dari permukiman kumuh menjelma desa wisata dengan mengecatnya menjadi warna-warni.

Pengunjung menikmati suasana pemandangan Kabupaten Pandeglang di salah satu wisata BUMDes Kampung Domba, Pandeglang, Banten, 5 Januari 2024. ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas

2. Mengedepankan kualitas daripada kuantitas

Saat ini pengembangan desa wisata menjadi program pemerintah dan tidak semua berangkat dari potensi yang ada di masyarakat. Akibatnya, perkembangan desa wisata mengalami stagnasi karena tidak dibarengi dengan sarana-prasarana ataupun sumber daya manusia yang memadai. Karena itu, perlu dilakukan peningkatan pelayanan, keberagamaan atraksi yang ditawarkan, penguatan produk pariwisata, serta pematangan model bisnis yang ada.

3. Filling the gap dan asas sinergitas

Akan lebih baik jika setiap desa wisata memiliki satu spesialisasi yang spesifik sehingga memberikan pengalaman yang berbeda bagi para wisatawan. Pada satu area wisata gunung, misalnya, banyak bermunculan desa wisata di sekelilingnya sehingga atraksi yang ditawarkan cenderung sama. Situasi seperti ini memerlukan spesialisasi.

Caranya bisa dilakukan dengan membangun sarana-prasarana penunjang di wilayah sekitar desa wisata, bukan membuat atraksi yang sama. Dengan demikian, semua desa dapat bersinergi satu sama lain dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial antardesa wisata yang berdekatan.

4. Program multiyears

Pengembangan pariwisata jangan dianggap dapat selesai dalam waktu singkat. Manfaat sektor pariwisata berkelanjutan tidak bisa secara instan diperoleh. Pengembangan secara masif di awal belum tentu dapat berlanjut sehingga perlu pertimbangan kapasitas dan kemampuan semua elemen, baik kemampuan fisik, sosial, maupun lingkungan.

Hal ini mencakup diversifikasi produk dan kegiatan wisata yang memperhatikan keunikan alam. Setiap kegiatan tidak boleh melebihi daya dukung ekosistem. Diperlukan pembatasan jumlah pengunjung harian, tidak membangun infrastruktur secara intensif, pengelolaan limbah, penghematan energi dan air, penggunaan teknologi ramah lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat lokal untuk berperan aktif dalam praktik berkelanjutan.

5. Penguatan regulasi

Regulasi yang ada masih bersifat nasional dan mengatur secara teknis pembangunan amenitas atau fasilitas penunjang pariwisata yang ada di desa wisata, termasuk pembangunan toilet, gazebo, tempat sampah, dan papan informasi.

Belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur pembangunan atraksi-atraksi wisata dengan mempertimbangkan bahaya dari lokasi fisik wilayah yang bisa ditimbulkan. Pada desa wisata berbasis perairan atau sungai, misalnya, banyak warung di sekitarnya yang masih membuang limbah ke sungai sehingga menyebabkan sungai yang menjadi daya tarik utamanya justru tercemar.

Kondisi ini memerlukan peraturan desa yang mengatur isu-isu spesifik perihal desa wisata, seperti kepengurusan organisasi kepariwisataan, pengelolaan sampah, pembangunan atraksi wisata yang ramah lingkungan, dan isu-isu lingkungan lain yang mengganggu keberlanjutan aktivitas pariwisata.

---

Artikel ini ditulis oleh Dian Wahyu Utami, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya