maaf email atau password anda salah


Kemalangan Petani dan Ketiadaan Narasi Pemimpin

Visi-misi tiga pasang calon presiden dan wakilnya belum menunjukkan upaya sistematis memperbaiki sektor pertanian serta mengeluarkan petani dari kemiskinan. Harus ada strategi membangun resiliensi petani.

arsip tempo : 171422949442.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171422949442.

Rafnel Azhari

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas

Kemalangan petani dan pertanian sudah terjadi sejak pertanian muncul dalam peradaban. Sebagaimana dicatat oleh Vails (2004), meski kemunculan pertanian menjadi fase paling penting dalam perkembangan peradaban manusia, petani justru menjadi budak bagi peradaban yang telah dilahirkannya. Petani terus diperah untuk melayani peradaban. Sebagai aktor utama penghasil pangan, petani justru terus tertinggal dan menderita dalam deru kemajuan peradaban.

Menjadi petani berarti bertaruh dengan modal sendiri dan menanggung risiko sendiri. Risiko itu menyatu dalam pekerjaan petani sejak awal sampai akhir. Seorang senior saya di kampus bahkan mengatakan menjadi petani di negeri ini ibarat menjadi orang yang "hidup susah, mati tidak boleh". Sebab, meski menderita dalam kubangan kemiskinan, petani harus tetap ada guna menghasilkan pangan murah agar peradaban tetap menderu. 

Di sisi lain, kita dihadapkan pada ketiadaan narasi pemimpin dan calon pemimpin bangsa untuk mentransformasi sektor pertanian. Sektor ini semakin terpinggirkan dan dianggap tidak penting. Dalam struktur debat calon presiden-wakil presiden Pemilu 2024 saja, topik pertanian dan pangan ditempatkan pada sesi debat cawapres. Hal ini seolah-olah menggambarkan skala prioritas mengenai topik tersebut. 

Saat kita menengok visi-misi pangan tiga pasang calon pemimpin bangsa ini pun, kita tidak menemukan hal baru dan upaya sistematis untuk mentransformasi sektor pangan serta mengeluarkan petani dari lumpur kemiskinan. Padahal, seperti pesan Bung Karno, pertanian adalah soal hidup atau mati suatu bangsa. Posisinya amat strategis, bukan hanya dalam konteks ekonomi dan sosial, tapi juga untuk membangun ketahanan nasional.

Tekanan terhadap Petani dan Pertanian

Hasil Sensus Pertanian 2023 yang baru saja dirilis oleh Badan Pusat Statistik memberikan peringatan serius kepada bangsa ini. Petani semakin menderita, miskin, dan rentan. BPS menyebutkan telah terjadi pertambahan signifikan jumlah petani gurem di Indonesia, dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Hal ini berarti sebanyak 60,84 persen dari petani Indonesia hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare.

Petani gurem menjadi bagian dari kelompok masyarakat miskin yang sejatinya harus mendapat bantuan negara melalui berbagai skema dukungan kebijakan. Tanpa upaya serius dan sistematis dari negara, mustahil mereka bisa sejahtera dengan sendirinya. Kondisi ini kian memprihatinkan karena kita semua tahu bahwa ketimpangan di republik ini, termasuk dalam hal kepemilikan lahan, kian besar. Dalam bidang pertanahan, indeks gini Indonesia mencapai 0,59. Angka ini menunjukkan sebanyak 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini.

"Guremisasi" yang semakin parah diikuti dengan semakin menuanya sumber daya manusia di sektor pertanian. BPS mencatat sektor pertanian mayoritas atau sebesar 58 persen dilakoni masyarakat berusia di atas 45 tahun. Di sisi lain terdapat kecenderungan generasi muda semakin tidak tertarik pada sektor pertanian. 

Sensus Pertanian BPS juga memperlihatkan di Indonesia terjadi stagnasi, bahkan penurunan produksi pangan, dalam dua tahun terakhir. Sebagai contoh, produksi gabah kering giling turun dari 54,75 juta ton pada 2022 menjadi 53,63 juta ton pada 2023. Kondisi ini sejalan dengan berkurangnya rumah tangga petani yang mengusahakan tanaman padi sebanyak 2,18 juta petani pada periode 2013-2023. Pemicunya adalah kesejahteraan mereka yang terus memburuk sehingga petani mencari sumber penghidupan lain di luar sektor tanaman pangan.

Tantangan lain dalam pertanian adalah menurunnya daya dukung alam serta lingkungan. Luas lahan yang tersedia, terutama lahan yang dapat ditanami tanaman pangan, semakin terbatas. Survei Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (2021) memperlihatkan tekanan terhadap sektor pertanian dewasa ini kian banyak, seperti perubahan iklim, pandemi Covid-19, degradasi sumber daya alam, bencana alam, konflik manusia, dan kebijakan yang tidak mendukung petani.

Darnhofer (2021) dan Czekaj (2020) membagi tekanan yang dihadapi sektor pertanian ke dalam dua bentuk. Pertama adalah tekanan jangka pendek yang sering disebut sebagai guncangan, dan kedua adalah tekanan jangka panjang. Tekanan jangka pendek bisa berupa bencana alam dan bencana non-alam. Sedangkan tekanan jangka panjang berbentuk perubahan iklim, serangan hama dan penyakit, serta kebijakan pemerintah yang tidak mendukung petani. Semua bentuk tekanan tersebut ikut menyebabkan stagnasi dalam pencapaian sasaran Sustainable Development Goals (SDGs).

Tingginya tekanan dan tantangan perlu disikapi dengan upaya untuk memahami serta membangun resiliensi petani. Petani harus dibantu agar mampu bertahan, adaptif, sekaligus transformatif dalam menghadapi berbagai tekanan agar bisa lebih sejahtera. Aspek-aspek inilah yang tidak disinggung sama sekali dalam visi-misi pertanian dan pangan ketiga pasang capres-cawapres peserta Pemilu 2024. 

Membangun Resiliensi Petani

Banyak hasil riset menunjukkan resiliensi petani akan meningkat jika ada dukungan dalam membangun dan mengembangkan kapasitas serta aset petani. Upaya ini harus dilakukan secara sistematis dan dimulai secara makro. Strategi pertumbuhan ekonomi harus berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan orang miskin dan hampir miskin yang mayoritas berada pada sektor pertanian.

Namun selama ini dukungan kebijakan lebih condong ke ekonomi akumulasi tanpa mengedepankan prinsip keadilan. Padahal urusan petani adalah urusan ekonomi mata pencarian. Mereka bukan pihak yang bisa mengakumulasi kekayaan. Petani dan masyarakat miskin lain tak bisa ditempatkan sebagai pihak yang diharapkan kecipratan kue ekonomi semata. Mereka adalah elemen inti yang merupakan prioritas dalam pembangunan ekonomi nasional. 

Menyelesaikan aneka persoalan pertanian juga tidak bisa dilakukan dengan visi parsial dan berjangka pendek. Dalam konteks ini, para capres dan cawapres perlu belajar dari Cina. Di sana, para pemangku kebijakan menarasikan pembangunan pertanian secara amat sistematis, gradual, dan bervisi jangka panjang. Cina sadar kekuatan pertanian sangat berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan upaya memperkuat ketahanan bangsa.

Upaya lain yang penting dalam membangun resiliensi petani adalah keseriusan dalam riset dan inovasi serta pembangunan sumber daya petani pelaku utama pertanian nasional. Tapi tak boleh dilupakan juga bahwa strategi tersebut perlu dibarengi dengan upaya menyiapkan dan mendorong regenerasi petani. Tidak ada jalan selain melalui pendekatan pendidikan nonformal. 

Penyuluhan adalah elemen kunci dalam konteks ini. Praktik ini berperan penting dalam mempromosikan pembangunan sektor pertanian dan perdesaan, serta meningkatkan resiliensi pertanian. Penyuluhan dapat membantu mengatasi asimetri informasi atau ketidaksetaraan pengetahuan dengan menyediakan akses ke berbagai sumber informasi dan pengetahuan. Maka kelembagaan penyuluhan harus diperkuat dan dibenahi. Sudah waktunya tata kelola kelembagaan dan proses penyuluhan ditarik ke tingkat pusat dan berada langsung di bawah presiden agar perannya sebagai elemen kunci peningkatan kapasitas petani dapat berjalan dengan baik.

Derita soal petani memang bukan cerita baru, tapi bisa jadi kita belum benar-benar memikirkan dan mencari cara untuk menolong mereka. 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan