maaf email atau password anda salah


Jebakan Eksploitasi Ruang di Desa Wisata

Desa wisata terus digalakkan pemerintah. Peneliti BRIN mendapati banyak desa wisata tak autentik sehingga tak berdampak ekonomi.

arsip tempo : 171480686656.

Kampung Warna-warni Jodipan di Kota Malang, Jawa Timur. Dok. Tempo/Rizki Putra. tempo : 171480686656.

Pemerintah tidak henti-hentinya mendorong pertumbuhan desa wisata, salah satunya melalui program apresiasi Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) kepada desa yang dipilih masyarakat melalui like pada unggahan di kanal YouTube Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ADWI merupakan upaya yang dilakukan pemerintah sejak 2021 untuk mendorong transformasi desa menjadi destinasi wisata berkelas dunia dan berdaya saing tinggi. 

Tak ayal, banyak desa berlomba-lomba melakukan transformasi agar dianggap autentik dan eksotis dari kacamata wisatawan atau disebut tourist gaze. Tourist gaze adalah sudut pandang wisatawan terhadap suatu obyek atau landmark ataupun suasana yang berbeda dari kehidupan keseharian mereka. Menurut John Urry, mendiang profesor di Lancaster University, Inggris, tempat-tempat di dunia kini direproduksi menjadi tempat yang dikunjungi, digunakan, dan dikonsumsi oleh wisatawan.

Tourist gaze merupakan salah satu bentuk komodifikasi atau perubahan nilai dan fungsi suatu barang atau jasa menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi. Dalam praktiknya, tourist gaze mencari hal paling eksotis dan autentik yang eksis di desa-desa terpencil atau kampung-kampung di tengah kota besar yang kontradiktif dengan pembangunan kota.

Karya seni cukil kayu menempel di dinding permukiman Kampung Dago Pojok, Bandung, Jawa Barat, 2021. TEMPO/Prima mulia

Kampung Tematik di Malang, Jawa Timur; Kampung Kreatif di Bandung, Jawa Barat; atau Kampung Tua di Batam, Kepulauan Riau; merupakan contoh bagaimana eksistensi kampung di tengah kota justru menjadi daya tarik bagi wisatawan. Roanne van Voorst, antropolog berkebangsaan Belanda, bahkan merasa perlu membagikan pengalaman hidupnya di salah satu “kampung kumuh” di Jakarta dalam buku bertajuk Tempat Terbaik di Dunia.

Sekilas, tourist gaze tampak sebagai hal yang wajar. Namun, jika dilakukan secara terus-menerus, tourist gaze dapat menjebak desa wisata ke dalam praktik-praktik eksploitasi ruang dan budaya, yang dampaknya antara lain:

Maraknya Narasi Tiruan

Narasi tentang desa semestinya merujuk pada narasi yang dibangun dari persepsi dan pengalaman orang lokal di desa tersebut. Wisata alam dan budaya, contohnya, dapat dinarasikan sebagai “autentisitas budaya” dan “eksotisme ruang”. Autentisitas budaya merujuk pada keaslian kebudayaan baik material (kebendaan fisik) maupun non-material (nilai, kepercayaan, dan lain-lain). Sementara itu, eksotisme ruang merujuk pada bentang alam ataupun arsitektur tradisional masyarakat. Artinya, autentisitas budaya dan eksotisme ruang perlu menjadi narasi yang merepresentasikan cerita, keyakinan, dan harapan orang lokal.

Namun tekanan tourist gaze bisa menyebabkan desa wisata gagal membangun narasi yang sesuai dengan keunikan masing-masing. Penelitian yang saya lakukan pada 2022 menunjukkan, dari 24 kampung tematik yang ada di Kota Malang, Jawa Timur, hanya segelintir yang benar-benar populer dan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakatnya. Kampung Warna-warni Jodipan adalah satu dari sedikit kampung tematik yang berhasil membangun narasi relevan dengan kondisi mereka, yakni tentang “mengubah citra kumuh” menjadi “lingkungan estetik”. Sementara itu, 23 kampung lainnya hanya meniru mentah-mentah narasi tersebut.

Sebenarnya beberapa desa berhasil menciptakan narasi yang unik. Desa wisata di Sumatera Barat, contohnya, berhasil merefleksikan keberagaman dalam keseragaman melalui lanskap eksotik Rumah Gadang, kebudayaan Minang, dan nilai-nilai Islam.

Baca: Merintis Desa Wisata dari Sudut Ibu Kota

Desa-desa adat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga dapat menjadi contoh dalam membangun narasi lokal. Narasi yang dibangun bisa dibuat berbeda dari daerah lain dengan menonjolkan apa yang menjadi ciri khasnya. Desa adat di salah satu kabupaten di NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, misalnya, bisa memasukkan narasi seputar penguatan identitas atau jaringan kekerabatan masa lampau dengan Timor Leste sehingga menjadi daya tarik tersendiri.

Warga Lokal Tidak Mendapat Keuntungan

Selain menciptakan narasi seragam, tourist gaze membuat minimnya perspektif lokal dalam mengembangkan desa wisata. Jadi masyarakat lokal tidak mendapat keuntungan atau bahkan kehilangan ruang hidupnya sendiri. Misalnya, hanya segelintir warga Dayak di Kalimantan Barat yang memperoleh keuntungan dari autentisitas dan eksotisme Dayak.

Warga memang mendapat keuntungan ekonomi dari hasil penjualan suvenir, tapi hanya orang tertentu, seperti tokoh adat atau pemilik modal, yang bisa mendapat keuntungan ekonomi dan politik bagi dirinya atau kelompoknya sendiri.

Seorang penari suku dayak menari di Matantimali, Palu, Sulawesi Tengah. Tempo/Iqbal Lubis

Bagaimana Solusinya?

Pariwisata desa bukan sebatas transformasi menjadi destinasi wisata, melainkan menjamin transformasi ekonomi, sosial, dan budaya warganya. Hal tersebut membalik konsep atas desa wisata yang berbasis tempat (obyek) menuju wisata desa yang berbasis nilai (subyek).

Salah satu caranya adalah mengedepankan sudut pandang orang lokal (local people gaze) dan tidak terjebak pada tatapan wisatawan dan tuntutan industri pariwisata semata. Hal itu dimaksudkan agar paling tidak orang lokal tak tersingkir di tengah kehancuran budaya lokal atau mengalami manipulasi budaya yang mengarah pada kekaburan identitas.

Mengedepankan tourist gaze tidak menjamin keberlanjutan aktivitas pariwisata di desa, sehingga tidak ada jaminan terhadap keberlanjutan perolehan ekonomi ataupun pelestarian budaya lokal. Tourist gaze cenderung berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih autentik dan eksotis sebagai bentuk koleksi spiritual dan visual mereka. Pada kenyataannya, wisatawan mungkin tidak menaruh perhatian pada asal-usul dan makna atraksi budaya, melainkan pada hal-hal yang bersifat estetis untuk direkam dan diabadikan secara visual di media sosial.

Dengan kata lain, program pengembangan desa sebagai destinasi wisata dunia dan berdaya saing tidak bertumpu semata-mata pada pemenuhan hasrat wisatawan, melainkan pemenuhan kebutuhan orang lokal dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Artinya, program tersebut harus mengedepankan narasi, persepsi, dan pengalaman orang lokal.

---

Artikel ini ditulis oleh Rusydan Fathy, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan