Suka-suka Mewajibkan Iuran Pensiun Tambahan

Penerapan iuran pensiun tambahan wajib bakal membebani pekerja. Lebih baik mengoptimalkan dana pensiun yang sudah ada.

 

Tempo

Kamis, 12 September 2024

RENCANA pemerintah mewajibkan iuran dana pensiun tambahan bagi pekerja bisa menjadi kebijakan kontraproduktif. Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang rapuh saat ini, pemotongan gaji pekerja untuk iuran dana pensiun tambahan dapat menggerus daya beli masyarakat.

Pemerintah berencana mengeluarkan peraturan baru perihal dana pensiun tambahan wajib yang akan memotong upah pekerja. Pemerintah berdalih regulasi tersebut bertujuan meningkatkan akumulasi dana pensiun agar mencapai 20 persen dari total produk domestik bruto.

Argumentasi pemerintah jelas mengada-ada. Sebab, Otoritas Jasa Keuangan mencatat manfaat yang diterima para pensiunan saat ini masih relatif kecil, yaitu 10-15 persen dari gaji terakhir mereka. Padahal standar ideal untuk perlindungan hari tua berdasarkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) adalah 40 persen.

Tujuan iuran pensiun tambahan wajib ini memang mulia, yakni untuk jaminan hari tua. Namun pemerintah seolah-olah tutup mata dengan situasi ekonomi saat ini yang sedang lesu. Dengan demikian, memaksakan penerapan kebijakan tersebut tidaklah tepat. 

Kondisi ekonomi kita sedang terpuruk yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Terjadi deflasi—penurunan harga-harga barang dan jasa—dalam empat bulan berturut-turut pada 2024. Lalu data terbaru yang dilansir Badan Pusat Statistik menunjukkan sekitar 9 juta orang dari kelas menengah, yang ada kemungkinan menjadi target kebijakan iuran pensiun tambahan wajib ini, sedang mengalami tekanan yang mengakibatkan turun kelas dalam lima tahun terakhir.

Di tengah kondisi ekonomi seperti itu, tambahan iuran pensiun tentu akan membuat beban finansial para pekerja makin berat. Saat ini saja pekerja dan pemberi kerja sudah menanggung berbagai potongan gaji mereka, dari pajak penghasilan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, hingga iuran BPJS Ketenagakerjaan. Juga ditambah iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang rencananya mulai dipungut pada 2027.

Tambahan potongan untuk iuran pensiun bakal makin menekan pendapatan yang bisa dibawa pulang pekerja. Penurunan ini akan berdampak langsung pada kemampuan mereka memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Para pekerja yang semestinya bisa menabung untuk kebutuhan mendesak lainnya harus merelakan sebagian besar dari penghasilan mereka untuk potongan wajib tersebut.

Akibatnya, daya beli mereka juga merosot. Ketika daya beli menurun, pertumbuhan konsumsi domestik yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat. Jika konsumsi terhambat, upaya pemulihan ekonomi akan menjadi lebih lama.

Pemerintah seharusnya menunda penerapan kebijakan tersebut sampai situasi ekonomi stabil. Fokus saat ini lebih krusial jika diarahkan pada pemulihan ekonomi, yang salah satu caranya dengan menaikkan upah pekerja agar dapat membantu menjaga daya beli mereka.

Pemerintah juga perlu memperbaiki program pensiun yang sudah ada, seperti program Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, apabila dana pensiun tambahan diterapkan, akan terjadi tumpang-tindih program. Ketimbang menerapkan program pensiun baru yang akan membebani pekerja, sebaiknya pemerintah memaksimalkan program pensiun BPJS Ketenagakerjaan yang sudah berjalan. 

Ketimbang tergesa-gesa mewajibkan iuran dana pensiun tambahan, pemerintah semestinya memastikan pengelolaan dana pensiun lebih transparan dan efisien agar tidak terjadi lagi korupsi seperti di Asuransi Jiwasraya, Asabri, dan Taspen. Caranya dengan merapikan pengurusan dana pensiun dengan mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik. 

 

Berita Lainnya