maaf email atau password anda salah


Mengapa Polusi Udara Dunia Meningkat?

Garis-garis kualitas udara mengungkap tren polusi udara global yang menunjukkan ancaman tersembunyi. Data 176 kota sejak 1850.

arsip tempo : 172661236036.

Suasana pagi hari kawasan di kecamatan Naringgul, kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 5 Oktober 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna. tempo : 172661236036.

POLUSI udara merupakan ancaman tak kasatmata yang memicu malapetaka besar bagi kesehatan manusia dan iklim. Kami menciptakan garis-garis kualitas udara (dapat diakses di laman https://airqualitystripes.info), sebuah alat visual yang menangkap tren polusi udara global, untuk menunjukkan ancaman yang tersembunyi ini menjadi lebih jelas.

Terinspirasi oleh garis-garis pemanasan global milik profesor ilmu iklim Ed Hawkins, garis-garis kualitas udara menggambarkan konsentrasi materi partikel (particulate matter/PM) di 176 kota di seluruh dunia sejak 1850. Partikel-partikel kecil ini, yang sering kali lebih kecil daripada sepertiga puluh tebal rambut manusia, dapat menembus jauh ke dalam paru-paru sehingga menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

Dengan membuat polusi udara lebih terlihat, garis-garis tersebut menyediakan cara yang jelas untuk memahami bagaimana kualitas udara telah berkembang seiring dengan berjalannya waktu di berbagai wilayah.

Garis-garis baru ini menunjukkan kontras yang mencolok antara peningkatan signifikan kualitas udara di seluruh Eropa dan kemerosotan yang mengkhawatirkan di beberapa bagian Afrika serta Asia Tengah. Kota-kota seperti London, Brussels, dan Berlin—yang diwakili oleh garis-garis biru muda—menunjukkan penurunan signifikan pada tingkat PM. Perkembangan ini mencerminkan peraturan kualitas udara yang lebih ketat dan adanya kemajuan dalam mengurangi emisi.

Sebaliknya, kota-kota di Asia Tengah dan Afrika, seperti Islamabad, Delhi, serta Nairobi, digambarkan dengan warna lebih gelap, yang mencerminkan peningkatan polusi yang mengkhawatirkan. Urbanisasi yang cepat, pertumbuhan industri, dan regulasi yang terbatas telah memperburuk masalah kualitas udara di wilayah-wilayah ini, sedangkan orang-orang yang tinggal di daerah yang lebih miskin sering terpapar konsentrasi polusi yang lebih tinggi.

Pada 2021, Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan pedoman baru untuk kualitas udara, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 99 persen populasi global hidup di atas tingkat yang direkomendasikan. Garis-garis kualitas udara secara jelas menguraikan kebutuhan mendesak akan upaya internasional yang terarah untuk mengatasi krisis polusi ini.

Pembuatan garis-garis kualitas udara melibatkan lebih dari sekadar menggambarkan tren—hal itu melibatkan penangkapan kompleksitas polusi udara. PM berasal dari sumber alami dan buatan manusia.

Faktor alam, seperti debu gurun, kebakaran hutan, dan aktivitas gunung berapi, sudah ada sebelum revolusi industri. Aktivitas manusia, seperti industri, pertanian, dan emisi kendaraan bermotor, merupakan faktor yang signifikan, terutama di wilayah perkotaan.

Kami mengamati pengaruh sumber daya alam di beberapa wilayah. Misalnya kota pesisir seperti Jakarta menunjukkan tingkat partikulat yang lebih rendah daripada tingkat yang diperkirakan. Hal ini ada kemungkinan terjadi karena pengaruh angin laut. Sebaliknya, wilayah dekat gurun atau yang kerap mengalami kebakaran hutan sering menunjukkan konsentrasi PM yang lebih tinggi, yang tecermin dari garis-garis yang lebih gelap.

Di antara 1990 dan 2021, kematian akibat PM meningkat hingga 93 persen. Seiring dengan membaiknya faktor-faktor lain yang mempengaruhi mortalitas, polusi udara menjadi masalah yang makin kritis.

Salah satu aspek yang menarik dari garis-garis kualitas udara adalah jangkauan historisnya. Kami menggabungkan data dari simulasi komputer dan pengamatan satelit untuk memperkirakan konsentrasi PM kembali ke masa revolusi industri. Perspektif jangka panjang ini penting untuk memahami bagaimana aktivitas manusia telah membentuk kualitas udara selama berabad-abad.

Namun analisis historis ini menghadirkan tantangan. Data awal terbatas dan sering bersifat anekdot. Misalnya kami memperoleh wawasan dari analisis lukisan Claude Monet, yang menggambarkan langit London dipenuhi kabut asap pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Interpretasi artistik ini tak hanya memberikan konteks yang berharga, tapi juga menyoroti keterbatasan catatan kualitas udara awal. Meskipun saat ini kita memiliki jutaan pengamatan dari satelit yang merinci tingkat polusi dan pola cuaca yang membawanya ke seluruh dunia, ini hanyalah pengamatan yang relatif baru.

Untuk titik data awal, kita harus mengandalkan inventaris emisi historis sebagai titik awal untuk memperkirakan profil konsentrasi PM tahunan. Basis data ini digunakan untuk mensimulasikan model iklim generasi saat ini.

Warna Polusi

Tantangan utama adalah memilih skema warna yang secara akurat mewakili data. Kami memilih gradien dari biru muda ke hitam. Biru muda melambangkan udara bersih, sedangkan hitam menandakan tingkat polusi yang tinggi. Kami berkolaborasi dengan pakar visualisasi, Ethan Brain, yang menganalisis lebih dari 200 gambar daring dengan tag "polusi udara" untuk mengidentifikasi palet warna yang paling sesuai.

Alat visual yang dihasilkan akurat secara ilmiah dan mudah dipahami semua orang. Richard Rigby, insinyur perangkat lunak peneliti dari Pusat Permodelan dan Komputasi Lingkungan di Universitas Leeds, membantu menghidupkan garis-garis tersebut melalui situs web interaktif. Garis-garis tersebut menyaring data kompleks ke dalam format yang langsung dapat dikenali, membantu meningkatkan kesadaran tentang kondisi kualitas udara global.

Garis-garis kualitas udara lebih dari sekadar visualisasi data. Garis-garis tersebut merupakan ajakan untuk bertindak. Dengan membuat polusi udara terlihat, kami berharap dapat menyoroti kemajuan dan menghadapi tantangan yang sedang berlangsung. Kontras yang mencolok di antara wilayah-wilayah mengingatkan kita bahwa terdapat ketidakadilan lingkungan yang besar. Sementara beberapa bagian dunia bernapas lebih lega, bagian-bagian lain menghadapi kondisi lingkungan yang makin beracun.

Transisi menuju nol emisi bergantung pada penghentian penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan pembangkit listrik. Hal itu juga akan meningkatkan kualitas udara secara drastis.

Artikel ini ditulis oleh Jim McQuaid, profesor komposisi atmosfer, University of Leeds, Inggris; Kirsty Pringle, ilmuwan atmosfer dan manajer proyek Software Sustainability Institute, The University of Edinburgh, Inggris; serta Sam Illingworth, profesor pedagogi kreatif, Edinburgh Napier University, Skotlandia. Terbit pertama kali di The Conversation dan diterjemahkan oleh Avit Hidayat dari Tempo.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan