Christina Sugihwati menganggap perjalanan ke Spanyol pada Oktober lalu adalah titik baliknya untuk mengendalikan emosi di hadapan Cedric, anak semata wayangnya yang baru berusia 3,5 tahun. Ia memanfaatkan perjalanan seorang diri itu untuk menyalurkan energi negatif yang sering membuatnya depresi sejak awal masa pernikahannya.
"Perjalanan itu untuk runaway. Semua aku ungkapkan saat jalan sambil mengingat-ingat apa yang salah," kata dia di Komunitas Nujuh Bulan, Bintaro, Tangerang Selatan, Ahad lalu.
Pada perjalanan selama 35 hari itu, Utine-sapaan akrab Christina-membayangkan kembali trauma masa kecilnya. Kala itu, dia baru berusia lima tahun dan belum mengenal cara mengendalikan emosi. Utine cilik hanya mengenal rasa sakit ketika ayahnya memukuli dia dengan sapu lidi karena sebuah kesalahan kanak-kanak. Kejadian yang berulang itu membuat Utine selalu ingin menghindari ayahnya.
Pengalaman itu semakin traumatis karena sang ibu hanya diam setiap kali sang ayah melayangkan pukulan. Utine tak bisa memprotes. Ia hanya ingin menghindari rasa sakit. "Makanya, setiap ada masalah dalam hidup, aku enggak berani menghadapi karena takut merasa sakit," kata dia. Utine beberapa kali melarikan diri dari rumah, berniat untuk bunuh diri, hingga menyobek kulitnya sendiri.
Harapan Utine bahwa pernikahan dia pada 2005 dapat mengobati trauma masa lalu juga ambyar. Sebab, tabiat suaminya tak jauh berbeda dari ayahnya: suka memukuli setiap kali melampiaskan kemarahan. Tak kuasa untuk melawan suami, Utine menemukan sasaran yang lebih tak berdaya. "Aku selalu menampar Cedric ketika aku merasa kesal dan enggak bisa mengendalikan emosi," kata perempuan berusia 33 tahun itu.
Utine mencoba lari dari kenyataan dengan bepergian jauh dari rumah. Termasuk di antaranya pergi ke Bangkok, Thailand, dan Marseille, Prancis. Tapi, kedua perjalanan itu terasa hambar dan kosong. "Aku tahu pemandangannya indah banget, tetapi aku enggak fulfillment," ujarnya.
Belakangan, Utine mendapat saran untuk bertemu dengan seorang psikolog. Dari psikolog tersebut juga ia berkenalan dengan Komunitas Nujuh Bulan, komunitas yang bergerak di bidang konseling dan persalinan.
Di hadapan puluhan ibu muda anggota Komunitas Nujuh Bulan, Utine menceritakan lagi bagaimana perjalanan ke Spanyol memberi dia pengalaman dalam mengendalikan emosi. Selama travelling, Utine mengkonversi energi negatif yang membuatnya depresi. Kuncinya, alih-alih mencari kepuasan, perjalanan ke Spanyol dia gunakan untuk mengingat kembali masa lalu dan menyadari pola mentalnya. "Sekarang aku disuruh untuk mencari konflik supaya pola mental aku berubah," kata dia.
Sepulang dari Spanyol, Utine mulai memberanikan diri untuk meminta maaf atas kegagalan pernikahan kepada kedua orang tuanya. Menurut dia, kegagalan itu telah membuat kecewa orang tuanya. "Sampai saat ini aku masih di-cuekin, tapi aku mulai bisa mengelola emosi," kata dia.
Utine kini tidak pernah lagi menjadikan Cedric sebagai sasaran kemarahan. Sebagai single parent, dia juga mengajari anaknya mengelola emosi ketika menghadapi berbagai persoalan di lingkungan bermain dan keluarganya.
Seorang ibu muda lainnya, Fadyah Syifa Hasbian, memiliki pengalaman berbeda. Pada 2015, ia mendapati suaminya berselingkuh ketika anaknya, Lovy, baru berusia 5 bulan. Fadyah lalu mengambil keputusan untuk pisah ranjang. Bukannya introspeksi diri, suaminya malah berselingkuh lagi dengan perempuan lain.
Mengetahui selingkuhan suaminya hamil, pada Agustus 2016, Fadyah meminta bercerai. "Kurang-lebih setahun saya menjadi single parent, akhirnya saya mengajukan cerai ke pengadilan," ujar perempuan yang bekerja di perusahaan swasta di Cipondoh, Tangerang, tersebut.
Fadyah mengangap kegagalan pernikahannya itu sebagai aib. Tapi, ia tak bisa menanggung masalah itu sendirian. Fadyah pun menghubungi teman-temannya untuk mencurahkan unek-unek. Salah seorang temannya mengajak dia bergabung dengan Komunitas Single Parents Indonesia, yang semula berbasis di Yogyakarta.
Bergabung dengan Komunitas Single Parents Indonesia cabang Jakarta, Fadyah berkenalan dengan beberapa perempuan yang juga menjadi korban perceraian. Selain mendapatkan teman untuk berbagi cerita, di komunitas itu Fadyah menemukan cara baru untuk mengalihkan emosinya: menulis. Kebetulan pula, Fadyah pernah berkuliah di jurusan sastra Indonesia.
Fadyah lalu membuat akun blog bernama Lovy dan Momma’s Story. Lewat blog itu dia berbagi pengalamannya sebagai single parent. "Saya menulis pengalaman dan cara saya mengatasinya," kata dia. Fadyah berharap para pembaca blognya yang memiliki pengalaman kurang-lebih sama bisa saling menguatkan. "Matahari tercerah datang setelah badai terparah," kata Fadyah yang kini menganggap Lovy menjadi salah satu sumber kebahagiaan.
Akhir-akhir ini, masalah gangguan kesehatan mental ibu-ibu kembali menjadi sorotan. Pemicunya, antara lain, pada September lalu seorang ibu berusia 29 tahun tega membunuh bayinya yang berusia tiga bulan di Kota Bandung, Jawa Barat. Si ibu mengaku nekat membunuh anaknya karena tertekan dengan kehidupan rumah tangga dan sering bertengkar dengan suaminya.
Sebulan berselang, seorang ibu muda menganiaya anak kandungnya yang berusia dua tahun di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Pendiri Komunitas Nujuh Bulan, Tia Pratignyo, mengatakan apa yang dialami Utine dan para ibu muda itu hanya satu dari sekian persoalan yang sering dihadapi pada awal masa pernikahan atau masa-masa awal memiliki anak. "Problem kesehatan mental sedang marak, ditambah eksposur media sosial yang juga tinggi," ujar dia.
Menurut Tia, sebagian perempuan pada awal masa pernikahannya menanggung beban berat ketika berhadapan dengan mertua dan lingkungan sosial barunya. Komunitas Nujuh Bulan antara lain hadir untuk mendengar keluh-kesah ibu-ibu bermasalah tersebut. Tia percaya bahwa kesempatan berkeluh-kesah bisa membantu perempuan mengurangi risiko depresi. "Semakin berbagi, kita semakin merasa bahwa kita tidak sendiri," kata dia.
Komunitas Nujuh Bulan sering mengadakan sharing session bertajuk "Inspirasi Ibu". Melalui acara itu, anggota komunitas bisa saling mendengarkan kisah serta memberi dukungan untuk bangkit dari keterpurukan. "Kami yakin selalu ada pelajaran sehingga ada hikmah dari cerita-cerita itu. Kami percaya bisa saling menguatkan satu sama lain," kata dia.
Berdasarkan cerita yang terungkap dalam sesi berbagi, menurut Tia, gangguan kesehatan mental ibu-ibu sering berkaitan dengan perannya sebagai ibu rumah tangga. Banyak faktor yang bisa membuat perempuan muda depresi. Pemicunya merentang dari urusan air susu ibu yang tersendat, adaptasi seorang ibu dengan anaknya, perbedaan pola pengasuhan anak oleh keluarag suami dan istri, konflik antara suami dan istri, hingga panasnya hubungan dengan mertua.
Akumulasi pelbagai masalahan yang dihadapi para ibu, menurut Tia, bisa memicu depresi yang berakibat pada terganggunya pengasuhan kepada anak. "Masalahnya, di Indonesia, kami mau ngomong saja susah." Padahal, kata Tia, ketika ibu yang menghadapi masalah memilih diam, efek jangka panjangnya jauh lebih buruk.
Yasin Malenggang, pendiri Komunitas Single Parent Indonesia, mengatakan hal senada. Permasalahan yang dihadapi orang tua, menurut dia, bisa menurun ke anak-anaknya. "Bercerai itu seperti diwariskan. Anak-anak menyerap konflik dan permasalahannya. Ketika menikah, mereka bisa berpikir bahwa perceraian merupakan solusi," kata dia mencontohkan.
Untuk mencegah pewarisan masalah itu, Komunitas Single Parents bekerja sama dengan pemerintah daerah membuat program bertajuk "Pahami Cerai Sebelum Nikah".
Komunitas Single Parents memberi ruang percakapan bagi setiap anggotanya. Komunitas itu kerap menghadirkan psikolog atau konsultan dari perguruan tinggi untuk membantu anggotanya mengenali gejala depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya. Di samping melalui pertemuan tatap muka, percakapan sesama ibu single parent juga terjadi di grup-grup percakapan WhatsApp yang telah mewadahi perempuan dari 16 kota di Indonesia.
Yasin menambahkan, Komunitas Single Parents, juga dibentuk untuk mewadahi ibu-ibu single parent yang sempat mendapat persekusi dari lingkungan sosialnya. "Stigma masyarakat atas kegagalan pernikahan, terutama untuk perempuan, membuat beban psikologis lebih besar," kata dia. Berbagi cerita sesama korban, menurut Yasin, bisa mengurangi trauma masa lalu itu. ARKHELAUS WISNU
Berbagi cerita demi Memupus Trauma