Muninggar Witin, 39 tahun, belum bisa melupakan masa kecilnya yang berbeda dari kebanyakan anak-anak. Dia tak pernah merasakan kehangatan tidur bersama ayah dan ibunya secara berbarengan. Setiap malam, Muning kecil harus memilih tidur bersama ayah atau ibunya. "Hubungan ibu dan bapak saya sudah tidak bagus sejak awal," kata dia ketika membagikan pengalamannya, Ahad lalu. Ketika Muning berusia 4 tahun, ayah dan ibunya resmi bercerai.
Muning kemudian tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Bagi dia, fase kedua kehidupannya itu ibarat neraka. Muning takut bertemu dengan ayah dan sang ibu tiri yang kerap merundungnya. Ia tertekan hingga memasuki masa remaja, ketika duduk di bangku sekolah menengah atas.
Setelah lulus SMA, Muning melanjutkan kuliah di program studi Sarjana Kriya Institut Teknologi Bandung. Namun pengalaman buruk di rumah selalu menghantuinya. Muning pun mengambil cuti kuliah untuk mengobati depresinya. "Bertemu dengan sejumlah psikiater, aku hanya dikasih depresan, penenang, dan obat tidur," kata dia. "Aku seperti maneken yang enggak berfungsi apa-apa."
Muning sempat berkali-kali berniat bunuh diri dengan melompat dari atap rumah. Ia pernah meminum obat tidur dengan dosis tinggi dan menyayat pembuluh darah di tangannya.
Beruntung, Muning bertemu dengan seorang psikolog di Jakarta yang lebih memahami masalahnya. Sang psikolog bertanya kepadanya, "Apa yang membuat kamu bahagia?" Muning menjawab, "Melukis." Sang psikolog pun menyarankan agar Muning kembali menekuni hobi melukisnya.
Ketika melukis, Muning diminta menikmati setiap gerakan dan sapuan kuasnya. Energi yang terbuang untuk melukis perlahan membuat dia lebih mudah tertidur. Muning bisa tertidur pulas setelah delapan tahun menderita skizofrenia.
Masalah baru datang ketika Muning menyatakan keinginan untuk menikah. Bagi ibunya, pernikahan adalah kesia-siaan. "Kamu ngapain nikah? Suatu saat, suamimu akan meninggalkan kamu sama seperti Papah ninggalin Mamah," kata Muning menirukan pesan ibunya.
Kala itu, Muning sempat menyadari gejala depresi hendak datang lagi. Saat itulah ia kembali mencari kuas dan kanvas. Bagi Muning, melukis adalah sarana untuk menyalurkan stimulus dari luar yang bisa memicu depresinya. Keluarga besar pun akhirnya merestui rencana pernikahan itu. Muning menikah pada usia 29 tahun.
Muning tak mau perjalanan keluar dari depresi hanya menjadi pengalaman pribadi. Muning lantas membentuk komunitas Art Therapy sebagai sarana untuk berbagi kepada sesama ibu-ibu dan istri muda yang mengalami depresi. Di Omah Wulangreh, Pejaten, Jakarta Selatan, kini Muning membuka konsultasi rutin pada Rabu dan Sabtu setiap pekan. "Aku melihat akhir-akhir ini makin banyak orang yang memerlukan stress release," ujarnya. ARKHELAUS WISNU