Memotret telah menjadi kegiatan harian yang mengasyikkan bagi banyak orang. Dengan semakin majunya teknologi kamera ponsel pintar, aktivitas fotografi pun semakin mudah dilakukan, tanpa perlu membeli kamera khusus. Hasil jepretannya bisa langsung diunggah dan disebar dengan mudah via media sosial. Kelas-kelas pelatihan fotografi ponsel pun bermunculan dan ramai diikuti para fotografer smartphone amatir.
Antusiasme terhadap fotografi amatir menggunakan ponsel terasa jelas di Museum Kota Bandung pada 8 Desember lalu. Hari itu, sekitar 30 orang serius menyimak paparan narasumber workshop fotografi di gedung belakang museum. Sedangkan di lantai atasnya, belasan orang lainnya tampak santai. Kadang mereka riuh berkerumun di sudut ruangan untuk berfoto bersama dengan latar puluhan foto aneka kuliner.
Mereka adalah para anggota Kompakers Bandung yang tengah merayakan ulang tahun kelima komunitas tersebut. Pada 7-9 Desember lalu, mereka mengadakan acara istimewa berupa pameran foto yang diselingi kelas pelatihan memotret.
Acara berjudul TA5TE itu bercerita tentang keragaman kuliner di Jawa Barat. Sejak September lalu, seluruh anggota komunitas itu memburu seratus lebih jenis makanan dan minuman dari Bogor, Bandung, sampai Kuningan dan Cirebon.
Selain doyan menyantap kuliner, para anggota komunitas ini memang tergerak untuk memotret ragam makanan dan minuman di Jawa Barat, di rumah masing-masing. Penataan yang cantik dengan pencahayaan ciamik membuat gambar foto mereka bak karya profesional, sekaligus menggugah selera. Sebagian foto yang kemudian dihimpun dalam buku berjudul TA5TE itu menjadi dokumentasi kekayaan lokal.
Pameran tahunan pada saat hari jadi seperti itu juga membuka akses bagi publik untuk menyaksikan karya kaum ibu di lingkungan urban.
Tema kuliner menjadi ciri khas Kompakers Bandung. Komunitas bentukan Puti Alya Dewi pada 2 Desember 2014 itu tergolong unik. Kompakers kini beranggotakan 122 orang dan semuanya kaum hawa. "Karena pada awalnya semua memang perempuan yang bergabung," kata Puti saat ditemui Tempo di lokasi pameran.
Nama Kompakers merujuk pada kekompakan para anggota yang senang memotret tema tertentu, umumnya seputar kuliner. Hasilnya lalu diunggah bersama ke grup Instagram komunitas secara rutin. "Anggota follow akun @uploadkompakan, kemudian setor foto sebanyak lima kali, menggunakan hashtag #kompakersbdg," kata Puti. Karya foto unggahan yang dinilai bagus biasanya disertai catatan "belakang layar" soal teknis dan cerita pengambilan foto.
Kompakers bernaung ke akun @uploadkompakan. Selain di Bandung, Kompakers menyebar ke tempat lain hingga Eropa dan Qatar. "Bandung paling banyak dan aktif anggotanya," ujar Puti.
Berbagi informasi seperti itu menjadi ruang belajar para anggota, di samping pelatihan-pelatihan kecil pada pertemuan anggota sebulan sekali. "Tempatnya bergantian di kafe atau resto tiap akhir pekan." Karena sasaran obyek fotonya soal kuliner, pengelola tempat mau bekerja sama dengan memberikan potongan harga.
Anggota Kompakers Bandung berasal dari beragam kalangan. Usia mereka beragam, mulai 30 tahun hingga 60 tahun. Sekitar 60 persen dari mereka adalah ibu rumah tangga. Sebagian lagi ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, guru, atau dosen. Mayoritas bermukim di Bandung dan sekitarnya. Sebagian lagi anggotanya tersebar di Jakarta, Purwakarta, hingga Surabaya. Biasanya, mereka sebelumnya pernah tinggal di Bandung, lalu pindah kerja atau ikut suami, tapi tetap bergabung dalam Kompakers Bandung.
Keguyuban itu, kata salah satu anggota komunitas, Dinar Nurnaningsih, terasa sejak awal dia bergabung pada 2014. Saling bertukar kabar di media sosial, para anggota pun sempat mengadakan arisan. Kegiatan lain yang rutin mereka lakukan misalnya bersepeda hingga ikut acara off-road bersama. Pertemuan sebulan sekali juga diselingi cara membuat kerajinan tangan, sabun, dan kue agar tak suntuk soal fotografi.
Menurut Puti, fotografi menjadi hobi para ibu rumah tangga di sela kesibukan urusan domestik. Dinar dan rekannya, Widaningsih, mengakui hal itu. Mereka awalnya tertarik oleh foto-foto anggota yang lebih dulu bergabung. Dinar ikut mengirim foto berbekal kamera smartphone. "Tadinya enggak suka motret, lama-lama jadi ketagihan setor foto tiap hari," kata perempuan berusia 36 tahun itu. Sedangkan Widaningsih makin kepincut memotret setelah belajar menggunakan kamera milik suaminya. "Kalau orang lain bisa, saya juga mungkin bisa," ujarnya.
Kini, mereka termasuk anggota Kompakers yang merasakan gurihnya memotret kuliner. Ada penghasilan yang masuk dari foto karya mereka tentang produk dan menu makanan. "Ada 20 klien tapi bukan perusahaan besar," kata Dinar. Soal omzetnya mereka enggan menyebutkan. Tarifnya, menurut Widaningsih, beragam dan berdasarkan sistem paket. Gara-gara banyak menerima pesanan itu, kini mereka harus melakukan persiapan matang sebelum memotret, sematang makanan menjadi obyek foto.
Meskipun komunitas ini bersifat bebas dan tanpa iuran, setiap anggota harus mematuhi beberapa rambu. Di antaranya adalah foto harus asli karya sendiri dan selalu baru. Kemudian, saat mengirim ke media sosial, anggota hanya boleh mengunggah satu foto. Gambarnya juga dilarang memuat anggota tubuh kecuali jari tangan, atau menyinggung suku, ras, agama, dan golongan. Tabu lainnya adalah memotret minuman beralkohol, rokok, patung, boneka, binatang, dan makanan non-halal. ANWAR SISWADI