Homepage
  • login/register
  • Home
  • Berita Utama
  • Editorial
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Internasional
  • Olahraga
  • Sains
  • Seni
  • Gaya Hidup
  • Info Tempo

koran tempo

30
Januari
2021
Dukung Independensi Tempo
  • Home
  • Berita Utama
  • Nasional
  • Ekonomi
  • Metro
  • Sains
  • Editorial
  • Opini
  • Info Tempo
  • Cari Angin
SebelumnyaTamu 1/1 Selanjutnya
Tamu

Kuwat Triyana: Enggak Apa-apa Mengkritik GeNose, Nanti Kita Buktikan

Tim dari Universitas Gadjah Mada kini tengah berburu dengan waktu untuk memenuhi permintaan GeNose, alat pendeteksi Covid-19 lewat embusan napas, yang mereka kembangkan. Alat ini bisa mendeteksi virus corona dengan biaya jauh lebih rendah dari pada tes lain.

Edisi, 30 Januari 2021
Profile
Dian Yuliastuti
Ketua tim pengembang alat deteksi covid GeNose Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuwat Triyana di Yogyakarta, 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia
  • - GeNose adalah alat pendeteksi Covid-19 lewat embusan napas.
  • - Alat ini dikembangkan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada. .
  • - Estimasi biaya tes Rp 15-25 ribu per orang.

Tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kini tengah berburu dengan waktu untuk memenuhi permintaan GeNose, alat pendeteksi Covid-19 lewat embusan napas, yang mereka kembangkan. Ketua tim pengembangan GeNose, Kuwat Triyana, sampai lembur untuk bisa mengejar jumlah permintaan. “Kalau tidak lembur, tidak bisa ikut memproduksi,” kata Kuwat kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui sambungan aplikasi, Selasa lalu.  

GeNose, yang sudah mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 24 Desember 2020, merupakan hasil kerja tim ahli lintas bidang ilmu di UGM. Mereka adalah Eng Kuwat Triyana dan Ahmad Kusumaatmaja dari FMIPA, serta Dian Kesumapramudya Nurputra dan Mohamad Saifudin Hakim dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan. GeNose disebut bisa mendeteksi virus corona dengan biaya jauh lebih murah dari tes lain.

Alat screening ini juga baru saja diuji coba Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan akan diaplikasikan untuk screening penumpang kereta. “Penggunaan GeNose untuk penumpang kereta jarak jauh,” ujar Kuwat. Ia mengisahkan perjalanan pengembangan dan produksi alat itu, pengembangan produk lainnya, hingga kesehariannya. Berikut ini petikannya.

Berapa unit yang sudah diproduksi?

W251bGwsIjIwMjEtMDQtMTUgMDk6MzI6MzMiXQ

Batch pertama (pada Januari) 100 unit. Batch kedua ini, sampai minggu pertama Februari, kami targetkan 3.000 unit. Semoga selanjutnya bisa 5.000 unit. Memang tidak bisa langsung besar karena harus menyiapkan infrastrukturnya. Alhamdulillah permintaan tinggi sekali.

Harganya?

Kelihatannya Rp 62 juta per unit.

Berapa banyak tenaga yang terlibat untuk mengejar target itu?

Tergantung bagian apa dulu. Untuk assembly-nya, kami bekerja sama juga dengan SMK SMTI Yogyakarta. Ini (didukung) Kementerian Perindustrian. Ini bentuk counterpart sekolah dan industri. Juga melibatkan semua mahasiswa saya karena butuh produksi massal. Untuk assembly, manual, yang lain pakai mesin atau pabrik.

Sekali produksi berapa banyak?

Maksimum sebulan bisa puluhan ribu untuk elektroniknya. Tapi kan tidak hanya elektronik, ada mekanik dan sebagainya. Jadi, optimum 5.000 per bulan itu sudah bagus. Hampir tiap hari memang ada permintaan.

Dari mana saja permintaan ini?

Kebanyakan dari industri karena mereka butuh aman. Kalau industri berhenti karena ada yang positif kan rugi. Ada banyak industri, mulai industri makanan, farmasi, energi, dan sebagainya. Dari kementerian sudah mulai juga. Ada dari rumah sakit, komunitas pesantren karena mereka sudah melakukan pengajaran tatap muka.

Bagaimana ide awal lahirnya GeNose?

GeNose C-19 itu merek setelah Covid. Sebetulnya ini riset lama, 2008. Mulai dari aplikasi sederhana untuk mendeteksi kualitas komoditas, seperti kopi, teh, dan kakao, lalu masuk deteksi narkotika. Ada tembakau gorila, ini bener atau enggak tembakau murni atau disemprot dengan ganja sintetis. Lalu, setelah ada Covid ini, disesuaikan elektroniknya, kecerdasan buatan (artificial intelligent), dan metode sampling-nya. Berubah semuanya. Kami ingin membantu pemerintah dan masyarakat dengan melakukan testing screening yang cepat, tepat, nyaman, dan murah. Jadi, enggak perlu memasukkan benda asing ke tenggorokan atau hidung kita.

Kuwat Triyana beraktivitas di laboratorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia

Mulai kapan pengerjaan alat untuk Covid ini?

Akhir April hingga pertengahan Mei 2020 mulai eksperimen awal, diuji coba di ruang isolasi rujukan Covid-19 di Rumah Sakit Bayangkara, Yogyakarta. Lalu ke RS Lapangan Covid di Bantul. Tak kurang 623 orang dites. Tiap orang dites 10-14 hari. Jadi, datanya banyak sekali. Ini jadi modal bagus untuk deteksi Covid-19, terutama untuk orang tidak bergejala. Cepat terdeteksi. Dan banyak orang yang enggak merasa. Sebelumnya juga pernah dilakukan untuk tes screening TBC.

Apa tantangan utama mengembangkan alat ini?

Paling utama kendala dana, tapi kemudian bisa teratasi. Kendala kedua terkait dengan kelengkapan alat pelindung diri (APD) ketika kita mau masuk ruang isolasi dan PCR. Kemudian ada bantuan dari lembaga nirlaba, Sonjo, 400 set, termasuk masker N95 gratis. Dengan demikian, tim medis yang ditugaskan mengambil napas sampling itu bisa terlindungi. Sebelum ada bantuan APD ini, kami pinjam di RS Bhayangkara.

Akurasi GeNose disebut mencapai 97 persen, ya?

Ya, karena kami ambil di ruang isolasi, jadi seragam yang positif. Itu mereka tidak merokok, tidak makan aneh-aneh, pasti sama, jadi akurasinya tinggi. Kemudian, selain dari ruang isolasi, di ruang rawat jalan, ada poli Covid untuk mereka yang datang mau tes PCR. Kami tawari mereka, bersedia atau tidak untuk menjadi pahlawan anti-Covid dengan menyumbangkan napasnya. Setelah mendapat data, selesai. Kami juga uji di tempat umum.

Alat ini akan dipakai di tempat umum?

Memang mau dipakai di tempat umum, termasuk di stasiun. Kemarin ada edaran dari Kementerian Perhubungan, untuk perjalanan jarak jauh, harus membawa bukti negatif Covid dengan tes GeNose atau tes antigen, atau PCR. Di stasiun yang sudah ada GeNose, penumpang bisa memilih GeNose atau antigen.

Seperti apa penggunaan untuk penumpang kereta?

Tes begini diterapkan untuk yang tiketnya mahal. Penggunaan GeNose untuk penumpang kereta jarak jauh. Estimasi kami biayanya masih Rp 15-25 ribu. Itu biaya hitungan peneliti, tidak hitung bisnis. Tapi tidak menutup kemungkinan akan menjadi lebih mahal jika dipakai di rumah sakit karena harus menanggung biaya ini-itu.

Anda harus lembur untuk mengejar target produksi ini?

Oh, ya, harus lembur. Kalau tidak lembur, tidak selesai, tidak bisa memproduksi. Sehari 3-4 jam. Kalau enggak dikejar, enggak bisa.

Kuwat Triyana menunjukan proses detekasi Covid-19 dengan GeNose di Yogyakarta, 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia

Alat ini akan digunakan juga di kampus UGM?

Mungkin setelah batch II nanti tiap fakultas akan diaplikasikan satu unit. Tapi memang selektif bisa menangkap yang OTG (orang tanpa gejala) atau positif. Kami sedang merancang yang lebih efektif dan efisien, tidak untuk semua orang setiap hari dites. Kami juga sedang berkonsultasi dengan epidemiolog. Salah satu yang ditekankan untuk civitas academica di UGM ini harus tiap hari bikin jurnal catatan diri, habis dari mana yang berpotensi terjadi penularan, kapan, jam berapa, dan di mana, dicatat sendiri. Harus mencatat semua kegiatan setidaknya dalam dua hari.

Mengapa dua hari?

GeNose bisa mendeteksi setelah terpapar paling cepat itu dua hari. Untuk tes antigen, itu efektif tiga hari setelah terpapar. Sedangkan PCR itu empat-lima hari. Seseorang misalnya naik pesawat, sangat mungkin terpapar. Dia tidak boleh langsung turun dari pesawat lalu bergaul dengan keluarga. Harus isolasi mandiri untuk beberapa hari, baru dites GeNose atau PCR.

Apakah GeNose juga dipesan oleh sekolah-sekolah?

Sudah mulai juga. Tapi kami tidak mau ternyata salah perhitungan dalam hal produksi. Jangan sampai turun performance atau kualitasnya. Kontrol kualitas menjadi sangat penting. Kalau buat satu alat, saya percaya diri. Tapi, kalau buat 1.000, bagaimana? Kan tidak bisa jamin 1.000 sama persis. Ini yang dilakukan dengan kontrol. Untuk memproduksi, butuh personal yang sangat terlatih. Enggak banyak itu. Sulit mendapatkan tingkat skill yang baik. Tapi, dengan produksi bertahap hingga mencapai 3.000, bisalah dilakukan, tidak crowded.

Berapa rata-rata waktu untuk mendeteksi dan mendapatkan hasil screening dengan GeNose?

Dua menitan, optimal tiga menit sampai placing orang berikutnya. Tapi, kalau untuk pendeteksian, cuma 45 detik hingga ada keputusan. Tapi kan enggak cukup itu. Ada proses placing dan membersihkan sensor mesin. Harus bersih supaya orang berikutnya juga terjamin hasilnya. Supaya tidak positif palsu.

Jadi, satu mesin bisa mengetes berapa orang?

Jika beroperasi 12 jam, dapat 240 orang. Itu banyak, bisa satu kecamatan. Kalau yang padat penduduk, dikasih dua unit. Bisa juga dioperasikan 24 jam, enggak dimatikan juga tidak apa-apa. Masyarakat tinggal setor napas. Enggak perlu susah-susah untuk bisa mengerjakan lebih masif. Dari setiap kecamatan, misalnya, ada satu puskesmas. Satu saja dioperasikan 24 jam, bisa. Bayar Rp 20 ribu. Orang akan berbondong-bondong.

Apa keunggulan pemeriksaan lewat napas dibandingkan dengan rapid?

Yang pasti, setiap alat tidak sempurna. PCR pun juga tidak sempurna. Harus memperhatikan hal-hal seperti timing pengetesan tadi. Yang sekarang kan antibodi atau rapid sudah ditinggalkan. Mungkin pebisnis beralih ke antigen. Mengapa? Karena tidak valid. Kita enggak akan tahu antibodi seseorang muncul. Deteksi antibodi ini sulit. Ini bukan untuk menjelekkan alat screening lainnya. Bahkan, dari kajian yang saya dapatkan, swab antigen tidak selamanya berakurasi tinggi. Kalau waktunya tepat, misalnya 3-4 hari setelah terpapar, itu masih ada catatan. Kalau yang dites itu OTG, akurasinya langsung drop. Jadi, antigen cocok untuk uji orang bergejala. Menurut kajian di sebuah jurnal, untuk yang OTG, akurasinya 49 persen. Tapi, kalau orang bergejala, bisa mencapai 99 persen.

GeNose disebut masih ada kelemahan pada rokok dan jengkol?

Ya, dulu dibilang belum saatnya diuji coba di stasiun, dikatakan produk gagal, ini membingungkan masyarakat. Disebut alat canggih tapi keok dengan bau jengkol. Enggak juga. Repot, ya, kalau bikin sempurna. Ya, yang mau dites jangan merokok atau makan jengkol dulu sejam sebelumnya. Selesai, kan mudah. Tapi masyarakat terbiasa mikir rumit. Mikir yang rumit, tapi enggak jadi apa-apa. Think big, start small, yang mudah-mudah, act now. Lakukan yang termudah dulu. Cari solusi memutus mata rantai Covid, jangan diskusi terus.

Anda tidak terganggu mendapat kritik?

Kemarin sempat heboh juga, anak-anak di tim sudah mau “perang” (karena dikritik), tapi saya diam saja. Sebagai ketua saya tidak boleh menunjukkan kepanikan. Pak Rektor UGM pun sempat menyampaikan ada yang mengkritik. Saya bilang enggak apa-apa dikritik. Nanti kita buktikan. Tapi awal-awal kritik itu sempat mempengaruhi, ada investor yang mau mundur.

Anda menerapkan etos yang Anda dapatkan ketika bersekolah di Jepang?

Konsep mahasiswa di Jepang, jika untuk riset, itu modelnya yang saya alami, dieksploitasi dan dieksplorasi. Berangkat jam 7 pagi, pulang jam 3 pagi. Tapi etos itu tertanam, kita tidak jadi orang lembek. Etos ini yang tertanam hingga sekarang. Stres tiap bulan, sariawan enam lubang itu biasa. Ini saya terapkan juga kepada mahasiswa saya. Mereka juga jadi tertempa, punya skill bagus, tahan banting, etos kerja bagus. Lulus banyak yang minta, jadi rebutan.

Ketua tim pengembang alat deteksi covid GeNose Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuwat Triyana di Yogyakarta, 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia

Selama mengembangkan alat ini, ada kekhawatiran terhadap virus corona?

Oh, iya, khawatir juga. Apalagi saya sering ke Jakarta. Tapi saya tidak mau naik pesawat. Pakai kendaraan pribadi, minta sopir kampus untuk antar. Sopirnya saya tes GeNose dulu, he-he-he.

Selain GeNose, Anda mengembangkan lidah elektronik?

Oh, itu juga sudah lama, sedang kami kembangkan untuk aplikasi medis juga. Target awalnya untuk mendeteksi narkoba dari urine. Sementara kami prioritas ke Covid dulu. Sudah dua tahun ini lidah elektronik untuk mendeteksi penyakit lumpuh layu pada anak-anak. Ya, ini agak lambat karena Covid, tapi tetap jalan. Kalau mengembangkan alat-alat itu, meski bukan untuk diagnostik, lebih ke screening agar dapat membantu dokter sehingga bisa membuat keputusan lebih cepat.

Produk lain yang dikembangkan?

Banyak yang akan kami lakukan. Tidak hanya medis. Saya juga punya produk yang sudah dipakai di Hong Kong, Australia, dan Amerika. Produknya agak aneh, tapi demand-nya di luar negeri. Tapi nanti saja (saya cerita), he-he-he. Kami kembangkan juga deteksi sensor perasaan. Saya disuruh ngoprek. Mungkin bagi orang lain ini riset tidak menarik. Tapi, bagi saya, ini proyek masa depan. Bisa untuk healing, penyembuhan.

Apa kegiatan Anda untuk menghilangkan kejenuhan?

Ya, paling baca buku. Sebagai muslim, ya, baca Al-Quran. Selain itu, paling berkebun. Kebetulan ada halaman sedikit di depan rumah bisa tanam-tanam cabe, macam-macam untuk hiburan. Di kanan-kiri ada empang untuk pelihara ikan, nyusuri 1-2 jam sambil bikin penelitian baru. Misalnya, lihat ikan mati, saya foto, saya catat. Oh, ini kurang matahari, oh, ini kurang oksigennya.

Masih sempat lihat media sosial?

Saya kurangi waktu di medsos. Kalau lihat medsos, enam jam enggak kerasa. Tapi, kalau masuk lab atau mengamati persoalan masyarakat, itu banyak sekali. Kalau ada isu yang heboh, baru saya tengok. Komen-komen juga jarang.

Selama masa pandemi ini, Anda bekerja dari rumah atau tetap di kampus?

Wah, kalau kerja dari rumah terus, tidak bisa produksi alat. Ya, memang pandemi ini banyak waktu di rumah. Sebelumnya kan jarang ketemu keluarga, sekarang dimanfaatkan untuk kumpul, membangun keluarga harmonis juga.

Saat kumpul keluarga, apa yang dilakukan, nonton film bareng mungkin?

Saya sudah bertekad tidak nonton. Bagi saya, itu buang waktu. Paling mendapat pola cerita. Kalau dokumenter atau yang berbau inovasi, itu masih bisa masuk. Tapi film cerita, enggak. Saya tekankan juga ke keluarga. Kalau ke anak, ya, saya kasih contoh saja. Dulu anak suka drama Korea, saya tanya dapat apa dari situ. Ya, memang tidak mudah, ya, tapi bisa dikurangi. Tidak bisa paksakan seperti saya juga.

Untuk menjaga kebugaran?

Paling joging, sepedaan dua jam. 

Suka musik?

Lebih baik mendengarkan ceramah agama saja. Kan enggak sempat ngaji ya. Lumayan dua jam dengar ceramah bisa dapat banyak ilmu. ***


Prof Dr Kuwat Triyana

Lahir: Semarang, 14 September 1967

Jabatan:

- Ketua Tim Pengembangan GeNose Covid-19

- Kepala Pusat Penelitian Rasa dan Bau

- Ketua Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada (UGM)

Pendidikan:

S-1 Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1991)

S-2 Fisika, Institut Teknologi Bandung (1997)

S-3 Teknik, Departemen Sains dan Material Terapan, Universitas Kyushu, Jepang (2004)

Minat Penelitian:

- Metrologi, ilmu material sensor dan sistem sensor untuk deteksi rasa dan bau

Kegiatan lain:

- Anggota Perhimpunan Fisik Indonesia (PSI) dan Material

- Research Society of Indonesia (MRS-Id)

- Peneliti di Institut Sistem dan Industri Halal UGM

Penghargaan:

- Anugerah UGM 2020 atas jasanya di bidang kebudayaan, kebangsaan, kenegarawanan, kemanusiaan dan/atau kemasyarakatan dalam praktik intelektual dan/atau sosial.

#Solidaritas Melawan Covid-19 #Covid-19

SebelumnyaTamu 1/1 Selanjutnya

Hubungi Kami:

Alamat : Gedung TEMPO, Jl. Palmerah Barat No.8, Jakarta Selatan, 12210

Informasi Langganan :

Email : cs@tempo.co.id

Telepon : 021 50805999 || Senin - Jumat : Pkl 09.00 - 18.00 WIB

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2525 | 0882-1023-2343 | 0887-1146-002 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Informasi Lainnya :

Telp/SMS/WA : 0882-1030-2828 || Senin - Minggu : Pkl 08.00 - 22.00 WIB

Komentar

Berita Terkait

  • Kuwat Triyana: Enggak Apa-apa Mengkritik GeNose, Nanti Kita Buktikan

    Berita Lainnya

  • Cover Story

    MENINGKAT DI MASA PANDEMI

    Pemberian aneka kelonggaran dalam pengadaan barang dan jasa pada masa pandemi menyuburkan praktik korupsi.

    30 Januari 2021
  • Berita Utama

    Pandemi Buka Celah Lebar Berbuat Korupsi

    Anggaran Covid-19 yang super-besar dengan pengawasan longgar diakali untuk berbuat lancung.

    30 Januari 2021
  • Berita Utama

    Modus Bancakan Empuk Semasa Pagebluk

    Modus korupsi pada masa pandemi dan normal sama saja. Yang berbeda, terbukanya peluang, jaringan, dan komplotannya.

    30 Januari 2021
  • Berita Utama

    Langkanya Transparansi pada Masa Pandemi

    Pelonggaran aturan membuat pengadaan barang dan jasa tidak transparan serta minim pengawasan.

    30 Januari 2021
  • Berita Utama

    Korupsi Kesehatan Saat Pandemi

    Transparency International (TI) menyatakan korupsi di Indonesia semakin parah selama masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data Corruptions Perceptions Index 2020, hingga Oktober 2020, posisi Indonesia anjlok ke peringkat 102 dari 180 negara.

    29 Januari 2021
  • Cari angin

    Satu Juta

    Ada yang hilang dalam perang melawan wabah ini, yakni kebersamaan. Kalau pada masa awal pandemi gencar ada slogan “bersama melawan corona”, kini gemanya hilang. Bukan saja spanduk berbunyi seperti itu tak ada lagi, pos komando Covid-19 yang ada di perdesaan pun sudah bubar.

    29 Januari 2021
  • Ekonomi dan Bisnis

    Harapan dari Teknologi Genomika

    Nusantics ikut mengembangkan dua generasi alat uji Covid-19.

    29 Januari 2021
  • Ekonomi dan Bisnis

    Profil Nusantics

    Profil Nusantics.

    29 Januari 2021
  • Ekonomi dan Bisnis

    Setelah Tiga Bank Syariah Bergabung

    Layanan tiga bank tetap berjalan normal hingga merger benar-benar rampung.

    30 Januari 2021
  • Ekonomi dan Bisnis

    Dari Tiga Bank Berbeda

    Rencana penyatuan tiga bank syariah pelat merah semakin mulus. Merger ketiga bank ini akan sah pada awal bulan depan dengan nama resmi PT Bank Syariah Indonesia Tbk.

    29 Januari 2021
  • Ekonomi dan Bisnis

    Rezeki Jeruk dari Jepang

    Puncak panen jeruk dekopon sekitar Juni atau Juli.

    29 Januari 2021
  • Gaya Hidup

    Belajar Meluncur Sejak Bau Kencur

    Dulu, permainan papan luncur alias skateboard identik dengan remaja dan orang dewasa. Namun, lima tahun terakhir, olahraga ekstrem ini banyak dimainkan anak-anak. Pada masa pandemi, semakin banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka ke sekolah skateboard.  

    29 Januari 2021
  • Gaya Hidup

    Tetap Berprestasi meski di Masa Pandemi

    Pada masa pandemi, kompetisi papan luncur pun dilakukan secara daring. Ajang unjuk bakat para skater cilik.

    29 Januari 2021
  • Gaya Hidup

    Skatepark Makin Semarak

    Tempat bermain papan luncur di Jakarta dan sekitarnya terus tumbuh. Tapi di kota kecil masih sangat terbatas.

    29 Januari 2021
  • Gaya Hidup

    Berdiri, Meluncur, dan Melakukan Trik

    Salah satu keseruan olahraga ekstrem ini adalah melakukan trik-trik yang terlihat keren.

    29 Januari 2021
  • Tamu

    Kuwat Triyana: Enggak Apa-apa Mengkritik GeNose, Nanti Kita Buktikan

    Tim dari Universitas Gadjah Mada kini tengah berburu dengan waktu untuk memenuhi permintaan GeNose, alat pendeteksi Covid-19 lewat embusan napas, yang mereka kembangkan. Alat ini bisa mendeteksi virus corona dengan biaya jauh lebih rendah dari pada tes lain.

    29 Januari 2021
  • Film

    Si Juki Jadi Anak Kos

    Setelah sukses di layar lebar, animasi Si Juki tayang sebagai serial di platform sinema streaming.

    29 Januari 2021
  • Metro

    Pesan dan Bayar Parkir dari Gawai

    Pengoperasian JakParkir diuji coba selama tiga bulan di Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara.

    30 Januari 2021
  • Metro

    Menekan Kebocoran Pendapatan Parkir

    Tanpa dibarengi penegakan hukum, penggunaan teknologi tidak akan menghapus potensi kebocoran pendapatan dari sektor parkir.

    30 Januari 2021
  • Nasional

    Epidemiolog Suarakan Gerakan Vaksinasi untuk Lansia

    Vaksinasi bagi kelompok lansia bisa mengurangi beban rumah sakit dan menurunkan jumlah kematian.

    30 Januari 2021
  • Nasional

    Beda Prioritas Vaksinasi untuk Lansia

    Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mendesak pemerintah memakai vaksin Sinovac untuk kaum lansia.

    30 Januari 2021
  • Ragam

    Berita Bohong Covid-19 Kian Marak

    Kementerian mencatat sebanyak 1.392 informasi teridentifikasi berita bohong selama masa pandemi.

    29 Januari 2021
  • Ragam

    1.392 Hoaks Selama Masa Pandemi

    Berita bohong atau hoaks tentang Covid-19 bertebaran di jagat maya. Penyebarannya sangat masif dan cepat melalui media sosial.

    29 Januari 2021
  • Info Tempo

    Kemnaker Dukung Pengembangan Kompetensi Pengrajin Ulos

    Pada tahun 2020 Kemnaker memberikan program Jaring Pengaman Sosial, program ini menyasar sekitar 18 ribu kelompok, dimana tiap kelompoknya berjumlah 20 orang, dengan bentuk kegiatan berbagai macam usaha dan menyesuaikan dengan kebutuhan lokal.

    30 Januari 2021
  • iTempo

    Bikin Konten Epik dengan Galaxy S21+ 5G

    Galaxy S21 Ultra 5G dilengkapi kamera tercanggih yang pernah ada di seri S.

    29 Januari 2021
  • Seni

    Danau, Kisah Pria-pria Bermasalah

    Cerpen karya Halimah Banani

    29 Januari 2021
  • Nasional

    Tahapan Vaksinasi dan Prioritas Lansia

    Vaksinasi dibagi dalam empat tahap sasaran calon penerima, yang disiapkan hingga tahun depan.

    29 Januari 2021
  • Seni

    Puisi Adhimas Prasetyo

    Adhimas Prasetyo adalah panyair kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 13 November 1993. Puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media, baik media cetak maupun media daring. 

    29 Januari 2021
Koran Tempo
  • TEMPO.CO
  • Majalah Tempo
  • Majalah Tempo English
  • Koran Tempo
  • Tempo Institute
  • Indonesiana
  • Tempo Store
  • Tempo.co English

© 2018 PT. Info Media Digital, All right reserved