Tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kini tengah berburu dengan waktu untuk memenuhi permintaan GeNose, alat pendeteksi Covid-19 lewat embusan napas, yang mereka kembangkan. Ketua tim pengembangan GeNose, Kuwat Triyana, sampai lembur untuk bisa mengejar jumlah permintaan. “Kalau tidak lembur, tidak bisa ikut memproduksi,” kata Kuwat kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui sambungan aplikasi, Selasa lalu.
GeNose, yang sudah mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 24 Desember 2020, merupakan hasil kerja tim ahli lintas bidang ilmu di UGM. Mereka adalah Eng Kuwat Triyana dan Ahmad Kusumaatmaja dari FMIPA, serta Dian Kesumapramudya Nurputra dan Mohamad Saifudin Hakim dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan. GeNose disebut bisa mendeteksi virus corona dengan biaya jauh lebih murah dari tes lain.
Alat screening ini juga baru saja diuji coba Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan akan diaplikasikan untuk screening penumpang kereta. “Penggunaan GeNose untuk penumpang kereta jarak jauh,” ujar Kuwat. Ia mengisahkan perjalanan pengembangan dan produksi alat itu, pengembangan produk lainnya, hingga kesehariannya. Berikut ini petikannya.
Berapa unit yang sudah diproduksi?
Batch pertama (pada Januari) 100 unit. Batch kedua ini, sampai minggu pertama Februari, kami targetkan 3.000 unit. Semoga selanjutnya bisa 5.000 unit. Memang tidak bisa langsung besar karena harus menyiapkan infrastrukturnya. Alhamdulillah permintaan tinggi sekali.
Harganya?
Kelihatannya Rp 62 juta per unit.
Berapa banyak tenaga yang terlibat untuk mengejar target itu?
Tergantung bagian apa dulu. Untuk assembly-nya, kami bekerja sama juga dengan SMK SMTI Yogyakarta. Ini (didukung) Kementerian Perindustrian. Ini bentuk counterpart sekolah dan industri. Juga melibatkan semua mahasiswa saya karena butuh produksi massal. Untuk assembly, manual, yang lain pakai mesin atau pabrik.
Sekali produksi berapa banyak?
Maksimum sebulan bisa puluhan ribu untuk elektroniknya. Tapi kan tidak hanya elektronik, ada mekanik dan sebagainya. Jadi, optimum 5.000 per bulan itu sudah bagus. Hampir tiap hari memang ada permintaan.
Dari mana saja permintaan ini?
Kebanyakan dari industri karena mereka butuh aman. Kalau industri berhenti karena ada yang positif kan rugi. Ada banyak industri, mulai industri makanan, farmasi, energi, dan sebagainya. Dari kementerian sudah mulai juga. Ada dari rumah sakit, komunitas pesantren karena mereka sudah melakukan pengajaran tatap muka.
Bagaimana ide awal lahirnya GeNose?
GeNose C-19 itu merek setelah Covid. Sebetulnya ini riset lama, 2008. Mulai dari aplikasi sederhana untuk mendeteksi kualitas komoditas, seperti kopi, teh, dan kakao, lalu masuk deteksi narkotika. Ada tembakau gorila, ini bener atau enggak tembakau murni atau disemprot dengan ganja sintetis. Lalu, setelah ada Covid ini, disesuaikan elektroniknya, kecerdasan buatan (artificial intelligent), dan metode sampling-nya. Berubah semuanya. Kami ingin membantu pemerintah dan masyarakat dengan melakukan testing screening yang cepat, tepat, nyaman, dan murah. Jadi, enggak perlu memasukkan benda asing ke tenggorokan atau hidung kita.
Kuwat Triyana beraktivitas di laboratorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia
Mulai kapan pengerjaan alat untuk Covid ini?
Akhir April hingga pertengahan Mei 2020 mulai eksperimen awal, diuji coba di ruang isolasi rujukan Covid-19 di Rumah Sakit Bayangkara, Yogyakarta. Lalu ke RS Lapangan Covid di Bantul. Tak kurang 623 orang dites. Tiap orang dites 10-14 hari. Jadi, datanya banyak sekali. Ini jadi modal bagus untuk deteksi Covid-19, terutama untuk orang tidak bergejala. Cepat terdeteksi. Dan banyak orang yang enggak merasa. Sebelumnya juga pernah dilakukan untuk tes screening TBC.
Apa tantangan utama mengembangkan alat ini?
Paling utama kendala dana, tapi kemudian bisa teratasi. Kendala kedua terkait dengan kelengkapan alat pelindung diri (APD) ketika kita mau masuk ruang isolasi dan PCR. Kemudian ada bantuan dari lembaga nirlaba, Sonjo, 400 set, termasuk masker N95 gratis. Dengan demikian, tim medis yang ditugaskan mengambil napas sampling itu bisa terlindungi. Sebelum ada bantuan APD ini, kami pinjam di RS Bhayangkara.
Akurasi GeNose disebut mencapai 97 persen, ya?
Ya, karena kami ambil di ruang isolasi, jadi seragam yang positif. Itu mereka tidak merokok, tidak makan aneh-aneh, pasti sama, jadi akurasinya tinggi. Kemudian, selain dari ruang isolasi, di ruang rawat jalan, ada poli Covid untuk mereka yang datang mau tes PCR. Kami tawari mereka, bersedia atau tidak untuk menjadi pahlawan anti-Covid dengan menyumbangkan napasnya. Setelah mendapat data, selesai. Kami juga uji di tempat umum.
Alat ini akan dipakai di tempat umum?
Memang mau dipakai di tempat umum, termasuk di stasiun. Kemarin ada edaran dari Kementerian Perhubungan, untuk perjalanan jarak jauh, harus membawa bukti negatif Covid dengan tes GeNose atau tes antigen, atau PCR. Di stasiun yang sudah ada GeNose, penumpang bisa memilih GeNose atau antigen.
Seperti apa penggunaan untuk penumpang kereta?
Tes begini diterapkan untuk yang tiketnya mahal. Penggunaan GeNose untuk penumpang kereta jarak jauh. Estimasi kami biayanya masih Rp 15-25 ribu. Itu biaya hitungan peneliti, tidak hitung bisnis. Tapi tidak menutup kemungkinan akan menjadi lebih mahal jika dipakai di rumah sakit karena harus menanggung biaya ini-itu.
Anda harus lembur untuk mengejar target produksi ini?
Oh, ya, harus lembur. Kalau tidak lembur, tidak selesai, tidak bisa memproduksi. Sehari 3-4 jam. Kalau enggak dikejar, enggak bisa.
Kuwat Triyana menunjukan proses detekasi Covid-19 dengan GeNose di Yogyakarta, 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia
Alat ini akan digunakan juga di kampus UGM?
Mungkin setelah batch II nanti tiap fakultas akan diaplikasikan satu unit. Tapi memang selektif bisa menangkap yang OTG (orang tanpa gejala) atau positif. Kami sedang merancang yang lebih efektif dan efisien, tidak untuk semua orang setiap hari dites. Kami juga sedang berkonsultasi dengan epidemiolog. Salah satu yang ditekankan untuk civitas academica di UGM ini harus tiap hari bikin jurnal catatan diri, habis dari mana yang berpotensi terjadi penularan, kapan, jam berapa, dan di mana, dicatat sendiri. Harus mencatat semua kegiatan setidaknya dalam dua hari.
Mengapa dua hari?
GeNose bisa mendeteksi setelah terpapar paling cepat itu dua hari. Untuk tes antigen, itu efektif tiga hari setelah terpapar. Sedangkan PCR itu empat-lima hari. Seseorang misalnya naik pesawat, sangat mungkin terpapar. Dia tidak boleh langsung turun dari pesawat lalu bergaul dengan keluarga. Harus isolasi mandiri untuk beberapa hari, baru dites GeNose atau PCR.
Apakah GeNose juga dipesan oleh sekolah-sekolah?
Sudah mulai juga. Tapi kami tidak mau ternyata salah perhitungan dalam hal produksi. Jangan sampai turun performance atau kualitasnya. Kontrol kualitas menjadi sangat penting. Kalau buat satu alat, saya percaya diri. Tapi, kalau buat 1.000, bagaimana? Kan tidak bisa jamin 1.000 sama persis. Ini yang dilakukan dengan kontrol. Untuk memproduksi, butuh personal yang sangat terlatih. Enggak banyak itu. Sulit mendapatkan tingkat skill yang baik. Tapi, dengan produksi bertahap hingga mencapai 3.000, bisalah dilakukan, tidak crowded.
Berapa rata-rata waktu untuk mendeteksi dan mendapatkan hasil screening dengan GeNose?
Dua menitan, optimal tiga menit sampai placing orang berikutnya. Tapi, kalau untuk pendeteksian, cuma 45 detik hingga ada keputusan. Tapi kan enggak cukup itu. Ada proses placing dan membersihkan sensor mesin. Harus bersih supaya orang berikutnya juga terjamin hasilnya. Supaya tidak positif palsu.
Jadi, satu mesin bisa mengetes berapa orang?
Jika beroperasi 12 jam, dapat 240 orang. Itu banyak, bisa satu kecamatan. Kalau yang padat penduduk, dikasih dua unit. Bisa juga dioperasikan 24 jam, enggak dimatikan juga tidak apa-apa. Masyarakat tinggal setor napas. Enggak perlu susah-susah untuk bisa mengerjakan lebih masif. Dari setiap kecamatan, misalnya, ada satu puskesmas. Satu saja dioperasikan 24 jam, bisa. Bayar Rp 20 ribu. Orang akan berbondong-bondong.
Apa keunggulan pemeriksaan lewat napas dibandingkan dengan rapid?
Yang pasti, setiap alat tidak sempurna. PCR pun juga tidak sempurna. Harus memperhatikan hal-hal seperti timing pengetesan tadi. Yang sekarang kan antibodi atau rapid sudah ditinggalkan. Mungkin pebisnis beralih ke antigen. Mengapa? Karena tidak valid. Kita enggak akan tahu antibodi seseorang muncul. Deteksi antibodi ini sulit. Ini bukan untuk menjelekkan alat screening lainnya. Bahkan, dari kajian yang saya dapatkan, swab antigen tidak selamanya berakurasi tinggi. Kalau waktunya tepat, misalnya 3-4 hari setelah terpapar, itu masih ada catatan. Kalau yang dites itu OTG, akurasinya langsung drop. Jadi, antigen cocok untuk uji orang bergejala. Menurut kajian di sebuah jurnal, untuk yang OTG, akurasinya 49 persen. Tapi, kalau orang bergejala, bisa mencapai 99 persen.
GeNose disebut masih ada kelemahan pada rokok dan jengkol?
Ya, dulu dibilang belum saatnya diuji coba di stasiun, dikatakan produk gagal, ini membingungkan masyarakat. Disebut alat canggih tapi keok dengan bau jengkol. Enggak juga. Repot, ya, kalau bikin sempurna. Ya, yang mau dites jangan merokok atau makan jengkol dulu sejam sebelumnya. Selesai, kan mudah. Tapi masyarakat terbiasa mikir rumit. Mikir yang rumit, tapi enggak jadi apa-apa. Think big, start small, yang mudah-mudah, act now. Lakukan yang termudah dulu. Cari solusi memutus mata rantai Covid, jangan diskusi terus.
Anda tidak terganggu mendapat kritik?
Kemarin sempat heboh juga, anak-anak di tim sudah mau “perang” (karena dikritik), tapi saya diam saja. Sebagai ketua saya tidak boleh menunjukkan kepanikan. Pak Rektor UGM pun sempat menyampaikan ada yang mengkritik. Saya bilang enggak apa-apa dikritik. Nanti kita buktikan. Tapi awal-awal kritik itu sempat mempengaruhi, ada investor yang mau mundur.
Anda menerapkan etos yang Anda dapatkan ketika bersekolah di Jepang?
Konsep mahasiswa di Jepang, jika untuk riset, itu modelnya yang saya alami, dieksploitasi dan dieksplorasi. Berangkat jam 7 pagi, pulang jam 3 pagi. Tapi etos itu tertanam, kita tidak jadi orang lembek. Etos ini yang tertanam hingga sekarang. Stres tiap bulan, sariawan enam lubang itu biasa. Ini saya terapkan juga kepada mahasiswa saya. Mereka juga jadi tertempa, punya skill bagus, tahan banting, etos kerja bagus. Lulus banyak yang minta, jadi rebutan.
Ketua tim pengembang alat deteksi covid GeNose Universitas Gadjah Mada (UGM), Kuwat Triyana di Yogyakarta, 28 Januari 2021. TEMPO/Yovita Amalia
Selama mengembangkan alat ini, ada kekhawatiran terhadap virus corona?
Oh, iya, khawatir juga. Apalagi saya sering ke Jakarta. Tapi saya tidak mau naik pesawat. Pakai kendaraan pribadi, minta sopir kampus untuk antar. Sopirnya saya tes GeNose dulu, he-he-he.
Selain GeNose, Anda mengembangkan lidah elektronik?
Oh, itu juga sudah lama, sedang kami kembangkan untuk aplikasi medis juga. Target awalnya untuk mendeteksi narkoba dari urine. Sementara kami prioritas ke Covid dulu. Sudah dua tahun ini lidah elektronik untuk mendeteksi penyakit lumpuh layu pada anak-anak. Ya, ini agak lambat karena Covid, tapi tetap jalan. Kalau mengembangkan alat-alat itu, meski bukan untuk diagnostik, lebih ke screening agar dapat membantu dokter sehingga bisa membuat keputusan lebih cepat.
Produk lain yang dikembangkan?
Banyak yang akan kami lakukan. Tidak hanya medis. Saya juga punya produk yang sudah dipakai di Hong Kong, Australia, dan Amerika. Produknya agak aneh, tapi demand-nya di luar negeri. Tapi nanti saja (saya cerita), he-he-he. Kami kembangkan juga deteksi sensor perasaan. Saya disuruh ngoprek. Mungkin bagi orang lain ini riset tidak menarik. Tapi, bagi saya, ini proyek masa depan. Bisa untuk healing, penyembuhan.
Apa kegiatan Anda untuk menghilangkan kejenuhan?
Ya, paling baca buku. Sebagai muslim, ya, baca Al-Quran. Selain itu, paling berkebun. Kebetulan ada halaman sedikit di depan rumah bisa tanam-tanam cabe, macam-macam untuk hiburan. Di kanan-kiri ada empang untuk pelihara ikan, nyusuri 1-2 jam sambil bikin penelitian baru. Misalnya, lihat ikan mati, saya foto, saya catat. Oh, ini kurang matahari, oh, ini kurang oksigennya.
Masih sempat lihat media sosial?
Saya kurangi waktu di medsos. Kalau lihat medsos, enam jam enggak kerasa. Tapi, kalau masuk lab atau mengamati persoalan masyarakat, itu banyak sekali. Kalau ada isu yang heboh, baru saya tengok. Komen-komen juga jarang.
Selama masa pandemi ini, Anda bekerja dari rumah atau tetap di kampus?
Wah, kalau kerja dari rumah terus, tidak bisa produksi alat. Ya, memang pandemi ini banyak waktu di rumah. Sebelumnya kan jarang ketemu keluarga, sekarang dimanfaatkan untuk kumpul, membangun keluarga harmonis juga.
Saat kumpul keluarga, apa yang dilakukan, nonton film bareng mungkin?
Saya sudah bertekad tidak nonton. Bagi saya, itu buang waktu. Paling mendapat pola cerita. Kalau dokumenter atau yang berbau inovasi, itu masih bisa masuk. Tapi film cerita, enggak. Saya tekankan juga ke keluarga. Kalau ke anak, ya, saya kasih contoh saja. Dulu anak suka drama Korea, saya tanya dapat apa dari situ. Ya, memang tidak mudah, ya, tapi bisa dikurangi. Tidak bisa paksakan seperti saya juga.
Untuk menjaga kebugaran?
Paling joging, sepedaan dua jam.
Suka musik?
Lebih baik mendengarkan ceramah agama saja. Kan enggak sempat ngaji ya. Lumayan dua jam dengar ceramah bisa dapat banyak ilmu. ***
Prof Dr Kuwat Triyana
Lahir: Semarang, 14 September 1967
Jabatan:
- Ketua Tim Pengembangan GeNose Covid-19
- Kepala Pusat Penelitian Rasa dan Bau
- Ketua Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pendidikan:
S-1 Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1991)
S-2 Fisika, Institut Teknologi Bandung (1997)
S-3 Teknik, Departemen Sains dan Material Terapan, Universitas Kyushu, Jepang (2004)
Minat Penelitian:
- Metrologi, ilmu material sensor dan sistem sensor untuk deteksi rasa dan bau
Kegiatan lain:
- Anggota Perhimpunan Fisik Indonesia (PSI) dan Material
- Research Society of Indonesia (MRS-Id)
- Peneliti di Institut Sistem dan Industri Halal UGM
Penghargaan:
- Anugerah UGM 2020 atas jasanya di bidang kebudayaan, kebangsaan, kenegarawanan, kemanusiaan dan/atau kemasyarakatan dalam praktik intelektual dan/atau sosial.