Ada pemandangan tak biasa di Patung Selamat Datang Bundaran Hotel Indonesia dan Tugu Pancoran, Jakarta, pada Rabu, 23 Oktober lalu. Dua patung ikonik di Ibu Kota itu mendadak dihiasi spanduk raksasa berwarna kuning.
Di Bundaran HI, spanduk yang membentang di bawah Patung Selamat Datang itu bertulisan "Orang Baik Pilih Energi Baik" dan slogan #Reformasidikorupsi yang ramai digaungkan para aktivis beberapa waktu terakhir. Sedangkan di Patung Dirgantara alias Tugu Pancoran, spanduk yang membentang di kaki sang patung berisi pesan "Lawan Perusak Hutan" dan slogan #Reformasidikorupsi.
Spanduk-spanduk itu dipasang para relawan Greenpeace Indonesia, organisasi non-pemerintah yang gencar menyuarakan isu lingkungan hidup. Aksi para aktivis lingkungan ini makin menarik perhatian karena dilakukan bertepatan dengan pelantikan anggota Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
"Kami ingin menyampaikan pesan terkait dengan sektor energi dan isu kehutanan kepada Presiden Jokowi dan anggota kabinetnya," kata juru kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, pekan lalu. "Kami berharap pemerintah yang baru memprioritaskan tak menggunakan energi kotor yang berasal dari batu bara dan menyelamatkan hutan di Tanah Air."
Ini bukan pertama kalinya Greenpeace Indonesia melakukan aksi sensasional. Agustus tahun lalu, misalnya, mereka memasang baliho raksasa di Senayan yang berisi pesan tentang pencemaran udara. Aksi ini dilakukan menjelang perhelatan Asian Games di Jakarta. Kala itu, indeks kualitas udara di Ibu Kota sangat buruk. Aksi lebih ekstrem dilakukan pada Mei 2018. Dibantu para nelayan, mereka menghadang tongkang batu bara di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah.
Rupanya, tak hanya anggota Greenpeace yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. Banyak sukarelawan dari berbagai latar belakang yang tertarik terjun menyuarakan aspirasinya dengan cara "menohok" ini. Aksi di Bundaran HI dan Pancoran, misalnya. Sebagian besar aktivis yang membentangkan spanduk adalah para relawan yang tidak dibayar dan bukan anggota Greenpeace. Dua di antaranya adalah Denny Setiawan dan Indah Sari Djamilah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kepada Tempo, keduanya mengaku tertarik mengikuti aksi Greenpeace karena punya keresahan yang sama soal lingkungan.
Bagaimana awal mula kalian terlibat dalam kegiatan Greenpeace?
Denny: Saya mendapat undangan dari Greenpeace untuk bergabung menjadi relawan. Awalnya tidak tahu untuk kegiatan apa. Kami hanya diberi tahu bahwa ini (Oktober) bulan spesial. Setelah mendaftar, saya diminta mengikuti beberapa acara, seperti pengenalan tentang Greenpeace serta aksi yang disebut Non-Violent Direct Action (NVDA). Aksi NVDA yang kami ikuti adalah pemasangan spanduk di Patung Selamat Datang dan Tugu Pancoran itu.
Indah: Saya mendapat informasi dari Internet bahwa Greenpeace sedang mencari relawan. Saya juga mulanya enggak tahu aksi apa. Tapi karena saya tahu ini organisasi besar dan berpengaruh, saya tertarik ikutan. Selain itu, dalam pemberitahuannya, mereka bilang mencari relawan yang paham dan bisa melakukan panjat tebing. Kebetulan saya dan Denny tergabung di organisasi kemahasiswaan yang berfokus di lingkungan hidup dan kemanusiaan (Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Battutah) di kampus dan bisa panjat tebing.
Jadi, kalian enggak tahu mau melakukan apa?
Denny: Awalnya memang tidak tahu, tapi kami ikut proses penilaian kemampuan panjat tebing. Di organisasi, kebetulan kami memang sudah terbiasa dengan isu-isu advokasi lingkungan, sosial-kemanusiaan, disaster management, dan search and rescue. Saya dan Indah punya basic panjat tebing karena belajar teknik vertical rescue di organisasi. Baru setelah itu kami mendapat pemberitahuan lewat surel bahwa kami akan beraksi (memanjat patung di Bundaran HI dan Pancoran) pada 23 Oktober untuk membentangkan spanduk.
Lalu bagaimana reaksi kalian ketika diberi tahu akan melakukan aksi ini? Ragu?
Indah: Ragu, sih, enggak. Karena melalui ini, kami akan menyampaikan pesan yang penting untuk banyak orang. Kami harus siap mau beraksi di mana pun juga.
Memanjat patung tentu berbeda dengan latihan memanjat dinding atau tebing. Apakah sempat melakukan simulasi lebih dulu?
Denny: Latihan di papan panjat di kampus saja. He-he-he. Lagi pula, kami juga sudah beberapa kali menjadi relawan untuk misi penyelamatan ketika terjadi bencana, seperti tsunami Anyer dan gempa Palu. Jadi, sudah terbiasa.
Apa motivasi kalian mengikuti aksi ini? Ada imbalannya?
Indah: Kami tidak dibayar. Kami melakukan aksi ini karena kemauan sendiri, dan saya pribadi memang merasa resah akan kondisi lingkungan saat ini yang semakin parah. Contoh paling sederhana adalah pencemaran udara yang dari hari ke hari tak membaik. Kebetulan saya berkuliah di jurusan kimia, sehingga saya tahu apa saja dampak buruk pencemaran udara. Yang membuat saya semakin prihatin adalah pemerintah seolah-olah tidak melakukan apa-apa.
Denny: Saya berkuliah di jurusan kesehatan masyarakat. Saya juga aktif di organisasi kemahasiswaan yang berfokus pada persoalan lingkungan dan kemanusiaan. Jadi, sudah terbiasa terpapar isu-isu sosial dan lingkungan hidup.
Apa hambatan dan tantangan yang kalian hadapi saat beraksi kemarin?
Indah: Tantangannya justru membangun kekompakan dan komunikasi tim. Karena kan sebelumnya para anggota tidak saling mengenal. Tapi dengan berjalannya waktu dan beberapa kegiatan yang kami lakukan bersama, perlahan kami akrab satu sama lain.
Denny: Saya kan memanjat di Bundaran HI, sementara Indah di Pancoran. Kalau di Patung Selamat datang, kami sempat terhambat saat hendak menyeberangkan tali untuk memanjat, karena ternyata kondisi patungnya tidak semulus yang kami kira. Akibatnya, tali beberapa kali tersangkut dan memakan waktu cukup lama untuk menyeberangkan tali dari salah satu sisi patung ke sisi yang lain. Kami perlu sekitar 1,5 jam hingga akhirnya kami siap naik.
![]()
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Volunteer Greenpeace Indonesia, Indah Sari Djamilah Ibrahim saat berpose menggunakan masker di Jakarta
Lokasi kalian memanjat juga cukup menyulitkan. Di Bundaran HI ada kolam air, sementara Tugu Pancoran fondasinya berbentuk melengkung dengan jalan raya di bawahnya. Bagaimana cara kalian menaiki patung-patung itu?
Denny: Kami mulai sekitar pukul 03.00 WIB. Untuk mencapai patung, kami harus berenang di kolam Bundaran HI. Saat memanjat, kami juga tak bisa melubangi dinding patung karena memang kami tak mau melakukan perusakan. Kami menggunakan teknik ascending. Caranya, setiap orang naik ke bagian atas patung, dibantu dengan tali dan alat khusus, sehingga tak membutuhkan pijakan.
Indah: Kami juga menghadapi kendala yang sama, tapi relatif lebih mudah. Secara teknis, kami juga sama, memulai pada dinihari dan menggunakan teknik ascending. Jadi, tak membuat lubang atau merusak sama sekali.
Kalian beraksi bertepatan dengan hari pelantikan para menteri baru. Apa perasaan kalian saat itu?
Indah: Kami baru diberi tahu akan beraksi pada 23 Oktober beberapa hari sebelumnya. Begitu tahu bahwa hari itu bareng dengan pelantikan menteri, justru kami semakin excited karena artinya perhatian publik akan semakin besar. Kami berharap para menteri yang baru melihat dan mendengarkan isi pesan yang kami sampaikan.
Setelah beraksi, kalian sempat ditahan polisi dan dimintai keterangan. Apa yang terjadi?
Denny: Tim yang di Bundaran HI sempat dibawa ke dua tempat, pos polisi Menteng dan kantor Polres Jakarta Pusat. Hanya diinterogasi.
Indah: Tim di Pancoran juga sempat dibawa ke kantor Polsek Pancoran. Kami juga hanya dimintai keterangan dan langsung dilepas. Polisi memahami apa yang kami lakukan.
Sebagian netizen di media sosial menganggap kalian hanya mencari sensasi…
Indah: Saya malah enggak tahu, enggak memperhatikan media sosial. He-he-he. Kami bukan mencari sensasi, justru kami melakukan ini agar pesan yang kami sampaikan bisa dilihat dan didengarkan oleh para penentu kebijakan dan masyarakat.
Denny: Wajar, sih, kalau ada yang pro atau kontra. Saya memilih mengabaikan mereka yang nyinyir. Toh, pesan yang kami sampaikan positif. Dengan kondisi seperti sekarang, di mana polusi udara semakin buruk, kebakaran hutan yang terus berulang, dan penggunaan energi baru terbarukan yang masih minim, pesan-pesan semacam ini harus terus digaungkan.
Apa pendapat kalian ihwal aksi-aksi yang sering dilakukan Greenpeace?
Denny: Saya memang sering mengamati aksi-aksi Greenpeace, baik di dalam maupun luar negeri. Menurut saya, aksi mereka selalu keren karena berani dan dilakukan di tempat yang tepat. Pesan yang disampaikan juga bukan pesan kosong, melainkan mengena dan memang berbasis data dan riset.
Greenpeace sering melakukan aksi sensasional dan kerap mendapat tuduhan vandalisme dan membahayakan keselamatan orang lain. Bagaimana menurut kalian?
Indah: Saat memanjat patung kemarin, kami sama sekali tidak merusak fasilitas publik dan lokasi yang kami jadikan tempat beraksi. Jadi, kami sama sekali tak melakukan vandalisme. Soal keamanan, semua anggota tim yang ikut beraksi sudah punya pengetahuan dan teknik memanjat yang cukup, alat-alat yang digunakan juga sesuai dengan standar, sehingga aksi kami aman, baik bagi kami sendiri maupun orang lain.
Bagaimana tanggapan orang tua dan teman sekitar begitu tahu kalian ikut aksi ini?
Indah: Sebelum ikut dalam kegiatan ini, saya sudah minta izin dulu ke orang tua. Mereka mengizinkan karena tahu niat saya baik. Jadi, mereka mendukung saja.
Denny: Orang tua saya sudah tahu saya sering ikut kegiatan pencinta alam, panjat tebing. Jadi, mereka tidak kaget waktu saya minta izin. Saya juga senang karena teman-teman di kampus memberikan dukungan kepada kami.
Tidak kapok ikut aksi semacam ini lagi?
Indah: Tidak, justru saya ingin ikut lagi. Soalnya, saya ingin ikut membantu menyampaikan pesan-pesan kepedulian terhadap lingkungan kepada masyarakat luas dan menyadari bahwa kerusakan di bumi sudah semakin parah. Saya berharap, dengan penyampaian pesan semacam ini, semakin banyak orang yang tergerak untuk mulai berubah dan melakukan aksi nyata dalam mencegah kerusakan lingkungan.
Denny Setiawan
Lahir: Tangerang, 11 September 1997
Pendidikan:Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Indah Sari Djamilah Ibrahim
Lahir:Jakarta, 11 Juni 1998
Pendidikan:Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah