Karakter Susy Susanti dalam film biopik Susi Susanti–Love All seolah-olah memang dibuat untuk diperankan aktris Laura Basuki. Dari cuplikan film dalam video pratayang berdurasi 40 detik terlihat beberapa adegan "ikonik" perjalanan karier sang ratu bulu tangkis Indonesia itu. Salah satunya ketika Susi berdiri di podium Olimpiade Barcelona 1992. Dalam adegan itu, Laura terlihat sangat mirip dengan Susy Susanti sewaktu masih aktif menjadi atlet.
Perjuangan Laura untuk memerankan Susy memang berat. Pada masa persiapan sebelum pengambilan gambar, perempuan yang mengawali karier sebagai model ini harus berlatih fisik dan belajar badminton secara intensif. Tak main-main, orang yang melatih Laura adalah Liang Chiu Sia, 70 tahun, yang merupakan pelatih Susy Susanti. "Ini film terberat aku, paling melelahkan secara fisik," kata Laura saat diwawancarai Praga Utama dan fotografer Nita Dian dari Tempo, di Senayan City, Jakarta Selatan, Kamis lalu.
Meski berat, Laura mengaku senang karena bisa memerankan seorang legenda hidup olahraga di Tanah Air. "Siapa pun tahu siapa Susy Susanti, peran ini kehormatan buat saya," ujarnya. Dalam wawancara selama sekitar 30 menit ini, Laura tak hanya berbicara soal perannya dalam film baru tersebut. Aktris kelahiran 1988 ini juga bercerita tentang kelakuan seorang penggemarnya yang unik hingga bagaimana ia menghadapi haters.
Apa betul Anda satu-satunya kandidat pemeran Susy Susanti?
Sebetulnya ada casting dan saya mengikuti rangkaiannya. Mulanya saya diajak bertemu oleh Sim F (sutradara film Susi Susanti–Love All. Ejaan asli nama Susy Susanti dengan di film memang dibikin berbeda). Dia cerita mau bikin film ini, dia tanya ke saya, tertarik enggak? Aku jawab siapa yang enggak mau memainkan peran seorang legenda. Apalagi sosok legendanya sekelas Susy Susanti, yang bahkan di luar negeri pun enggak ada yang menyamai prestasi dan kehebatan dia. Aku bilang ke Sim F, mau banget. Dia minta saya ikut casting, eh ternyata diterima, padahal enggak berharap banyak. Karena dengar-dengar saingan aktris yang ikut casting banyak.
Siapa saja saingan Anda waktu itu?
Enggak dikasih tahu sih, tapi kabarnya banyak banget yang ingin main di film ini. Bahkan beberapa atlet sungguhan sempat ikut seleksi. Setelah tahu dapat peran ini, aku berusaha semaksimal mungkin berlatih.
Bagaimana proses persiapan dan latihannya?
Waktu itu aku punya waktu enam bulan sampai akhirnya syuting. Aku memanfaatkan waktu enam bulan untuk latihan badminton bersama pelatih bulu tangkis Susy zaman dulu, Liang Chiu Sia. Awalnya latihan fisik untuk meningkatkan kelincahan. Caranya, banyak berlari dan lompat. Lalu saya belajar gerakan kaki atlet bulu tangkis. Kemudian latihan badminton selama 2-3 jam setiap hari dari Senin sampai Jumat. Untuk penampilan, aku hanya potong poni supaya mirip Susy zaman dulu.
Kabarnya, gara-gara latihan intensif ini, Anda sekarang bisa split?
Iya, ha-ha-ha. Padahal sebelumnya sama sekali tidak bisa.
Sewaktu muda Anda gemar bulu tangkis?
Waktu kecil suka main badminton, tapi ya iseng-iseng saja, tidak serius. Makanya, ketika mulai latihan untuk film ini, saya baru tahu ternyata atlet sungguhan cara pegang raketnya berbeda dengan kita yang amatir. Apalagi Susy Susanti punya gerakan khas. Tugas saya adalah mempelajari dan meniru cara dia bermain agar semirip mungkin.
Hal tersulit apa yang Anda alami selama latihan bersama Liang Chiu Sia?
Menjaga napas, ha-ha-ha. Karena Susy punya teknik agar dia bisa menutupi kelelahannya saat di tengah pertandingan. Dia bisa tetap terlihat santai padahal habis reli panjang. Teknik pengaturan napas yang dilakukan Susy membuat dia tidak mudah lelah.
Pada masa awal pengambilan gambar, Sim F di Instagram-nya sempat mengunggah foto Anda dan menceritakan proses pengambilan gambar sangat menguras emosi. Memangnya seperti apa suasana syuting film ini?
Banyak sekali tantangan yang kami hadapi, ini kan bukan sekadar film biografi dan drama, tapi juga ada sport and action. Ini juga film layar lebar pertama Sim F dan membawa nama besar Susy Susanti. Sebagai sutradara, pasti Sim memikul banyak beban. Beberapa tantangan besar di film ini adalah soal pemilihan lokasi dan waktu. Kami sempat syuting selama dua minggu di Tasikmalaya (kota kelahiran dan tempat tinggal Susy), lalu kami harus membuat adegan pertandingan dengan detail dan mirip pertandingan bulu tangkis sebenarnya.
Sejauh mana keterlibatan Susy Susanti di film ini, apakah dia banyak memberikan masukan kepada Anda?
Karena kesibukan pekerjaannya di Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), maka Susy enggak terlalu sering hadir di lokasi pengambilan gambar, paling sesekali mampir. Masukan terbanyak saya dapatkan justru dari pelatih Susy.
Bagaimana Anda mempelajari bahasa tubuh dan cara berbicara Susy?
Sambil menjalani pengambilan gambar, saya dengan Dion Wiyoko-pemeran Alan Budikusuma-beberapa kali jalan-jalan bersama dengan Susy dan Alan. Tahun lalu, kami nonton bareng Indonesia Open. Lalu kami mengunjungi rumah Susy, mengobrol sambil merekam suaranya, memperhatikan cara dia bicara dan bagaimana dia berinteraksi dengan Alan. Semua video pertandingan, dokumentasi wawancara Susy, semua saya tonton.
Alan dan Susy sempat protes karena di film ini sosok mereka berdua digambarkan sangat romantis, padahal mereka merasa tidak…
Memang tidak terlihat, tapi mereka saling memanggil dengan sebutan "sayang". Tapi sebetulnya apa yang mereka lakukan dan kalau mendengar cerita mereka berdua, saya merasa mereka sangat manis dan romantis. Merekanya saja yang tidak merasa, ha-ha-ha. Misalkan dulu sewaktu mereka masih di pelatnas, Susy sering membuatkan air panas untuk mandi Alan, karena belum ada pemanas air otomatis. Ini kan gestur yang sangat romantis, tapi buat mereka itu hal biasa saja. Tapi memang di film ada beberapa adegan yang dilebihkan, namanya juga film, perlu bumbu, ha-ha-ha.
Bagaimana Anda membangun kedekatan dengan lawan main Anda, Dion Wiyoko?
Dion bukan sosok asing. Kami sudah saling kenal lama. Dulu kami satu kampus di Universitas Katolik Atma Jaya. Sebelum Susi, kami juga main film bareng di Terbang: Menembus Langit (2018). Sebelumnya lagi, kami adu peran di beberapa serial. Karena sudah kenal banget dan tahu orangnya bagaimana, jadi saya merasa nyaman.
Di film Susi dan Terbang, ada adegan berciuman dengan Dion. Anda minta izin suami dulu?
Bukan minta izin sih, karena izin atau tidak kan harus saya jalani karena ini tugas dari sutradara. Saya sekadar bilang ke suami supaya nanti dia enggak kaget pas nonton, ha-ha-ha. Suami sih tenang-tenang saja.
Di film ini, porsi terbesar tentu kisah Susy Susanti. Tapi bagaimana Anda melihat peran Alan dalam karier Susy?
Kalau dilihat dari skenario, justru Susy yang banyak dan paling sering memotivasi Alan. Mereka memang saling mendukung, tapi di sini diceritakan Susy yang punya ambisi lebih kuat. Mereka berdua bisa menang di Olimpiade 1992 karena Susy yang membakar semangat Alan. Film ini banyak juga memberikan porsi kepada Alan dan drama di antara mereka berdua. Bagaimana perjuangan Susy dan Alan hingga bisa sampai seperti sekarang. Saya juga baru tahu ternyata dulu di pelatnas mereka dilarang pacaran karena sama-sama jadi ujung tombak tim bulu tangkis Indonesia. Jadinya mereka harus pacaran diam-diam.
Waktu Susy dan Alan mendapat medali emas Olimpiade Barcelona, Anda baru berusia 6 tahun. Apakah menyaksikan momen itu di televisi?
Dulu saya enggak terlalu memperhatikan pertandingan badminton. Saya tahu tentang Susy dan Alan karena Papa suka cerita dan baca koran. Di masa itu, mereka tenar sekali, siapa sih yang enggak tahu Susy dan Alan?. Mereka pasangan hebat dan berprestasi, tentu saya sangat kagum kepada mereka. Tapi, setelah kenal secara personal dan mengikuti kisah hidup mereka, saya baru tahu bahwa untuk mencapai prestasi itu Susy melewati perjuangan berat, ada keringat dan darah. Di pelatnas, Susy memang dikenal paling rajin dan tekun. Atlet lain berlatih memukul kok 100 kali, Susy minta 500 kali.
Apakah sekarang Anda jadi suka badminton?
Iya, bahkan jadi suka banget. Aku enggak bisa berhenti nonton pertandingan. Terakhir Indonesia Open aku nonton full seminggu, senang lihat atlet-atlet Indonesia. Kalau untuk bermain kayaknya enggak, aku suka olahraga tapi hanya gym dan pilates.
Tapi di film ini Anda sempat bertanding bulu tangkis sungguhan, kan?
Ya, dan ini jadi pengalaman paling berkesan buat saya. Untuk adegan pertandingan ini, kami syuting di Istora Senayan. Semuanya ditata serealistis mungkin, penontonnya betulan, sampai atlet lawan tandingnya memang atlet bulu tangkis. Nah, ketika saya akan masuk lapangan, tiba-tiba saya merasa sangat deg-degan sampai gemetar, rasanya seperti atlet yang benar-benar mau turun bertanding. Biasanya kalau syuting aku enggak pernah setegang itu. Saya jadi bisa merasakan perjuangan seorang atlet yang sudah latihan keras, berjuang untuk Indonesia, tapi masih ada saja yang mem-bully kalau kalah.
Dulu juga Susy di-bully kalau kalah…
Betul, kalau kalah dia dibilang kebanyakan pacaran. Dulu belum ada media sosial saja sudah begitu, kalau sekarang mungkin bisa lebih parah.
Anda termasuk aktif di media sosial, Instagram dan Twitter. Bagaimana kiat Anda menghadapi haters?
Aku matikan komentar Instagram untuk orang-orang yang akunnya enggak aku follow. Jadi yang bisa menuliskan komen di postingan-ku ya hanya orang-orang yang aku ikuti dan kenal. Ini membuatku jadi lebih tenang, dan ini agar privasi keluargaku tetap terjaga. Makanya aku juga jarang unggah foto anak, khawatir kalau dia sudah besar nanti protes karena aku sembarangan mengunggah foto dia. Sesekali saja kalau ada momen spesial.
Tapi yang namanya orang tidak suka ada saja. Teman-temanku biasanya kasih laporan, kirim tangkapan layar yang isinya orang-orang yang ngomong jelek tentang aku. Tapi, ya sudahlah, selama enggak mengganggu kehidupanku, aku cuekin aja.
Di Twitter, ada penggemar Anda bernama Ido, yang setiap malam mengucapkan "Selamat Malam Laura Basuki" selama bertahun-tahun. Kabarnya Anda sudah bertemu dengan dia?
Iya, dan ini lucu banget. Aku sudah lama tahu tentang dia, banyak yang kasih tahu di Twitter. Nah, Mei lalu, aku panggil fotografer Piyo Kharisma untuk motret di acara pernikahan kakak iparku. Piyo bawa teman satu orang, waktu itu ya cuma kenalan biasa, bahkan dia enggak sebut nama. Setelah acara selesai, beberapa hari kemudian Piyo baru bilang ke saya bahwa temannya itu adalah Ido, yang sering bilang selamat malam di Twitter. Aku kaget, kok enggak bilang? Sewaktu bertemu, dia bahkan enggak berusaha ngobrol sama aku. Katanya dia memang enggak mau ganggu privacy aku, hanya mengagumi, ha-ha-ha. Bahkan di Twitter dia mengucapkan selamat malam tanpa mention akunku. Padahal aku santai aja kalau ada yang ngajak ngobrol.
Hal apa yang tak wajar pernah dilakukan penggemar Anda?
Sewaktu aku masih kuliah, ada seorang penggemar yang sampai mendatangi kampus dan menunggui aku seharian. Ketika aku mau pulang, dia mendekati sampai mau pegang-pegang. Itu menakutkan dan sudah tidak wajar. Membuntuti ke tempat aktivitas atau ke rumah itu sudah kelewatan. Untung sekarang tidak pernah ada kejadian seperti itu lagi. Aku juga kan suka sama sosok atlet atau artis lain, tapi enggak berani ganggu atau sampai maksa dan bicara kasar di media sosial. Mengagumi itu tidak harus sampai mengganggu.
Laura Basuki
Tempat, tanggal lahir: Berlin Barat, Jerman Barat, 9 Januari 1988
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta (lulus 2011)
Filmografi: Gara-gara Bola (2008), 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010), Republik Twitter (2012), Di Timur Matahari (2012), Madre (2013), Haji Backpacker (2014), Love and Faith (2015), The Returning (2018), Terbang Menembus Langit (2018), Susi Susanti–Love All (2019)
Penghargaan:Pendatang Baru Wanita Terbaik, Indonesia Movie Actor Awards (2009) Pemeran Utama Wanita Terbaik, Festival Film Indonesia (2010) Aktris Terpuji, Festival Film Bandung (2010) Pasangan Terbaik & Pasangan Terfavorit (bersama Reza Rahadian), Indonesian Movie Awards (2010) Pemeran Utama Wanita Terbaik, Festival Film Indonesia (2013), Pemeran Utama Wanita Terbaik, Festival Film Indonesia (2014) Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, Indonesian Movie Awards (2014)