Sastrawan Eka Budianta tak pernah lupa akan peristiwa ketika Sapardi Djoko Damono menjadi Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Banyak komentar miring menerpa Sapardi. Bukan karena orang ragu akan kapasitas keilmuannya, melainkan pria kelahiran Surakarta itu seorang sastrawan jebolan Universitas Gadjah Mada.
Sebagian orang merasa aneh. Soalnya, dekan UI biasanya dijabat para alumnus kampus itu. "Sebelum dia jadi dekan, orang-orang ngomong, biasanya jabatan dekan kan dari orang dalam," kata Eka Budianta kepada Tempo, kemarin. "Mungkin karena dengar banyak kritik, dalam satu seminar dia ngomong ‘justru lebih bagus (ada dekan lulusan UGM) supaya dapat masukan darah segar untuk UI’," kata Eka, menirukan kelakar Sapardi.
Sapardi diangkat menjadi dekan pada 1995 setelah pada tahun yang sama ia dikukuhkan sebagai guru besar ilmu susastra. Dia menjabat dekan hingga 1999. Ia pernah menjadi dosen sastra Inggris, sebelum beralih menjadi pengajar sastra Indonesia pada 1974. Sapardi juga pernah mengajar di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Cabang Madiun dan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang.
Eka mengenalnya ketika Sapardi di IKIP Malang. Mereka kembali bertemu di Universitas Indonesia. Ketika itu, Sapardi adalah dosennya yang membantu Eka mengorbitkan beberapa buku.
Bagi Eka, sosok Sapardi bukan sembarang sastrawan. Sapardi dianggap mampu menerabas sekat-sekat kotak, antara kelompok sastra politik dan agamis. Karya-karya Sapardi tidak pernah menyinggung keduanya. "Pada medio 1975-1976, orang-orang menebak Pak Sapardi ini Islam atau Kristen. Padahal dia bebas melampaui nilai-nilai itu," tutur Eka.
Tak mengherankan jika Sapardi kemudian bisa diterima oleh banyak kalangan. Eka juga takjub bagaimana pria setua itu ternyata bisa merangkul generasi milenial. Bahkan sampai kini karya-karyanya digandrungi anak muda. Banyak di antaranya berbuah menjadi lagu atau bahkan melahirkan lagu baru, seperti lagunya Jason Ranti berjudul Pak Sapardi.
Sampai akhir hayatnya, Sapardi masih aktif menulis karya sastra. Pengajar Fakultas Ilmu Budaya UI, Ibnu Wahyudi, bercerita bahwa Sapardi sedang menyiapkan novel terbaru. Bahkan Sapardi masih menulis ketika sedang dirawat di rumah sakit. "Waktu dirawat sebelumnya, almarhum sambil mengetik novel itu," kata Ibnu, kemarin.
Sapardi lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Setelah menamatkan SMP dan SMA di Surakarta, ia hijrah ke Yogyakarta dan berkuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia sudah menulis dan mengirim karya ke media sejak di Solo. Ia tidak hanya menulis puisi, juga esai, kritik sastra, cerpen, hingga novel. Ia telah menulis 30 buku karya sastra, belasan buku karya ilmiah, dan sejumlah buku terjemahan. Karyanya yang sangat fenomenal, antara lain, puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin.
Penulis sekaligus mantan mahasiswa Sapardi, Tatyana Soebianto, juga mengisahkan bagaimana Sapardi membantunya berkarya di dunia sastra. Tatyana juga turut di balik proses mempopulerkan puisi Hujan Bulan Juni bersama Reda Gaudiamo dan Ari Malibu (almarhum). "Saya terlibat dalam upaya mempopulerkan puisi Hujan Bulan Juni," kata Tatyana.
Tatyana mengenal Sapardi sejak 1980 ketika ia menjadi mahasiswa Sapardi. Menurut dia, Sapardi memiliki kedekatan dengan para mahasiswanya seperti seorang ayah dan anak. Bahkan hal itu terus berlangsung hingga akhir hayat Sapardi. Tatyana rutin menjenguk Sapardi ketika dirawat di rumah sakit. "Kami bergantian sama teman-teman untuk menemani di rumah sakit. Terakhir kali, kemarin malam."
Dan pagi kemarin, di Rumah Sakit Eka Hospital, Tangerang Selatan, Sapardi pun pergi. Sastra Indonesia kehilangan salah satu tokoh terbaiknya. Ungkapan duka berseliweran di ruang-ruang maya hingga ruang pribadi. Puisi-puisinya juga ramai-ramai diunggah di media sosial. Salah satunya berjudul Pada Suatu Hari Nanti, yang berbunyi: Pada suatu hari nanti/
Jasadku tak akan ada lagi….
TAUFIQ SIDDIQ | AVIT HIDAYAT | MI
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari
Sapardi Djoko Damono