Sejak awal penonton sudah dibebaskan memilih tempat duduk di kursi plastik yang diletakkan mengelilingi sebuah bak sampah besar yang dindingnya berkarat dengan empat lubang di bagian atas. Tas plastik beraneka warna, yang keluar terbang dari salah satu lubang bak sampah itu, berserakan di sela-sela kursi.
Tempat pertunjukan itu adalah studio utama Perum Produksi Film Negara (PFN) di kawasan Otista, Jakarta Timur. Dindingnya ditutupi kain putih dengan sorotan video seperti air, sehingga menggambarkan tempat tersebut seperti berada di dalam laut. Ketika pentas bertajuk Beautiful Water itu dimulai, suara seseorang menyambut para penonton. "Selamat datang para penonton, selamat datang di air, di pertunjukan ini, silakan," demikian suara sang narator.
Pertunjukan yang menampilkan tema lingkungan dan kemanusiaan ini berlangsung tiga hari, Jumat-Ahad, 13-15 Maret 2020. Ini merupakan hasil kolaborasi tiga sutradara asal Indonesia, Malaysia, dan Jepang-Bambang Prihadi, Jo Kukathas, dan Junnosuke Tada. Pemainnya adalah 12 penampil dari tiga negara itu pula.
Penonton terlebih dulu diajak mengenal tanda-tanda gerakan tangan yang lazim dipakai penyelam. Tanda untuk keadaan baik (OK), naik-turun, ke kiri dan ke kanan dengan gerakan jempol, tanda bahaya, hingga dari hewan-hewan laut. Semua penonton diajak mempraktikkan dengan panduan seorang lelaki menggunakan mikrofon dan para penampil yang berpakaian gelap dengan ornamen cat berwarna cerah. Penonton lalu diajak bergerak, berpindah dari tempat duduk semula, sambil mengelilingi bak sampah besar tadi.
Penonton dan penampil berbaur mengelilingi bak sampah beberapa kali hingga beberapa penampil mengeluarkan sejumlah karung sampah dan menyebarnya ke arena pertunjukan. Penonton pun menyingkir dan duduk di kursi terdekat. Saat bermain sebagai binatang laut, misalnya, terlihat sampah membelit dan menyusahkan mereka.
Sampah-sampah makin banyak keluar dari lubang bak itu dan para penampil mengoceh tentang berbagai hal, tentang banjir, tsunami, keluarga, serta gulungan sampah. Penonton juga disuguhi potret manusia urban yang sangat konsumtif, dengan pakaian-pakaian mereka, serta aneka barang yang tumpah ruah berakhir menjadi sampah.
Sepanjang pertunjukan, pemain keluar-masuk kontainer bergantian, bergerak dengan beragam peran sebagai ikan, penyelam, konsumer, pedagang, dan sebagainya. Sampah terus membanjir dan arena pertunjukan menjadi riuh oleh sampah.
Adegan berganti dijembatani oleh musik yang membangun suasana agak berbeda. Sesekali penonton masih diajak bergerak, berpindah tempat. Misalnya, penonton diajak mengingat sebuah tragedi hilangnya pesawat Boeing Malaysia Airlines MH 370. Dari Indonesia, penonton diajak mengingat tragedi lumpur Lapindo yang merendam 15 desa, empat di antaranya tenggelam, dan membuat ratusan ribu warga mengungsi sejak 14 tahun lalu. Dengan gaya satire, para penampil menyajikan masalah lumpur akibat salah bor ini.
Sementara itu, dari Jepang, penonton diingatkan tentang tragedi gempa dan tsunami yang menghantam Fukushima hingga reaktor nuklirnya jebol. Mereka mengajari penonton menghadapi gempa dan berbagi ruang untuk orang lain selama dalam pengungsian. Aktor dari Jepang pun ikut mengajak penonton kembali ke tragedi lumpur Lapindo.
Pertunjukan ditutup dengan sebuah parade pameran busana dari sampah dan barang bekas hingga munculnya sesosok perempuan mematung dalam belitan jaring merah. Musik elektronik nan riuh mengiringi si perempuan yang seolah menjadi tumbal, membersihkan sampah dengan jaringnya. Penonton diajak menempelkan semua sampah ke jaring hingga tak tersisa.
Pertunjukan ini pertama kali dipentaskan di Fujimi, Jepang, pada Oktober 2018. Tiga sutradara dan pemain dari tiga negara berbagi ide, berkreasi mewujudkan pentas yang bertema lingkungan dan keserakahan manusia ini. Tak mudah menyatukan ide dari tiga kepala. Mereka terlibat workshop dan kerja panjang.
"Kami berdiskusi panjang, menemukan bagaimana bentuk pertunjukan ini. Naskah baru muncul pada minggu ketiga dan itu pun kami terus mematangkan konsep," ujar Bambang Prihadi kepada Tempo, seusai pementasan, Jumat lalu. Sebagai bahan awal, Bambang pun menyodorkan bagaimana sampah mengotori sungai dan laut Indonesia.
Tiga sutradara pun menggodok ide. "Kami perhatikan kecenderungan pasar kapitalisme modern, konsumerisme dan kerusakan lingkungan, juga sejarah manusia yang dipisahkan oleh daratan dan lautan serta bagaimana mereka menghadapinya," ujar Kentaro, produser dari Jepang.
Adapun Sari Madjid, produser dari Indonesia, mengatakan pementasan ini bertujuan untuk menyatukan banyak hal. "Ada banyak perbedaan, prasangka, takut, dan saling menyalahkan. Tapi harus diingat, kita hidup di planet yang sama untuk terus menjaganya."
DIAN YULIASTUTI