Pilar-pilar persegi panjang dan pendek berdiri tegak di lantai. Ada cekungan setengah silinder yang ditata simetris, sehingga permukaan pilar menjadi tidak rata atau mulus. Pilar berwarna kelabu dengan variasi gradasi warna cerah itu dibentuk dari susunan kertas yang ditekan. Sedangkan di dinding terpasang tumpukan kertas lain yang dibentuk persegi panjang dengan empat lubang di tiap sudutnya. Di bagian atasnya tergantung roll cetakan kecil.
Instalasi berjudul Piles of Paper buatan Irfan Hendrian itu mewarnai pameran grafis bertajuk "Out of Register (Bergeser dari Acuan)" di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, pada 15 November hingga 1 Desember lalu. Pameran ini melibatkan sejumlah seniman dari Bandung dan Jakarta. Para seniman muda itu meracik karya seperti pendahulunya. Mereka mengolah ide, material, dan tampilan karya berbasis seni grafis sambil menarik-narik tali pakemnya.
Pada karya Irfan, contohnya, tidak ada gambar atau tinta yang harus dicetak dan ditekan ke atas medium seperti kertas misalnya yang kerap digunakan pegrafis. Metode tekanan (press) untuk berkarya grafis diterapkannya pada helaian kertas yang disusun berlapis hingga membentuk bangunan semacam pilar. Sebagai sebuah disiplin ilmu, kata kurator pameran itu, Gesyada Siregar, seni grafis memiliki pakem serta kebakuan. "Pakem-pakem inilah yang ingin dilenturkan para seniman," katanya dalam catatan kuratorial.
Rega Rahman, seniman lainnya, mengibaratkan master cetakan grafis buatannya sebagai mahaguru yang menghasilkan karya turunan. Lulusan Studio Seni Grafis ITB 2012 itu membuat 40 gambar dekoratif dengan teknik sablon untuk tempelan dinding. Bentuknya disusun geometris dengan posisi seolah-olah merunduk ke master cetakan yang ditempatkan di tengah. Karya berjudul Bow to Your Sensei itu memasang puluhan karya serupa di lantai yang terhampar rapi seperti ubin. Berbeda dengan yang di dinding, pembuatan karya di lantai memakai teknik cetak digital.
Berlanjut ke bagian tengah ruangan galeri, kelompok seniman Gerombolan Bremol merangkai kekaryaan cetak saringnya atau sablon dengan foto dokumentasi aksi penampilan seni mereka. Terpasang juga video musik lagu buatan kelompok dari studio Seni Murni Institut Kesenian Jakarta itu yang bercorak punk dan bersuara nyaring.
Sementara itu, kelompok Grafis Huru-Hara yang berangkat dari studio di Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta membuat dua karya jembar. Peak-Nik 2019 mereka buat dengan teknik stensil pada lembaran terpal berukuran 359 x 324 sentimeter. Gambarnya adalah para anggota grup itu yang berpose tengah berpelesir.
Terpal dipilih karena bahan ini mereka nilai memasyarakat dan bisa untuk menaungi dari hujan atau panas. Sentuhan seni grafisnya dinilai bisa menjadi penanda dan reklame untuk usaha kecil-menengah yang ekonomis. Sedangkan karya lain yang berjudul Cigehaha memakai cetak saring di atas kertas berukuran total 460 x 384 sentimeter. Gambarnya bertema pengalaman mereka melancong ke Bandung yang banyak menemukan kata "ci" pada nama tempat hingga berbagai bentuk kuliner.
Seniman lulusan Studio Grafis ITB, Nurrachmat Widyasena, yang setia dengan tema antariksa, menampilkan gambar etsa pada lembaran aluminium dan cetak saring pada pelat kuningan. Sedangkan Sigit Ramadhan menggambar polisi berwajah tengkorak sedang menodongkan pistol. Menggunakan teknik cukil kayu, pelat cetakannya disertakan sebagai puzzle berwarna hitam.
Karya instalasi seni grafis menarik lainnya disodorkan Egga Jaya Prasetya. Olahannya mengeksplorasi gula yang lazim dipakai sebagai bahan seni grafis. Sayangnya, pada karya berjudul Noong: Sugar-Peek, gulali dalam kotaknya meleleh oleh suhu ruangan ruang pameran, sehingga menyisakan batang-batang penyangganya saja. ANWAR SISWADI