Reinard L. Meo
Usai membaca berita yang berisikan permohonan ampun atas dosa-dosa Gereja yang disampaikan oleh Paus, Pastor Benediktus melepas handphone-nya dan memejamkan mata. Handphone itu keluaran terbaru yang diberikan oleh seorang donatur yang tidak ingin dibilang kaya. Pastor Benediktus, yang selalu tanpa alasan untuk berkata tidak, setia berkunjung ke rumah donatur itu. Umat, tepatnya, bukan donatur. Semua domba sama di hadapan gembala yang satu. Keluarga domba itu-maaf, umat-sangat mencintai Pastor Benediktus. Tiap kali bertandang untuk macam-macam agenda, anak si umat yang tidak ingin dibilang kaya itu selalu berlari menyambut Pastor Benediktus ketika klakson sepeda motornya berbunyi "pippp" tiga kali.
"Bapa Romo, Bapa Romo... Pa, Ma, Bapa Romo datang....."
Dalam keadaan mata tetap terpejam, Pastor Benediktus membayangkan wajah sedih Paus ketika mesti jujur mengatakan bahwa terlalu banyak skandal seksual yang dilakukan oleh kaum religius. Tiba-tiba, Pastor Benediktus juga teringat akan wajah istri Nikolaus Pu’u Pau yang diperkosa lalu dibunuhnya, setahun silam. Nikolaus adalah umatnya di paroki yang lama. Dua bulan setelah istri Nikolaus dimakamkan dengan keterangan dokter bahwa kematian itu murni bunuh diri dan Nikolaus yang frustrasi itu menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan, uskup setempat memindahkan Pastor Benediktus ke paroki yang baru. Hanya dokter itu, uskup, dan Pastor Benediktus yang tahu alasan mutasi tersebut.
Pastor Benediktus merasa amat bersalah. Dosa-dosa masa lalunya muncul satu-satu. Paus yang merendah saat memohon maaf, dosa yang satu, juga dosa yang lain seolah berubah jadi tiga anak sekolah yang bukan main ributnya saat guru belum masuk kelas. Pastor Benediktus sekejap dikerumuni suara-suara penuh teror tersebut yang menohok tepat di jantung, padahal beliau seorang diri saja di kamarnya. Kamar yang dipenuhi aroma surgawi.
Pastor Benediktus makin merasa bersalah, seolah dirinya terbentuk hanya dari darah, daging, dan lumpur dosa. Beliau perlu berdoa. "Saya mengaku" didaraskannya tanpa terlebih dahulu membuat tanda salib. Manusia biasa kadang lupa pada hal sepele bila hatinya sedang kalut.
"Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa...."
Pastor Benediktus menekan dadanya kuat-kuat pada bagian yang diulang ini, bagian khusus yang selalu beliau daraskan dalam bahasa Latin. Tekanan telapak tangan kanan pada dadanya seolah ingin mendorong jauh-jauh semua dosa yang sedari tadi menghantuinya. Pastor Benediktus jago bahasa Latin, suka kebut saat mengendarai sepeda motor, jatuh cinta pada bir sejak masih kuliah filsafat, dan sesekali meniduri perempuan yang bukan miliknya. Bukan meniduri saja, bila perlu memerkosa.
Pastor Benediktus betul-betul hanya inginkan satu hal pagi itu. Beliau ingin bertobat. Ingin kembali menjadi "Benediktus" yang sesungguhnya, yang diberkati.
Asrama Susteran, yang terbakar di waktu yang berdekatan dengan kematian tragis istri Nikolaus Pu’u Pau, sampai saat ini belum jelas sebabnya. Memang, kepada Suster lugu yang cantik itu, anak-anak asrama menjelaskan bahwa sore itu, salah seorang teman mereka menyalakan kompor untuk menggoreng nasi. "Kompor yang meledak karena lupa dimatikan" kemudian menjadi satu-satunya alasan yang disampaikan oleh Suster kepada pihak kepolisian saat olah TKP. Alasan itu pun tidak dibuktikan lebih lanjut. Sebab, polisi percaya setiap apa yang keluar dari mulut Suster adalah kebenaran.
Sepeda motor Pastor Benediktus yang terparkir tak jauh dari asrama yang hangus itu pun tidak berkembang menjadi buah bibir. Tidak ada yang perlu dicurigai dari sepeda motor yang setia menemani Pastor Benediktus mulai dari melayani sakramen sampai aksinya memerkosa dan membunuh istri Nikolaus, umatnya sendiri. Sepeda motor yang terparkir tak jauh dari asrama yang hangus itu tentu tidak bersalah sama sekali. Mencurigai Pastor Benediktus pun bukanlah pilihan yang tepat. Domba macam apa sampai tega mencurigai gembalanya? Sungguh sebuah dosa besar.
Anak asrama yang menyalakan kompor untuk menggoreng nasi itu kemudian dikeluarkan dari asrama. Orang-orang tua dari anak-anak asrama yang lain diminta untuk memaklumi kenyataan yang sudah berlalu, tanpa perlu bertanya terlalu banyak hal. Anak-anak yang tetap memilih tinggal bersama Suster lugu yang cantik itu ditampung sementara waktu di pastoran. Asrama akan segera dibangun kembali.
"Saya sudah menghubungi seorang donatur yang bersedia membiayai pembangunan asrama yang baru, Suster. Namanya Ibu Adona," ujar Pastor Benediktus suatu hari Minggu sehabis misa.
"Aduhhhh, puji Tuhan, Romo. Kasihan juga anak-anak yang selama ini tinggal di sini. Kami hanya membebankan Romo, setiap hari. Kira-kira, berapa biaya yang akan diberikan oleh donatur itu, Romo?" Suster lugu yang cantik itu antusias sekali, seperti berbicara di hadapan seorang pahlawan yang baru saja membebaskan satu negara dari tangan penjajah.
"Suster, soal dana, Suster tak perlu cemas. Dalam hal-hal tertentu, domba tak perlu tahu apa yang gembalanya dapatkan. Hehehehe......"
Wajah Suster kelihatan cerah ceria.
"Oh iya, Romo, bagaimana dengan utang asrama pada Bapak Nikolaus? Kami mengutang sayur dan daging segar, tapi belum sempat kami bayar. Api menghanguskan tidak hanya cita-cita anak-anak, tapi juga uang yang mestinya sudah kami cicil pada Bapak Nikolaus."
"Nikolaus? Kasihan dia. Istrinya mati bunuh diri, usaha perkebunan dan peternakannya hancur. Rupanya dia sudah hilang ingatan, Suster. Dokter beri informasi bahwa kondisi kejiwaannya sedang dalam gangguan berat. Santai saja, Suster. Bila mesti harus melunasi utang tersebut, Suster kira saya tidak bisa bantu? Suster kira saya ini gembala macam apa yang cuek di hadapan masalah yang dialami dombanya?"
Di mata Suster yang lugu dan cantik itu, Pastor Benediktus sungguh seorang pahlawan. Bukan "seperti pahlawan", tapi memang sungguh-sungguh pahlawan. Pahlawan yang seluruh kulit tubuhnya terbuat dari adonan solidaritas dan belas kasih. Pahlawan yang akan segera dimutasi ke paroki yang baru.
Romo, minta maaf, saya terlambat telepon...."
"Halo Ibu Adona, bagaimana Ibu?" jawab Pastor Benediktus.
"Anu, Mo, kami sudah siapkan makan malam, hari ini Papa Cinta ulang tahun. Maaf sekali Romo, kami terlambat memberi informasi...."
"Oh, baik, Bu. Saya sendiri akan ke sana....."
Pastor Benediktus mematikan telepon, mengambil jaket, lalu segera bertolak ke rumah Ibu Adona, donatur-maaf, umat-yang menghadiahinya handphone keluaran terbaru. Sesampainya di rumah Ibu Adona, Cinta yang imut dan lucu sudah menyambut di depan pintu sebelum "pippp" berbunyi tiga kali.
"Yeeeee.... Bapa Romo datang, yeee...."
Dalam hati kecilnya, Pastor Benediktus merasa bahwa dia sungguh sangat dicintai oleh keluarga Katolik yang saleh ini. Di depan pintu, sebuah tanda salib kecil mendarat di dahi Cinta. Pastor Benediktus menyalami Ibu Adona, lalu memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Papa Cinta sambil memeluk. Setiap kebaikan mesti dibalas dengan pelukan.
Acara makan malam usai. Cinta mulai mengantuk, sudah hampir jam 10 malam. Ibu Adona menggendong Cinta ke kamar setelah mencium tangan "Bapa Romo". Sepuluh botol bir dikeluarkan dari kulkas, khusus untuk Pastor Benediktus yang perutnya besar dan berlemak tebal. Sebagai seorang penikmat bir, membuka tutup botol menggunakan gigi jelas merupakan salah satu keahlian "Bapa Romo", meski ada alat bantu yang sudah Ibu Adona siapkan. Gigi Pastor Benediktus sama kuatnya dengan nafsu berbuat dosa saat beliau masih bertugas di paroki yang lama.
"Jadi begini, Mo, malam ini juga saya ingin sampaikan soal rencana kami sekeluarga membantu pembangunan kembali Asrama Susteran yang terbakar di tempat Romo pernah mengabdi itu. Kami sudah siapkan 500 juta. Apa itu cukup, Mo?" Papa Cinta membuka percakapan yang lebih serius.
Pastor Benediktus terkejut mendengar angka fantastis itu. Botol bir diletakkan kembali di meja, dan persis sebelum menjawab pertanyaan Papa Cinta, dari arah kamar Cinta tepat di belakang Pastor Benediktus, Ibu Adona menarik pelatuk dan sebuah peluru keluar dari pistol yang dilengkapi peredam bunyi. Dalam hitungan detik, kepala "Bapa Romo" berlubang, darah mengalir membasahi jaketnya. Pastor Benediktus mati mengenaskan.
Handphone Ibu Adona berdering.
"Bagaimana? Apa anjing sial itu sudah mati?"
"Beres, Bos!"
"Mantap. Kirim fotonya!"
Di seberang, Nikolaus Pu’u Pau tersenyum puas. Nikolaus tidak hilang ingatan. Jiwa Nikolaus tidak alami gangguan. Bisnisnya tidak benar-benar hancur. Semua hanyalah tipuan dokter bodoh dan pastor sialan itu.
"Tiap pemerkosa dan pembunuh harus mati mengenaskan!" Nikolaus mengatakan itu sambil melihat foto istrinya.
Reinard L. Meo adalah seorang guru SMA. Ia tinggal di Bajawa, Flores, Nusa Tenggara Timur. Buku puisi perdananya berjudul Segala Detikmu (Bawah Arus, 2016).