Ni Kadek Yulia Moore mempersembahkan koreografinya dari salah satu ruang kediamannya di Prancis. Koreografer lain, Rianto, dengan kostum cokelat bergerak lincah ke sana dan kemari di depan cermin studionya di Tokyo, Jepang. Di Jakarta, Elly Luthan mempersembahkan gerak tari yang halus berbasis tradisi Jawa.
Faturahman, koreografer asal Singapura, menyajikan gerak kontemporernya. Di Rumah Nari, ada Melati Suryodarmo, Eko Supriyanto, Jarot B. Darsono, dan Wahyu S.P. yang mempertontonkan gerakan tari dari pengalaman ketubuhan masing-masing. Penari lain, Yoyok Priambodo (Semarang), Nanu Munajar, Alfianto (Bandung), dan Iwan Dadijono (Yogyakarta), pun beraksi. Menutup acara, mereka bergerak bersama dengan koreografi masing-masing dalam satu iringan musik di aplikasi Zoom.
Begitulah cara mereka memperingati Hari Tari Dunia pada 29 April lalu. Mereka tak bisa bertemu di panggung nyata karena pembatasan sosial untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Dengan bantuan teknologi, mereka dipertemukan di saluran YouTube ISI Surakarta Official bertajuk "Dialektika 24 Jam Menari: Biosphere Vs Cybersphere". Selain menari, para koreografer berdialog memperbincangkan tubuh dan tari sejak pukul 10.00 hingga 17.00.
Seharusnya, pada peringatan Hari Tari Sedunia 2020 ada helatan "24 Jam ISI Surakarta Menari", yang digelar sejak 2007. Namun wabah menggilas semua rencana yang telah tersusun, membuyarkan impian ratusan penari dari seantero negeri yang siap mempersembahkan penampilan terbaik mereka. "Karena pandemi ini melanda Indonesia, dunia, kita tak bisa merayakan seperti biasanya," kata Guntur, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta di video itu.
Ia berharap situasi ini tak menghalangi para koreografer dan penari untuk tetap berkarya, berkreativitas, dan berinovasi. "Dalam situasi sulit ini, kita semua berusaha bagaimana inovasi dan kreativitas dijaga, dirawat, seraya menanggulangi wabah Covid-19."
Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid. "Biasanya kita semua berkumpul, menari 24 jam." Ia mengatakan, dengan medium baru, semua penari dan koreografer diharapkan bisa mengeksplorasi lebih jauh dan mencari bentuk baru, terobosan pemikiran, dan karya yang akan membantu masyarakat.
Tari dan dialog berselang-seling, bahkan bisa pula mereka menari di sela dialog. Misalnya, di sela dialog kilas balik perayaan Hari Tari Dunia di ISI Surakarta, para koreografer unjuk menari selama beberapa menit. Yoyok dengan dasar tari Jawa diiringi tembang Gambuh Rumekso Ing Wengi. Elly Luthan dengan gerak tubuh tari Jawa klasik menari dengan kipas. Di sela gerakan halusnya, ia tiba-tiba mengentak seperti gerak tari Bali.
Elly juga menyampaikan pesan kepada para penari dan koreografer muda untuk terus mengasah tubuh dan kepekaan mereka. "Berlatihlah, bereksplorasi, cerdaskan tubuhmu, tingkatkan kepekaan. Juga jujur, bergaul, dan rendah hati."
Jarot bersama Eko Supendi memperlihatkan koreografi dengan bambu yang ujungnya dipasangi tali yang dilingkarkan ke leher masing-masing. Tari itu mengisahkan jarak dan kerinduan dua sahabat yang terpisah karena pandemi.
Sementara itu, Rianto menyajikan beberapa video tariannya dan bercerita tentang capaian aktivitas selama tiga tahun teakhir. Salah satu prestasinya yang membanggakan adalah tampil dalam pentas festival Akram Khan tanpa audisi. Si empunya festival menunjuk Rianto menggantikan posisinya menari sebagai Bisma. "Saya diminta menggantikan dia, saya berkreasi dengan tubuh tari Jawa. Itu sungguh tantangan yang membanggakan," kata dia.
Rianto, yang tinggal di Jepang, juga terkena imbas pandemi. Semua jadwal pentas dibatalkan. Namun tubuhnya tak bisa ikut diam. Setiap hari dia berusaha terus berlatih dan bergerak. Ia juga mengajar secara daring.
Adapun Melati Suryodarmo dan Eko Supriyanto mendialogkan wacana "Biosphere versus Cybersphere". Melati mengatakan situasi saat ini memindahkan ruang realitas ke ruang maya, dunia teknologi. Tapi, menurut dia, dua hal ini berbeda. Realitas di panggung, menurut dia, susah digantikan dengan medium baru, seperti dunia maya dan film. Saat live streaming pun terdapat distorsi, reduksi, dan terasa kurang spesial.
Menurut Melati, panggung adalah ruang interaksi dengan publik. "Dinilai dan disaksikan di ruang dan waktu yang sama," ujarnya. Memang perlu strategi menggunakan teknologi untuk menjual, tapi tetap ada daya tawar. Adapun Eko mengatakan pegiat tari perlu bersikap kritis terhadap apa yang sedang terjadi, apa yang dialami, dan dikerjakan, lalu dikembalikan ke tubuh masing-masing.
Sementara itu, koreografer Hartati, yang tak ikut menari, mendiskusikan ide program pada masa pandemi. Ia bersama Heri Lentho menghelat program koreografi daring. Lalu koreografer lain, Yoyok Priambodo dan Nanu Munajar, yang bergelut dengan sanggar tari, merasakan pandemi ini sangat berpengaruh pada tubuh dan kreativitas. Pembatasan fisik memaksa penari berhenti menari, tapi tubuh mereka meminta terus bergerak untuk mengasah kelenturan dan kepekaan. DIAN YULIASTUTI