Uum G. Karyanto
Pulang haji kali ini, Sutriman membuat kejutan. Dia tidak membawakan oleh-oleh sebagaimana lazimnya orang pulang dari Tanah Suci. Jangankan sebentang sajadah, selingkar tasbih kayu siwak, atau sehelai sorban ala Yasser Arafat; sebiji kacang Arab pun tidak. Harapan orang-orang untuk bisa meraih berkah dari seteguk air zamzam pun menguap begitu saja. Padahal, itulah yang sangat diharapkan, di samping didoakan saat menciumi Hajar Aswad atau bermunajat di Raudhah. Sahabat atau orang-orang dekat tentu saja merasa pantas mengajukan dua permintaan sakral itu.
Sutriman juga sama sekali tidak mengadakan kenduri turun haji. Padahal, kenduri seperti itu sudah menjadi semacam kelaziman tradisi. Selain sebagai ungkapan rasa syukur karena telah berhasil menunaikan ibadah haji, selamat sampai di rumah, dan kembali berkumpul dengan keluarga dalam keadaan sehat walafiat, kenduri ini merupakan sarana menghimpun doa agar yang bersangkutan menjadi haji yang mabrur. Lazimnya, kenduri ini dihelat dua atau tiga hari setelah pulang haji dengan mengundang sanak saudara, handai tolan, jiran tetangga, dan kerabat kerja.
Orang-orang sebelumnya membayangkan-seperti saat menjelang keberangkatan sekitar dua bulan yang lalu-kenduri berlangsung semarak di bawah naungan delapan unit tenda. Setelah serangkaian acara resmi seperti pelantunan ayat-ayat suci Al-Quran, kata sambutan, pembacaan Surah Yasin, ceramah hikmah haji, dan pemanjatan doa, acara tentu saja dilanjutkan dengan makan-makan. Terbayang di kepala orang-orang, sebelum doa selesai, perut telah terprovokasi oleh aroma sate kambing, ayam kecap manis-pedas, puyunghai, dan pepes gurami yang tergolek dengan manisnya di atas meja prasmanan. Tetapi, sampai seminggu ditunggu-tunggu, bayangan menggiurkan itu ternyata tidak pernah terwujud. Kenyataan mengecewakan ini sontak menjadi bahan gunjingan di mana-mana.
"Apakah dia telah kufur nikmat, ya?" tanya seseorang.
"Ah, itu tuduhan yang keji. Janganlah kita su’uzhan seperti itu!" tukas yang lain.
"Atau mungkin dia telah menjadi miskin karena mahalnya ongkos haji?"
"Ah, mana mungkin. Kita tahulah, stabilitas ekonomi keluarga Sutriman tidak akan terganggu hanya karena biaya ONH dan biaya tetek-bengek lain yang menyertainya?"
"Lha, jadi kenapa?"
"Mana aku tahu. Kita tunggulah perkembangannya."
Ini kejutan berikutnya. Seminggu kemudian, Sutriman melenggang masuk kantor dengan sikap biasa-biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ucapan-ucapan selamat dan peluk-cium dari rekan-rekan sekantornya hanya dibalas dengan senyuman dan ucapan terima kasih sekadarnya. Tidak ada pancaran kegembiraan dan kebanggaan berlebihan pada wajah Sutriman sebagaimana yang mereka perkirakan. Cerita pernak-pernik pengalaman selama di Tanah Suci pun sama sekali tidak keluar dari mulutnya. Padahal, ibadah haji dalam pandangan umum adalah peristiwa sakral yang "tidak biasa-biasa saja". "Tidak biasa-biasa saja" itu bukan hanya karena tidak semua orang mampu secara finansial untuk melakukannya. "Yang terpenting," ungkap salah seorang dari mereka, "Itu perjalanan suci seorang muslim yang melibatkan dimensi jasmani dan rohani untuk bertamu ke rumah Allah dan bersimpuh sesimpuh-simpuhnya, menyerahkan jiwa dan raga di hadapan-Nya dan tepat di rumah-Nya."
Sikap Sutriman yang "biasa-biasa saja" itu tentu saja membuat rekan-rekan sekantornya mengernyitkan dahi, bahkan ada di antara mereka yang menganggapnya kurang adab. Sudah tidak membawa oleh-oleh, tidak kendurian, cuek pula. Barangkali itu yang ada di pikiran mereka. Tidak mengherankan jika kemudian muncul sindiran-sindiran halus tentang oleh-oleh, kenduri, dan sikap Sutriman yang nyeleneh itu. Tetapi, Sutriman menanggapi semua itu dengan-lagi-lagi-hanya senyuman.
Rupanya masih ada kejutan lanjutan. Kali ini menyerang Suherman, sang kepala kantor. Bagaimana tidak? Hari ketiga masuk kantor, Sutriman menyambanginya di ruang kerjanya dengan membawa secarik surat permohonan rekomendasi pengunduran diri dari jabatan-nya sebagai Kepala Urusan Umum dan Kepegawaian. Itu jabatan eselon III yang banyak diincar orang. Konon, itu jabatan prestisius dan "basah". Tidak sedikit pegawai negeri sipil dengan kualifikasi tertentu yang siap berjibaku dengan berbagai strategi dan pendekatan, baik yang bersifat administratif dan prosedural maupun yang menyelinap-nyelinap ke kantong-kantong kekuasaan di lingkaran-dalam, untuk bisa merebut dan menggenggam jabatan itu.
Besoknya terjadi kegaduhan kecil yang dibawa oleh seorang staf dari ruang kerja Sutriman. Dia menceritakan bagaimana Sutriman menyingkirkan papan namanya dari meja kerjanya dan menggantinya dengan papan nama baru. Papan nama baru itu bertulisan SUTRIMAN BAIHAQI, tidak lagi Drs. H. SUTRIMAN, M.B.A. Sutriman juga memberi instruksi, nama baru itulah yang digunakan dalam surat-menyurat dan data kepegawaian sepanjang tidak menyangkut hal yang sangat resmi atau berkategori dokumen hukum. Lha, itu mau dikemanakan gelar haji, Drs., dan M.B.A.-nya, pikir staf yang terhitung masih muda itu. Belum sempat dia mengungkapkan keheranannya, seakan bisa membaca pikiran, Sutriman berujar, "Kelak di yaumul hisab, malaikat akan memanggil kita hanya dengan nama diri yang dirangkai dengan nama ayah kita. Bapak sedang membiasakan diri agar kelak ndak celingukan di alam sana."
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan di lingkungan tempat tinggalnya, Sutriman juga memperlihatkan perubahan yang terbilang drastis. Frekuensi kehadirannya di masjid, di majelis-majelis taklim, dan pada acara-acara syukuran atau kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya, memang tetap seperti sediakala. Bahkan cenderung menunjukkan grafik yang meningkat. Namun, ada satu hal yang membuat orang bertanya-tanya. Penampilannya tidak lagi memenuhi standar umum seorang berpredikat haji. Dia tidak pernah lagi terlihat mengenakan gamis atau baju koko putih; berganti kemeja lengan panjang. Tidak ada lagi sorban melingkar di lehernya atau menyelempang pada bahunya. Songkok putihnya pun berganti dengan peci hitam polos. Bahkan, alih-alih mengenakan sarung, dia lebih sering memakai celana pantalon. Ketika seorang sahabatnya suatu hari seusai salat isya berjemaah di masjid mempertanyakan perubahan penampilan itu, dengan entengnya Sutriman menjawab, "Ah, ndak apa-apa. Biasa saja. Yang penting kalian masih menerima aku di masjid ini kan?"
"Iya, iya. Terus, kenapa pula kaupangkas janggutmu itu dan hanya kausisakan sedikit begitu? Kau tidak bersetia kepada sunah Rosul ya?"
Sutriman bangkit dari duduknya dan menepuk lembut bahu sahabatnya itu, "Memelihara ndak selalu sama artinya dengan memanjangkan tho."
Waktu terus melangkah. Dari hari ke hari, Sutriman tampak kian khusyuk dan tawaduk menjalani hidup. Di sisi lain, penampilan dan gayanya semakin bersahaja. Apalagi setelah memasuki masa pensiun dengan kedudukan terakhir sebagai staf sekretariat daerah. Tetapi, takdir tetap memperlihatkan realitasnya yang tak terpatahkan. Istrinya meninggal dunia. Meski itu kedukaan yang luar biasa, Sutriman terlihat tabah, tanpa memperlihatkan kesedihan yang berlebihan. Seperti dugaan hampir semua orang, keluarga Sutriman tidak menghelat prosesi takziah hari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan seterusnya. Pembacaan Surah Yasin, tahlil, dan doa cukup mereka lakukan di tengah keluarga.
Yang membuat semua orang di lingkungan itu geleng-geleng kepala justru peristiwa dua bulan sesudahnya. Sutriman memanggil pulang dua putranya untuk menyampaikan wasiatnya. Isi wasiat itu menegaskan dia membagi tiga harta kekayaannya. Untuk kedua anaknya masing-masing satu bagian dan sepertiganya akan disumbangkan kepada sebuah pesantren. Kedua anaknya langsung panik. Tetapi, bukan masalah warisan yang membuat mereka berontak. Mereka telah memiliki kehidupan yang mapan. Lagi pula, mereka sudah sangat paham pola pikiran bapak mereka itu; paham betul kehidupan hari tua bagaimana yang diinginkan bapak mereka. Yang membuat mereka berkeberatan adalah syarat yang akan diajukan bapak mereka kepada pihak pesantren, yaitu diizinkan tinggal di pesantren itu. Artinya, tidak seorang pun di antara mereka yang dipilih untuk merawatnya sampai habis sisa umurnya. Sutriman berkukuh dan menghibur kedua putranya dengan mengatakan bahwa kelak mereka bisa menjenguknya kapan saja ke pesantren.
Pengurus pesantren tercengang melihat besarnya angka nominal uang yang disumbangkan Sutriman. Tetapi, lebih tercengang lagi ketika mendengar dua permintaan Sutriman: merahasiakan identitas dirinya sebagai penyumbang dan diizinkan menempati salah satu kamar kecil saja di pemondokan pesantren. Melihat ketetapan hati Sutriman, sang pengurus pesantren mau tidak mau menyetujui dua permintaan itu. Dengan penuh rasa hormat, dia menawarkan sebuah kamar yang terbilang besar dengan fasilitas yang lumayan lengkap serta sebuah posisi di kepengurusan yayasan pesantren itu. Tetapi, tawaran itu dengan halus ditolak oleh Sutriman. Dia hanya menginginkan kamar kecil yang cukup untuk tidur saja. "Berilah saya kesempatan menghabiskan sisa usia di sebuah kamar kecil saja, Pak. Ya, sambil nanti membantu-bantu tukang kebun merawat tanaman."
Suwun, Kiai," sela seorang santri yang terbilang senior dan telah mulai diberi kepercayaan mengajar santri-santri tingkat tsanawiyah. "Kiai selalu mengajari kami menghargai logika. Kiai selalu menekankan aspek kausalitas dalam mencerna dan menyikapi suatu atau serangkaian gejala atau fenomena meski tetap berpegang teguh pada keimanan terhadap kebenaran absolut Allah. Sehubungan dengan cerita ini, sekali lagi nuwun sewu, Kiai, apa yang membuat Pak Sutriman berubah dan sampai kepada keputusan-keputusan dramatis seperti itu? Mohon penjelasannya, Kiai."
Kiai Sadri menatap teduh santri itu. Lalu bergumam, "Hmmm... itu pertanyaan bagus, Lek. Tapi... ya ndak perlu terlalu serius begitu. Ini kan hanya sebuah cerita," ujar sang Kiai. Sebelum melanjutkan cerita, kiai yang terbilang sepuh di lingkungan pesantren itu membenahi letak kacamata Mahatma Gandhi-nya. "Begini...."
Ketika melaksanakan thawaf, sebagaimana jemaah haji lainnya, Sutriman berjuang keras dengan mengerahkan segala kepasrahan dan kekuatan fisiknya untuk bisa mencium Hajar Aswad. Dalam keadaan terombang-ambing di antara pusaran manusia, Sutriman berhasil mendekati dan memegang bingkai batu itu. Namun, ketika batu itu hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari bibirnya, tiba-tiba, "plak", ada tamparan keras menghantam pelipisnya. Sutriman terpental dan terdorong keluar dari putaran thawaf. Tentu saja Sutriman belingsatan mencari-cari orang yang menamparnya. Dia ingin sekali balas menampar orang yang telah berlaku kurang ajar itu. Tetapi, dilihatnya semua orang tampak khusyuk, tenggelam dalam suasana ibadah mereka. Dia hanya bisa mengutuk-ngutuk dan mulai berjuang dari awal lagi; masuk ke lingkaran thawaf dan berusaha menjangkau Hajar Aswad lagi. Bukan main sulit dan kerasnya perjuangan itu, tetapi akhirnya dia berhasil berhadapan lagi dan segera mendekatkan bibirnya dengan Hajar Aswad. Tetapi, "plak", kembali satu tamparan menghantam pelipisnya. Sutriman kembali terpental ke luar lingkaran thawaf dan sia-sia mencari orang yang menamparnya. Sampai enam kali dia berjuang, merangsek pusaran thawaf, dan pada akhirnya dihajar sebuah tamparan. Bahkan, tamparan keenam membuat bibirnya berdarah, tubuhnya terhuyung dengan perasaan pusing yang hebat pada kepalanya.
Ketika hendak bangkit untuk mencoba lagi, tiba-tiba Sutriman tidak bisa melihat apa-apa. Pandangan matanya diselubungi kegelapan. Tak ayal lagi, Sutriman menjerit lalu tersungkur di lantai. Pada saat itulah dia merasakan matanya diserbu oleh kilatan-kilatan cahaya yang berganti dengan cepat. Setiap kilatan seakan menjadi pembuka satu adegan. Adegan-adegan itu kemudian terangkai menjadi semacam kaleidoskop yang menyajikan kilasan-kilasan sejarah hidup lelaki itu. Sutriman terpancang tegak di hadapan rangkaian gambar dirinya sendiri; menggigil kedinginan di bawah sengatan matahari yang memanggang Kota Mekah Al-Musyarofah.
Sutriman menyaksikan bagaimana dirinya berkacak pongah di hadapan para bawahannya; merunduk-runduk di hadapan para atasannya; menjadi bagian dari praktik-praktik markup anggaran proyek yang menjadi bagian tanggung jawabnya; merekayasa data kepegawaian untuk meloloskan atau menjegal pihak-pihak tertentu sesuai dengan apa yang diberikan atau tidak diberikan kepadanya. Dia juga menyaksikan bagaimana dirinya begitu gandrung akan penampilan artifisial dalam menjalankan ibadah; menuntut secara terselubung tepuk tangan kekaguman dan doa-doa sebagai imbangan atas sumbangan-sumbangan finansial dan material untuk keperluan masjid atau fasilitas sosial lainnya; merasa berhak mendapatkan pengakuan kedudukan elitis di tengah-tengah pergaulan masyarakat di lingkungannya.
Saat kilatan-kilatan itu berhenti sepenuhnya, dan penglihatannya pulih seperti sediakala, Sutriman diserang perasaan muak yang begitu hebat kepada dirinya sendiri. Dia tersungkur jatuh bersujud mengakui kekerdilan dirinya dan memohon ampunan Yang Mahakuasa. Air matanya membasahi lantai pualam Masjidil Haram. Lama dia membiarkan dirinya terkapar di lantai sebelum tiba-tiba terkejut sendiri oleh perasaan ringan pada tubuhnya. Dia merasa ada kekuatan yang membimbingnya kembali ke putaran thawaf. Desakan dan impitan dari jemaah thawaf dirasakannya justru mendorongnya mendekat ke hadapan Hajar Aswad. Lalu, diciuminya batu itu dengan kepasrahan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu lapang dan leluasa. Sutriman bahkan bisa memuaskan diri menghirup aroma harum abadi batu yang berasal dari surga itu.
"Subhanallah!" seru para santri serempak.
Kiai Sadri keluar dari masjid beberapa saat setelah para santri kembali ke pondokan mereka masing-masing. Dari pintu masjid, dia melihat di kejauhan seorang lelaki tua sedang memangkas pucuk-pucuk rimbunnya bunga asoka yang memagari halaman kecil sebuah paviliun di bagian belakang perpustakaan pesantren itu.
Baturaja, 21 Maret 2020
Uum G. Karyanto lahir di Majalaya, 3 Juli 1971; pendidikan terakhir S-2 Program Studi Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Medan (2015); saat ini tinggal di Baturaja, Sumatera Selatan.