Puisi Agung Wicaksana
Agung Wicaksana lahir di Surabaya, menulis puisi yang disiarkan di berbagai media.
Agung Wicaksana
Che
Viva Cuba!
Pekik itu terdengar
dari sekelompok pemberontak yang
hendak mencekik Batista
bertahun-tahun lalu
Tapi di atas meja, kini,
jika bisa, sejarah akan
memunguti air matamu juga
senyum tipismu yang tercecer
di berbagai jalur gerilya
Adalah purnama, yang tercermin di lautan
Suara ombak bebas ditafsirkan
seperti puisi Miguel Otero Silva tentang
jalan, hujan, jendela, atau
tentang yang tak ada hubungannya
sama sekali dengan
pelukan yang
tak kuasa menjangkau
pundak orang-orang lapar
datang dan pergi
dengan tanpa siapa-siapa
selain pertolongan tak henti
berdengung di telinga
Niatku barangkali juga
jari-jari menimbang-nimbang
kadar kemurnian
sebuah gelang
di pasar, di etalase toko,
di sunyi yang berdesakan
di sebuah kotak usang
Tapi daging dan roti
yang terhimpun di barak-barak
adalah kejutan
yang tak berketuk diberi,
yang tak berpamit pergi
Kebaikan tak ubahnya pita suvenir!
Ini mungkin keputusan
selagi alam liar
mencegah maju peradaban
dan para perempuan
mengangankan salju
meleleh dari pucuk-pucuk liana
Aku di sisimu
dalam petualangan terbaik
saat kita tidak mengetahui rute
dan turun di sebuah tempat
yang tinggi
Maka aku akan tetap membaca dan menulis
karena masih lebih baik
aku dipuja sekaligus dibenci
Sebab hanya olehmu
aku diakhiri
dengan tanpa rahasia
Surabaya, 1 Mei 2023
Giri Sapto
1/
beberapa kali aku ingin mati
raib dan menjadi gaib
memikul waktu ke asali
membiarkan delapan kuda dalam pigura
menemukan penunggangnya sendiri
membebaskan ikan-ikan berserupa
batuan bening; selintas diintai kehendak __
sepintas luput sebagaimana hari-hari
2/
beberapa kali aku ingin mati
dengan mengingat kisah sengsara di kalvari,
dengan bibir sewarna anggur crimson yang
tak sentimen terhadap putaran sloki
tenggelam dalam lengking violin
mengenangkan sambutan hangat
kendati yang masuk ke pelantang
ditimbulkan lewat kerongkongan yang tak
menenggak lirih dan serak, suara berpihak
pada yang robek, yang koyak
3/
mawar tak berpisah dari tangkai
melati tak bercerai dari batang:
aku ingin mati dan tak harus dikenang
syahdan kematian menjamah pundakku
seperti keajaiban, dengan tanpa isyarat menggenggam
pergelangan tanganku dan membimbing langkahku
ke hamparan rumput tak melulu hijau
di tepi sungai alangkah mengasyikkan
menyaksikan penampilan air yang tak menerus tenang
4/
suatu kali kematian datang kepadaku
dengan membawakanku kehidupan
seseorang membunyikan violin itu lagi
seseorang menari seperti sihir dalam puisi
cahaya membandang dari lukisan di belakang
matahari, seperti matahari yang sangat besar,
yang menghanyutkan bayang-bayang salah dan benar
di ambang riuh tepuk tangan
Yogyakarta, April 2023
Agung Wicaksana lahir di Surabaya pada 15 September 2000. Buku puisi alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini bertajuk Fanatorium (2017).