maaf email atau password anda salah


Cerita dari Sunyapringga..

Yanusa Nugroho, penulis yang lahir di Surabaya, Jawa Timur. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media massa.

arsip tempo : 172847643551.

Cerita dari Sunyapringga. tempo : 172847643551.

Cerita dari Sunyapringga..
Yanusa Nugroho

Subali merasakan sesuatu. Saat itulah Narada membayang di mata batinnya. Subali segera mengakhiri bertapanya dan duduk bersila, menunjukkan harga dirinya sebagai makhluk yang mengerti tata susila. Narada tertawa bahagia. Nyatanya, meski tubuh dan wajah Subali sudah menjadi kera, jiwanya masih manusia mulia, masih menunjukkan cahaya kemuliaannya.

Tak lama, Sugriwa, adik Subali, hadir di tempat itu. Dengan segera bersimpuh takzim, menundukkan segala keangkuhan, mengakui bahwa ada yang lebih besar dari dirinya. Sekali lagi, Narada tertawa dan lembah pun harum seketika.

Berdua mereka harus menyelamatkan Kahyangan Suralaya—kerajaan dewa-dewa—dari ancaman Maesasura dan Lembusura, raja dari Gua Kiskenda. 

“Jika para dewa bahkan tak sanggup menghadapi Maesasura, apalagi seorang Subali, wahai dewaku?” sebisik ucapan keluar dari batin Subali.

Narada tertawa dan dari keharuman gelak tawanya, bermekaran pemahaman di batin Subali dan Sugriwa. Bahwa itulah jalannya, suka tak suka, terterima atau tertolak oleh akal budi, begitulah adanya. Hubungan sebab-akibat tak sesederhana pikiran makhluk. 'Kalian tak akan mampu memikirkan betapa rumitnya aturan alam ini...' dan Narada pun terkekeh-kekeh. 

Subali-Sugriwa, tak berpikir panjang, keduanya kini di wilayah Gua Kiskenda. 

Makhluk raksasa berkepala harimau, Jatasura, menghadang keduanya. Sesaat baku hantam dan saling banting terjadi. Jatasura tak paham, bagaimana dua kera kecil itu mampu memiliki tenaga segunung karang? Tapi, hanya itulah yang mampu dilontarkan Jatasura, karena sesaat kemudian tubuhnya yang besar diringkus Subali, diputar-putar dan dilemparkan memasuki sebuah gua besar: Gua Kiskenda.

Jatasura, si raksasa berkepala harimau itu, mati tersungkur, di hadapan Maesasura dan Lembusura. Maesasura, bertubuh raksasa berkepala kerbau dengan sepasang tanduk besar melintang di kepalanya, kelihatan gusar. Dia mendengus geram. 'Ada yang berani menepuk dada? Siapa kau monyet?'

Lembusura, yang berkepala sapi, bertubuh raksasa, segera tanggap situasi.

Dewa-dewa tersenyum dan harum senyumnya sampai ke wilayah paling gelap dunia. Subali mampu menangkap isyarat itu. Dalam sebuah lompatan, Subali berhasil menggenggam rambut di kepala dua raksasa itu. Dan dalam sekali ayun, dua kepala itu dibenturkan, pecah bagai telur ayam menghantam batu. Darah dan otak menyatu, mengalir kental dari kedalaman gua. 

Di luar gua, Sugriwa meruntuhkan batu-batu. Air matanya tumpah. Subali telah mati bersama dua raksasa Gua Kiskenda.

***

Di dahan pohon Nagasari, Subali menggantung dengan kedua kakinya. Bertahun-tahun sudah dia bertapa dengan meniru perilaku kelelawar, di kesunyian dirinya. Matanya seperti menatap mata angin timur. Angin lembah memainkan anak-anak rambutnya. Tubuhnya kukuh karang, ditimpa cahaya sore, kulitnya menembaga.

Masih muda, dia. Mungkin kematian bahkan masih enggan menyebut nama Subali sebagai makhluk yang akan dijemputnya. Subali seperti tak peduli. Dia hanya berpikir: dia dikhianati!

***

Subali tegak di mulut gua yang telah pecah batu-batu penghalangnya. Mengapa Sugriwa menutup mulut gua? Apa maksudmu Sugriwa? Lalu melompatlah Subali ke angkasa, menuju kayangan tempat para dewa bersemayam.

Di kayangan tempat Batara Narada, kebetulan Sugriwa dan Dewi Tara tengah duduk berbincang. Subali yang gelap mata, seakan lupa tata krama, menghajar Sugriwa di hadapan Narada. 

“Apa maksudmu menutup mulut Gua Kiskenda, Sugriwa?”

“Melaksanakan perintahmu.”

“Perintahku? Orang bodoh macam apa yang berkata begitu?”

Dan hanya Narada dengan kekeh tawanya yang mengharum mampu meredam Subali. Seperti diingatkan akan seluruh kejadian, yang ternyata memakan waktu dua puluh lima purnama, Subali terdiam. Bagaimana mungkin dia bisa lupa ucapannya sendiri kepada Sugriwa. 'Jika yang mengalir keluar darah berwarna putih, tutuplah segera pintu gua. Aku telah mati.' Saat itu, dia merasa bahwa darahnya berwarna putih. Kebodohan paling kera yang pernah dilakukannya. Adalah wajar jika kini Sugriwa menjadi pahlawan dan Tara—istri Subali—dirawat oleh Sugriwa. 

Subali terduduk. Seorang bocah berwajah kera belajar berjalan mendekatinya. “Dia anakmu, Subali..” ucap Sugriwa. “Dia lahir ketika ibunya menjadi janda dan aku diserahi tugas untuk merawatnya...”

Mata Subali nyalang menatap si bocah kera. “Siapa namanya?”

“Kami memanggilnya dengan nama: Anggada; bagaimana menurutmu?”

Subali terdiam. 

Subali terdiam dan kembali mengalong, sampai entah beberapa tahun kemudian ada yang tiba-tiba menyerangnya. Menyerang dengan segenap kekuatan tubuhnya, namun sepertinya serangan itu sia-sia. Subali bahkan tak beranjak dari posisi mengalong-nya. 

Raksasa itu masih muda. Mungkin seorang pangeran, menilik hiasan dan pakaian yang dikenakannya. Berkali-kali dia menghantam Subali, tetapi serangannya seolah menembus udara. Kedua lengannya mencoba menangkap tubuh Subali, tapi seolah hanya memeluk air. 

Subali terkekeh. Batuk-batuk kecil, tetapi tetap mengalong. Bahkan kini kedua lengannya bertolak pinggang, dengan kepala menggantung melawan daya tarik bumi. Pangeran bertaring itu—sebenarnya gagah juga—menghantamkan gadanya kepada Subali. Entah setan apa yang meringkusnya, Subali tak bisa menghindar. Dadanya pecah dihantam gada lawan. 

Si raksasa muda tergelak-gelak gembira. Namun, makhluk yang baru saja pecah dadanya, yang baru saja terkapar muntah darah, mati mengenaskan itu, melompat bangun dan segar bugar. Si raksasa tak sempat berpikir macam-macam karena Subali sudah melompat dan menghantamkan tinjunya, yang ternyata beratnya tak terkira. Raksasa yang nyaris dua kali besar dan tingginya dibanding Subali itu terhuyung. Gelap melingkupi pandangannya.

***

Entah pada gempuran ke berapa, raksasa itu teringkus Subali; nyaris leher itu patah diinjak kaki Subali. Jika saja tak ada sosok raksasa tua yang mengiba-iba, memintakan maaf bagi si raksasa yang kalah itu, Subali sudah membunuhnya. Raksasa tua yang menangis itu mengatakan bahwa dia bersedia menggantikan kemenakannya yang memang kurang ajar itu. Dia mengaku bernama Prahasta, petinggi Kerajaan Alengka dan yang tersungkur tak berdaya itu adalah Rahwana, raja muda yang masih ingusan, kemenakannya. 

“Aku bahkan tak mendengar dia merintih, apalagi meminta maaf. Pantaskah dia mendapatkan maaf?” ucap Subali tetap menginjak leher Rahwana.

Prahasta mencium tanah, memohonkan maaf untuk kelakuan kemenakannya. Dilihatnya wajah Rahwana sudah sepucat getah kamboja. “Ucapkan maafmu, Dasamuka... ucapkan...”

Dan bumi menjadi saksi, Rahwana membisikkan permintaan maafnya. Subali melompat dan melipat kaki, bersila di udara pagi. Rahwana mengatupkan telapak tangannya, kagum pada kehebatan Subali. Dan sejak hari itu hingga bertahun kemudian, Rahwana menjadi murid Subali. 

***

Tetapi cintanya kepada Tara memang tiada tara. Subali tak pernah bisa merelakan Tara, bidadari itu, menjadi istri Sugriwa—saudara kembarnya. Meskipun tentu saja semua alasan itu bisa diterimanya. Semua yang terjadi memang sudah dibiarkan berlalu, tetapi cintaku padamu, oh Tara, tak bisa kurelakan begitu saja. Di mata Subali, tak ada bidadari atau peri yang sanggup menandingi kecantikan Tara. Bukan hanya cantik wajahnya, jiwanya pun terlalu harum. Itu sebabnya, ketika angin membisikkan cerita dan di dalam cerita itu Tara mendapat perlakuan buruk Sugriwa, Subali marah.

Kera tua itu langsung menantang Sugriwa dengan kepongahan di luar batas kesadaran makhluk yang pandai berbicara. Maka, kembali perkelahian dua bersaudara kembar itu terjadi begitu saja. Seolah itu adalah gundukan jerami di kemarau panjang yang dengan sangat mudah terbakar api. Kembali bumi, batu, pohon, sungai, gunung, lembah, jurang, bahkan awan di langit menjadi saksi perkelahian kedua anak Resi Gutama itu. Hampir saja perkelahian berhari-hari itu memaksa ruh Gutama kembali ke dunia fana, Subali berhasil mengakhiri. Sugriwa terhantam dan lemas tak berdaya, lalu tubuhnya dijepitkan di dahan dua pohon asam yang berimpitan. Sugriwa hidup tidak, mati pun tak.

***

Subali seperti mencium keharuman jiwa Tara dan seketika redalah amarahnya. Tidak, Subali kembali bisa merelakan Tara hidup sebagai istri Sugriwa dan dia bermaksud melepas Sugriwa dari impitan dahan pohon asam tua. Namun, Sugriwa tak ada di sana. Bahkan kini dia menantang kembali. Dan api itu pun tersulut kembali. Bukan, bukan tersulut, mungkin disulut. Oleh siapa? 

Suara desitan tajam itu membelah udara hening. Tanpa perlu kedipan mata, Subali terlontar cukup jauh, dadanya luka, ada anak panah menancap di sana. Aneh, biasanya luka itu akan sembuh kembali, bahkan nyawa yang sempat terlontar akan kembali begitu tubuhnya menyentuh tanah. Ke mana kekuatan Pancasona? Inikah akhir hidupku? 

Subali terdiam memandangi raja muda yang duduk di depannya, seperti ponggawa menghadap seorang raja. Di belakang raja, tanpa pakaian kerajaan itu, bersimpuh Sugriwa berlinangan air mata.

“Kaukah raja yang dijanjikan itu? Telah kuhidu harumnya kebesaranmu, bahkan para dewa di sana mengabarkan kebesaranmu."

Subali segera duduk bersila, menunjukkan harga dirinya sebagai makhluk yang mengerti tata susila. Kepalanya terkulai, sukmanya mengharum, menyatu dengan kesenyapan Sunyapringga…

Pinang, 982.

Yanusa Nugroho, penulis yang lahir di Surabaya, Jawa Timur. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media massa.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024

  • 7 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan