maaf email atau password anda salah


Tak Sekadar Menyuruh Anak Belajar

Pendidikan anak bukanlah semata tugas sekolah. Berikut cara meningkatkan peran orang tua dan masyarakat dalam pembelajaran anak.

arsip tempo : 173074489072.

Ilustrasi seorang ibu mengajarkan anaknya. Shutterstock. tempo : 173074489072.

Dalam hidupnya, anak mengalami tiga ruang pergaulan yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai tripusat pendidikan, yaitu keluarga, perguruan (sekolah), dan pergerakan pemuda (masyarakat). Tripusat pendidikan ini menjadi dasar pengembangan pendidikan berkualitas dengan mendorong keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam dunia pendidikan. Secara formal, hal ini telah diatur pada Pasal 7-9 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) maupun Pasal 13-16 RUU Sisdiknas.

Topik keterlibatan orang tua dan masyarakat merupakan salah satu isu krusial yang diteliti oleh Research on Improving Systems of Education (RISE)-Indonesia, sebuah program penelitian berskala global di Indonesia yang dilaksanakan melalui kemitraan SMERU Research Institute dengan Oxford Policy Management dan Blavatnik School of Government Universitas Oxford, Inggris, pada 2017-2022.

Kami meneliti peran orang tua dan masyarakat di tiga daerah, yaitu Kebumen, Jawa Tengah; Bukittinggi, Sumatera Barat; dan Yogyakarta. Penelitian kami menemukan dua cara menumbuhkan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar anak sebagai berikut:

Ilustrasi orangtua mengajarkan anaknya. PEXELS

1. Meningkatkan komunikasi antara orang tua dan guru

Dari Februari 2020 hingga April 2021, RISE-Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kebumen melakukan intervensi, yaitu perlakuan terhadap subyek penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul, guna menumbuhkan partisipasi orang tua dan masyarakat agar aktif mendampingi belajar anak.

Intervensi dilaksanakan dengan cara setiap bulan guru mengirim surat kemajuan belajar masing-masing anak kepada orang tua kelas I-VI. Untuk meningkatkan keterlibatan orang tua, mereka diminta merespons surat tersebut pada “bagian tanggapan”, kemudian dikembalikan kepada guru. Intervensi ini dilengkapi dengan pengiriman poster dorongan keterlibatan orang tua dalam pembelajaran anak.

Selesai intervensi, kami melakukan survei dampak melalui kepala sekolah, guru, serta orang tua di 65 sekolah dasar di mana kami melakukan intervensi dan 65 sekolah dasar lainnya yang tidak. Hasilnya menunjukkan bahwa program berhasil meningkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar di rumah dan komunikasi orang tua dengan guru. Meningkatnya komunikasi orang tua dan guru telah memperbaiki pula motivasi serta dukungan guru dalam membimbing pembelajaran murid.

Manfaat komunikasi yang baik antara orang tua dan guru juga terlihat di Bukittinggi. Selama sekolah tutup karena pandemi Covid-19, RISE-Indonesia mencatat jumlah pertemuan murid dan guru menurun. Namun mereka tetap belajar 6 hari per minggu bersama orang tua. Hasilnya, berdasarkan tes numerasi dan literasi, selama belajar dari rumah pada 2020, murid di Bukittinggi dapat mempertahankan hasil belajarnya.

2. Merawat lingkungan belajar yang kondusif

Sebelum melakukan intervensi dan penelitian di Kebumen, RISE-Indonesia meneliti inovasi daerah yang melibatkan orang tua dan masyarakat dalam merawat lingkungan belajar anak di Bukittinggi dan Yogyakarta pada Juni-Desember 2019.

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kedua daerah tersebut menemukan cara merawat peran orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendorong anak belajar di rumah.

Bukittinggi, contohnya, memiliki sekolah keluarga (SK), sebuah program berbasis komunitas dengan 16 sesi pertemuan yang difasilitasi akademikus dan birokrat lokal. SK berfokus pada fungsi keluarga, khususnya dalam pendidikan anak. SK dikelola dan dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kelurahan dengan peserta setiap angkatan sekitar 15 orang.

Seorang guru memantawu kegiatan muridnya saat penerapan pelajaran Keminangkabauan di SD Pembangunan Lab.UNP Padang, Sumatera Barat, 14 November 2023. ANTARA/Iggoy el Fitra

Kegiatan tersebut terlaksana berkat kuatnya jaringan kekerabatan. Dalam tradisi Minangkabau, terdapat konsep “mamak”, yaitu paman atau saudara laki-laki dari ibu. Mamak berperan dalam membimbing kemenakan (keponakan), memelihara dan mengembangkan harta pusaka, serta mewakili keluarga dalam urusan keluar. Mamak juga berkewajiban membantu anak-keponakan agar sukses mengarungi kehidupan.

Dalam konteks yang lebih luas, hubungan mamak dan kemenakan bisa dipahami juga sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Sehingga pejabat dan tokoh masyarakat dapat juga berposisi sebagai “mamak” bagi rakyat.

Motto "Bukittinggi saayun salangkah", yang berarti ayunan tangan seirama dengan langkah kaki, memberi semangat kepada warga untuk menuju arah yang sama meski dengan cara atau dalam kelompok yang berbeda. Gerak ini cenderung egaliter.

Sementara itu, Yogyakarta menginisiasi program jam belajar masyarakat (JBM) yang tujuannya menyediakan lingkungan nyaman bagi anak untuk belajar di rumah. Untuk itu, warga bersepakat mematikan radio, televisi, dan gawai antara pukul 18.00-20.00 setiap malam.

Inovasi tersebut lahir dalam struktur sosial yang mencerminkan nilai guyub rukun yang menjunjung kebersamaan hidup berlandaskan kedamaian hubungan antarwarga dan menghormati pemimpin.

Di Kampung Jogoyudan yang terletak di bantaran Kali Code, Yogyakarta, komunitas mahasiswa dari berbagai universitas rutin melakukan pengabdian dengan membantu anak-anak belajar. Karena itu, keterbatasan kemampuan, waktu, dan finansial keluarga dapat dikompensasi oleh kehadiran bantuan pihak luar.

Aksi kolektif masyarakat dan pemerintah di Kebumen, Bukittinggi, serta Yogyakarta di atas telah terbukti berhasil merawat mutu pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendampingi anak belajar perlu dilembagakan secara eksplisit dalam peraturan-perundangan pendidikan.

Pendampingan belajar anak bukan berarti orang tua menjadi “guru pengganti” di rumah karena mereka belum tentu memiliki kapasitas mengajar. Kewajiban orang tua dan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan melalui intervensi di Kebumen, SK Bukittinggi, dan JBM Yogyakarta, adalah berkomunikasi secara aktif dengan guru, serta menyediakan lingkungan pendukung yang kondusif dengan cara-cara yang sesuai dengan konteks kearifan lokal.

---

Artikel ini ditulis oleh Syaikhu Usman, Asep Kurniawan, dan Risa Nihayah dari SMERU Research Institute, Jakarta. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 November 2024

  • 3 November 2024

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan