maaf email atau password anda salah


Stigmatisasi Dampak Perceraian bagi Pendidikan Anak

Penelitian mendapati dunia pendidikan anak memandang negatif orang tua yang bercerai. Perlu ada dukungan bagi orang tua tunggal.

arsip tempo : 171449215944.

Ilustrasi seorang anak yang lulus perguruan tinggi didampingi orangtuanya. Shutterstock. tempo : 171449215944.

Dalam percakapan sehari-hari ataupun di media sosial, kita sering dibanjiri berbagai informasi seputar parenting (pengasuhan anak). Dalam hal ini, gaya pengasuhan orang tua, terutama oleh ibu, sering menjadi sorotan warganet—seolah-olah hanya ada standar tunggal dalam pengasuhan anak yang harus diikuti untuk menjadi orang tua yang baik, ideal, atau teladan.

Namun narasi tentang pengasuhan anak lebih menekankan pada peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak dan keluarga tradisional yang "utuh".

Saat ini, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal atau single parent.

Mengkambinghitamkan Orang Tua yang Bercerai

Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai faktor risiko utama atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.

Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap disebut sebagai dampak perceraian orang tua. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami kendala akademis dan putus sekolah lebih awal.

Padahal studi menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru mayoritas anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Selain itu, perbedaan performa akademik tidak begitu terlihat antara siswa dari keluarga yang berpisah dan tidak.

Ilustrasi orangtua bersama anaknya. Shutterstock

Tantangan Partisipasi Orang Tua Tunggal

Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi dalam pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal mereka banyak mengalami kendala untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah.

Orang tua tunggal biasanya tergolong kelompok ekonomi lemah dan rentan masuk jerat kemiskinan. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial ataupun pengasuhan dari mantan pasangan—membuat mereka mengemban kerentanan yang berlipat.

Selain itu, mereka biasanya terhambat kurangnya dukungan sosial.

Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, asisten rumah tangga (ART), suster, atau daycare bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.

Sedangkan masyarakat ekonomi lemah biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah, seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.

Wajar orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.

Stigma terhadap Kelompok Rentan dalam Dunia Pendidikan

Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral—bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua ataupun anaknya karena mereka termasuk kelompok rentan. Kerentanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, dari sulitnya orang tua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.

Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal.

Misalnya, pada studi diagnostik bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat pada 2016, sebagian informan, termasuk guru, acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan motivasi belajar siswa yang rendah dianggap sebagai dampak ketidakharmonisan keluarga.

Dalam studi kualitatif lain bersama program RISE di Kota Yogyakarta pada 2021, sebagian guru menganggap berbagai permasalahan siswa, seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran, dan kurang sopan selama pembelajaran, disebabkan oleh kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.

Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan pandangan negatif yang melekat pada kelompok rentan. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan meningkatkan kesenjangan tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.

Apalagi angka perceraian di Indonesia semakin meningkat selama satu dekade terakhir, serta diklaim sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk kelompok rentan berpotensi semakin bertambah.

Ilustrasi orangtua menyambut anaknya pulang sekolah. Shutterstock

Dukungan bagi Orang Tua Tunggal

Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapat pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial.

Pertama, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Zimbabwe, misalnya, mendorong pihak sekolah memberikan fleksibilitas waktu dalam pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran tentang struktur keluarga non-tradisional sehingga siswa bisa berempati pada kondisi temannya.

Kedua, kelompok dukungan, seperti komunitas orang tua tunggal, juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.

Di Kanada, eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (support group) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.

Kebijakan Berbasis Komunitas

Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya program Sekolah Keluarga (SK) di Bukittinggi dan Jam Belajar Masyarakat (JBM) di Yogyakarta.

Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada peningkatan kualitas pengasuhan orang tua serta motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua dalam pendidikan anaknya.

Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaatnya.

Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi, tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak, yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan anaknya mengalami kendala akademik pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.

Sementara itu, pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memantau anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan tetangganya ketika ia harus bekerja.

Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak, terutama dari kelompok rentan, seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi "it takes a village to raise a child" (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).

Kolaborasi dan dukungan dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapat pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya.

Namun perlu dicatat bahwa, meski dampak kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak. Arah kebijakan ke depan perlu lebih mendorong pelibatan ayah, baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.

---

Artikel ini ditulis oleh Risa Nihayah, peneliti SMERU Research Institute. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024

  • 27 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan