Bolehkah Media Berpihak?
Bagaimana seharusnya media massa menentukan keberpihakannya.
MEDIA massa Amerika Serikat tengah dihebohkan oleh keputusan manajemen The Washington Post yang menyatakan koran itu tak akan mendukung atau menganjurkan pembacanya memilih salah satu calon presiden dalam pemilihan umum pada 5 November besok. Keputusan manajemen The Post itu menghentikan sikap redaksi koran ini yang sudah disiapkan bakal mendukung Kamala Harris, calon presiden dari Partai Demokrat.
Keputusan manajemen The Post memicu amarah para redaktur koran itu. Tiga anggota dewan redaksi mundur dari jabatannya. Reaksi para editor The Post serupa dengan respons redaktur Los Angeles Times terhadap pengumuman manajemen yang menyatakan netral dalam pemilihan presiden, yang terjadi beberapa hari sebelum pengumuman manajemen The Post.
Puluhan ribu pelanggan dua koran itu, termasuk figur terkenal seperti penulis Stephen King, melampiaskan kekecewaan di ruang komentar berita yang memuat keputusan itu dan menyerukan pembatalan langganan. Sampai akhir pekan lalu, sebanyak 250 ribu pelanggan telah mencabut langganan mereka. Itu artinya, The Post kehilangan 10 persen pelanggan berbayar gara-gara keputusan itu.
Pelanggan beralasan sikap netral The Post hanya membuka pintu bagi pengaruh Donald Trump. Legenda The Post yang membongkar skandal Watergate pada 1972, Bob Woodward dan Carl Bernstein, menyebut keputusan manajemen itu mengecewakan mengingat liputan-liputan koran ini telah menunjukkan ancaman nyata Donald Trump terhadap demokrasi Amerika. Ada juga yang mengutuk keputusan itu karena The Post lepas tangan ketika warga Amerika dihadapkan pada pilihan yang sulit dan menentukan.
Para pembaca menyatakan keputusan manajemen The Post melanggar prinsip “pagar api” antara manajemen dan kewenangan redaksi. Serikat pekerja Washington Post menerbitkan rilis yang mencemaskan intervensi manajemen kepada para wartawan. Jeff Bezos menyangkal tuduhan keputusan netral dalam pemilu karena hubungan dekatnya dengan Trump. “Tak ada imbalan apa pun,” katanya. “Keputusan ini murni dari lingkup internal”.
Berbeda dengan Los Angeles Times dan The Post, biro Amerika majalah The Economist memberikan dukungan kepada Kamala Harris. Dalam sebuah editorial, redaksi menulis alasan-alasan mereka mendukung kandidat presiden perempuan pertama kulit berwarna itu. Menurut mereka, Trump terlalu menakutkan jika memimpin Amerika karena kebijakan-kebijakannya bisa menimbulkan ketegangan politik di seluruh dunia yang membuat ekonomi Amerika terancam, seperti saat ia menjadi presiden pada 2017-2021. Sedangkan Kamala, meski kurang menjanjikan dan gamang dengan kekuasaan, punya kebijakan ekonomi lebih stabil.
Dari apa yang terjadi di dua media terkemuka itu, muncul pertanyaan: bolehkah media berpihak dalam politik? Di Amerika, keberpihakan media sudah jadi hal biasa dan mendapat dukungan pembaca. Namun alasan Bezos ketika menyetop sikap korannya dalam pemilihan presiden itu juga menarik: “Mengembalikan independensi The Post dan kepercayaan kepada media.”
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada 4 Juli 2014, lima hari sebelum pemilihan presiden 2014, redaksi The Jakarta Post menerbitkan editorial berjudul “Endorsing Jokowi”. Bagi redaksi Jakarta Post, memilih Jokowi merupakan pertimbangan moral untuk menyelamatkan demokrasi. Jauh sebelumnya, pada 28 Oktober 2013, di masa kampanye, majalah Tempo menurunkan editorial yang menganjurkan pemilik suara tak memilih Prabowo Subianto karena jenderal tentara ini “turunan produk gagal reformasi”.
Pasal 1 Kode Etik Wartawan Indonesia menyebutkan wartawan Indonesia “bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.” Kata “independen” selalu disalahpahami dan dipertukarkan dengan sikap “netral”. Karena salah paham ini, berkebalikan dengan Amerika, publik Indonesia acap menghujat media yang menunjukkan keberpihakan dalam peristiwa politik. Mana yang benar?
Media bertugas menyebarkan informasi yang kredibel. Para wartawan bekerja mendekati kebenaran dengan menggali fakta sebuah peristiwa sedalam mungkin. Namun, karena keterbatasan kerja wartawan, kebenaran dalam jurnalistik merupakan kebenaran yang terikat waktu. Sebuah fakta benar dalam waktu tertentu karena sejauh itu wartawan bisa mencapainya. Kebenaran itu mungkin keliru jika di kemudian hari ada fakta lain yang menyanggahnya. Karena itu, pertaruhan kerja wartawan adalah etika dan prosedur mendapatkan informasi. Jika prosedurnya keliru, atau melanggar etik, fakta yang disajikannya besar kemungkinan keliru.
Menurut teori jurnalistik, media adalah pilar keempat demokrasi. Tugasnya memantau dan memelototi kerja tiga pilar lain, yakni legislatif yang menghasilkan hukum, eksekutif yang menjalankan hukum, dan yudikatif yang menjadi wasit hukum. Tiga pilar lain memiliki kekuasaan, bahkan para pelaksananya mendapatkan upah dari pajak masyarakat. Dengan demikian, pengawasan media terhadap tiga pilar itu adalah kepanjangan tangan dari hak publik yang telah memberikan pajak untuk tahu apa yang dilakukan tiga lembaga tersebut. Karena itu, “media” acap digandengkan dengan “massa”.
Meski tak punya kaitan langsung dalam hal finansial selain transaksi jual-beli berita, media memiliki tanggung jawab tertinggi kepada publik. Perannya sebagai penyalur informasi membuatnya bertanggung jawab secara moral kepada khalayak. Media bahkan acap diposisikan sebagai pembentuk opini publik. Dengan demikian, informasi yang disajikan wartawan mengacu pada dua hal, yakni penting dan relevan bagi kepentingan publik.
Karena tiga pilar lain menghasilkan hukum yang mengikat publik, mau tak mau, kerja media juga berkaitan dengan pengawalan kebijakan itu. Media akan mengawasi tiap kebijakan beserta konsekuensi-konsekuensinya agar segera dimengerti oleh orang banyak. Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak tahu atas apa yang sedang direncanakan atau sudah diputuskan oleh tiga pilar itu karena konsekuensinya akan ditanggung bersama.
Karena itu, dalam memberitakan kebijakan publik, media tidak bisa netral. Ia akan mendukung atau menentang sebuah kebijakan karena ada konsekuensi bagi kepentingan orang banyak. Pijakan kritik atau pujian selalu beralas pada kepentingan publik. Publik yang mana? Publik yang terimbas oleh kebijakan tersebut. Pijakan keberpihakan pada publik adalah prinsip adil, setara, dan manusiawi.
Sampai di sini media tidak bisa netral. Peran media tidak sekadar memberitakan karena mereka memiliki tanggung jawab moral menjunjung nilai-nilai universal itu. Agar keberpihakan tak terkontaminasi kepentingan selain kepentingan publik, media harus independen, tak terikat pada orang atau kepentingan lain. Karena itu, media mesti menjadi institusi yang terbuka: publik bisa melihat kepentingan yang mendasari keberpihakannya.
Sebuah media bisa dikatakan independen jika ia tak punya kaitan kepemilikan saham dengan mereka yang berkepentingan dalam urusan publik. Untuk mewujudkannya, media mesti memiliki sistem yang kuat untuk menjaga kemurnian ruang redaksi. Tiap orang di dalam ruang redaksi mesti setara dan memiliki kebebasan dalam beropini agar dapat saling mengoreksi sikap, bahkan saling mengingatkan jika—katakanlah ada—titipan kepentingan dari luar ruangan kerja mereka.
Karena keberpihakan media beralas pada kepentingan publik, ia akan selalu melihat seorang calon pemimpin, sebuah kebijakan dan praktiknya, melalui tiga asas demokrasi yang sudah disebut di atas: keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Karena itu, jika media boleh berpihak terhadap kebenaran dalam banyak peristiwa, bolehkah mereka juga berpihak kepada calon presiden karena pemilu merupakan peristiwa politik yang melibatkan publik? Jawabannya adalah bisa, sepanjang keberpihakan itu merupakan bagian dari sikap redaksi yang tak terintervensi oleh siapa pun dari luar ruang redaksi. Namun, dalam membuat berita, para wartawan tetap terikat prinsip keberimbangan, nonpartisan, dan nada netral dalam menyajikan fakta.
Dalam kasus Washington Post, “pagar api” antara manajemen dan redaksi telah runtuh. Netral, mendukung, ataupun menentang dalam politik seharusnya menjadi sikap redaksi. Sebab, dalam manajemen perusahaan ada kepentingan bisnis. Akibatnya, keputusan mereka pun rawan konflik kepentingan. Bezos bisa menyangkal keputusannya tak dipengaruhi siapa pun. Namun, sebagai pengusaha, ia punya bias bisnis mengingat banyak usahanya di pemerintahan federal sehingga timbul spekulasi bahwa ia sedang berusaha mendapatkan dukungan Trump.
Di luar soal debat keberpihakan dan netralitas The Post, transparansi redaksi mereka patut dipuji. Para wartawan tak segan memberitakan bisnis Bezos, mengungkap hubungannya dengan Trump, dan menulis respons atas keputusan manajemen itu secara berimbang. Pembaca jadi tahu siapa mengambil sikap apa. Karena itu, ruang redaksi yang akuntabel penting bagi sebuah media. Publik mesti bisa melihat sejauh mana keputusan-keputusan redaksi terpengaruh oleh manajemen dengan melihat pola kerja mereka.
Sebagai “anjing penjaga” yang mengawasi tiga pilar demokrasi, media sebetulnya tak bisa tidak selalu berhadapan dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu, media boleh berpihak, bisa mendukung kandidat tertentu dalam politik, tapi dengan argumen-argumen yang beralas kepentingan publik. Sebab, keberpihakan yang argumentatif tak akan menghilangkan kritik.
The Economist kurang puas dengan performa Kamala Harris. Namun, dengan banyak rencana kebijakan buruk dan mengerikan Donald Trump, mereka menjatuhkan pilihan kepada Kamala. Pertimbangan itu bisa menjadi referensi bagi publik untuk menjatuhkan pilihan dalam pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Setelah pemilu selesai, media dan politikus akan kembali berhadapan secara diametral di ruang publik.