maaf email atau password anda salah


Omon-omon Swasembada Energi Prabowo

Gagasan swasembada energi Presiden Prabowo Subianto hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan menambah konflik.

arsip tempo : 172983403381.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172983403381.

SAAT berpidato seusai pelantikannya di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto berkata, "Tanaman-tanaman seperti sawit bisa menghasilkan solar dan bensin. Kita juga punya tanaman-tanaman lain, seperti singkong, tebu, sagu, dan jagung. Kita juga punya energi bawah tanah geotermal yang cukup." Ia lalu melanjutkan, "Kita punya batu bara yang sangat banyak. Kita punya energi dari air yang sangat besar."

Isi pidato itu menyiratkan gagasan swasembada energi pemerintahan Prabowo. Gagasan mencapai swasembada energi jelas merupakan hal baik bagi Indonesia. Tapi, di sisi lain, ucapan tersebut juga memberi sinyal bahwa konsep swasembada energi ala Prabowo itu sekadar "omon-omon" yang akan mengorbankan keadilan ekologi dan sosial. Bagaimana tidak, sumber-sumber energi yang disebutkan Prabowo itu menyebabkan banyak ketidakadilan bagi masyarakat.

Kita mulai dari batu bara. Cadangan bahan bakar fosil ini di Indonesia sangat berlimpah. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan batu bara Indonesia pada 2021 mencapai 38,84 miliar ton. Bila rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, umur cadangan batu bara kita diperkirakan masih cukup untuk 65 tahun ke depan, dengan asumsi tidak ada temuan cadangan baru.

Berlimpahnya stok batu bara membuat Indonesia sangat bergantung pada komoditas ini. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional, persentase bauran energi Indonesia pada 2023 masih didominasi batu bara sebesar 40,46 persen, minyak bumi 30,18 persen, gas bumi 16,28 persen, dan energi terbarukan 13,09 persen.

Persoalannya, batu bara adalah sumber energi yang tidak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, komoditas ini akan habis. Batu bara juga merupakan sumber energi kotor. Emisi pembakaran batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Krisis iklim itu kini menimbulkan bencana ekologi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Selain itu, penambangan batu bara menimbulkan kerusakan alam. Pencemaran air, tanah, dan udara merupakan dampak operasi pertambangan batu bara. Pertambangan batu bara juga menjadi salah satu penyebab konflik agraria di masyarakat karena sering kali konsesi pertambangan menggusur wilayah kelola masyarakat.

Singkatnya, kekayaan batu bara yang dimiliki Indonesia telah menjadi kutukan karena justru menjadi sumber-sumber ketidakadilan, ekologi, ekonomi, dan sosial. Pertanyaannya adalah apakah persoalan ketidakadilan yang melingkupi batu bara ini akan dikesampingkan dengan dalih swasembada energi?

Sumber energi lain yang disebutkan Prabowo adalah sawit. Selama ini perkebunan sawit menjadi salah satu penyebab alih fungsi hutan di Indonesia. Laporan yang disusun Greenpeace dan lembaga ahli geospasial bertajuk "TheTreeMap" yang diluncurkan pada 2021 menemukan bahwa pada akhir 2019 terdapat 3,12 juta hektare sawit yang ditanam di kawasan hutan. Angka itu mencapai 19 persen dari luas total perkebunan sawit di Indonesia.

Penggunaan energi berbasiskan sawit akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas itu. Artinya, akan makin banyak hutan yang dikorbankan. Bila itu terjadi, bukan hanya krisis iklim secara global yang akan muncul, melainkan juga bencana ekologi di tingkat lokal.

Perluasan kebun sawit secara ugal-ugalan juga berisiko memperparah serta memperbanyak konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Biasanya, negara melalui aparat keamanan akan berpihak pada perkebunan sawit berskala besar. Risiko konflik agraria juga akan makin kuat bila perkebunan singkong dan tebu dijadikan andalan agenda swasembada energi.

Berikutnya, Prabowo menyebut panas bumi. Sumber energi ini banyak ditolak masyarakat sekitar karena mengancam keberlanjutan alam dan berpotensi menyingkirkan masyarakat dari sumber-sumber kehidupannya. Di Nusa Tenggara Timur, proyek geotermal banyak mendapat perlawanan masyarakat.

Perlawanan masyarakat terhadap proyek geotermal di Wae Sano, NTT, menyebabkan Bank Dunia, yang rencananya mendanai proyek itu, membatalkan pendanaannya. Salah satu alasannya, proyek geotermal di Wae Sano tidak memenuhi aspek free, prior, and informed consent (FPIC)—persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan—yang menjadi standar baku proyek Bank Dunia.

Masih di NTT. Di Poco Leok, Flores, masyarakat setempat juga menolak proyek geotermal. Warga setempat menganggap proyek yang rencananya didanai Bank Pembangunan Jerman—Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW)—ini akan menyingkirkan mereka dari sumber-sumber kehidupannya. Pada awal Oktober 2024, aksi protes menolak proyek geotermal di Poco Leok berujung kekerasan terhadap warga dan jurnalis yang meliput aksi itu.

Pembangkitan energi dari sumber-sumber yang disebutkan dalam pidato Prabowo itu pun rupanya hanya dikuasai segelintir orang di negeri ini, yang kerap disebut sebagai kaum oligark. Misalnya, menurut data Komisi Pengawas Persaingan Usaha, sebagian besar perkebunan sawit (54,52 persen) dikuasai 0,07 persen perusahaan swasta. Hal yang sama juga terjadi di pertambangan batu bara.

Celakanya, dalam pidato pelantikan Prabowo sebagai presiden kedelapan, ia tak sekali pun menyinggung masalah ketidakadilan energi di negeri ini. Padahal upaya swasembada energi tanpa pernah mengoreksi ketidakadilan di dalamnya hanya akan menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan mayoritas masyarakat. Meski mencapai swasembada energi adalah tujuan baik, menghadirkan keadilan energi bagi seluruh rakyat jelas akan lebih bernilai mulia.

Publik harus tegas menyuarakan bahwa Prabowo keliru mengidentifikasi persoalan energi di Indonesia. Gagasan swasembada energi berbasis sawit, geotermal, dan batu bara merupakan cerminan kesalahan itu. Relakah kita sebagai pembayar pajak melihat pemerintah menggunakan uang kita untuk membiayai proyek swasembada energi yang malah mengorbankan keadilan ekologi dan sosial?

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 25 Oktober 2024

  • 24 Oktober 2024

  • 23 Oktober 2024

  • 22 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan