Izin Tambang dan Mandat Ormas Keagamaan
Pemberian izin tambang berisiko mengebiri peran dan mandat ormas keagamaan. Dianggap bertentangan dengan konstitusi.
LANGKAH pemerintah memberikan penawaran prioritas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan berbuntut polemik di tengah publik, terutama di kalangan internal ormas keagamaan itu sendiri.
Sejumlah beleid disesuaikan untuk memberi landasan hukum atas langkah tersebut. Mulai dari perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024. Aturan lain yang juga diubah yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi, yang diubah menjadi Perpres Nomor 76 Tahun 2024.
Perubahan aturan itu bertujuan memberi dasar hukum bagi ormas keagamaan untuk mendapatkan penawaran prioritas dalam pengelolaan WIUP yang berasal dari perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Induk aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang disahkan saat awal pandemi Covid-19 melanda.
Atas nama kewenangan bebas atau diskresi, pemerintah memiliki ruang untuk menerbitkan atau mengubah aturan sebagaimana dalam urusan pemberian penawaran izin tambang bagi ormas keagamaan. Meski kebijakan ini dari sisi filosofis-konstitusional terbuka untuk diperdebatkan.
Konstitusi dan Agama
Pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan dapat dibaca dari perspektif konstitusi. Terlebih, dalam konstitusi Indonesia ada banyak frasa agama dan makna sejenisnya (constitutionalization of religion) yang menjadikan Indonesia sebagai negara berkarakter religius. Namun karakteristik ini tak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara agama.
Penyebutan agama dan frasa yang memiliki makna sejenisnya dalam konstitusi hakikatnya memberi perhatian atas dua hal yang fundamental: pertama, soal negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat 1) yang merupakan pengejawantahan dari sila pertama Pancasila. Dan kedua, tentang kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (Pasal 28E ayat 1) serta jaminan negara atas kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan (Pasal 29 ayat 2).
Meski begitu, penawaran prioritas konsesi tambang ke ormas keagamaan sama sekali tak berkorelasi dengan penyebutan frasa agama dan frasa semakna dalam konstitusi. Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tak dikenal nomenklatur “ormas keagamaan”. Namun, dalam hal penawaran prioritas konsesi tambang, ormas keagamaan justru menjadi addresaat dalam aturan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan ormas lain yang tak masuk kategori ormas keagamaan?
Tujuan penawaran prioritas konsesi tambang kepada ormas keagamaan, sebagaimana tertuang dalam aturan, dimaksudkan untuk pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, tanpa ada tendensi pada kelompok, entitas, atau golongan tertentu.
Poin pentingnya, kebijakan afirmatif negara dalam bentuk penawaran konsesi tambang kepada ormas keagamaan sama sekali tak memiliki korelasi dengan bangunan dasar dalam konstitusi, khususnya terkait dengan relasi agama dan negara. Kebijakan penawaran konsesi tambang justru berpotensi bertolak belakang dengan spirit konstitusi (constitutional spirit) dalam konteks relasi agama dan negara.
Mandat Ormas Keagamaan
Ormas keagamaan sebagai entitas masyarakat sipil berperan penting dalam mengudar kebijakan publik yang langsung bersentuhan dengan kepentingan banyak orang. Gagasan dan pikiran alternatif dari kalangan ormas keagamaan atas persoalan publik akan melahirkan dialektika yang sehat.
Bahkan, kritik dari ormas keagamaan mutlak dilakukan sebagai bagian dari mekanisme kontrol publik. Begitulah cara kerja masyarakat sipil vis a vis negara, menjalankan peran sebagai mitra debat negara. Pertanyaannya, apakah peran ormas keagamaan akan berubah setelah pemberian izin konsesi ini?
Keterlibatan ormas keagamaan dalam pengurusan tambang tentu berpotensi menimbulkan perubahan pola relasi. Kebijakan afirmatif ini tak menutup kemungkinan mengubah pola hubungan antara negara dan kelompok agama yang notabene sebagai representasi masyarakat sipil.
Donald E. Miller dalam The Oxford Handbook of Civil Society (2011) jauh-jauh hari telah mengingatkan tentang potensi kerugian besar bila kelompok agamawan menjadi alat negara atau menjadi pendukung yang tidak kritis terhadap kepentingan sektarian atau korporat. Miller menyebutkan, agama dapat memberikan kontribusi positif bagi eksistensi masyarakat sipil. Karena itu, kelompok agamawan harus mampu menjawab atas “kekuatan yang lebih tinggi” dengan menarik nilai-nilai yang melayani seluruh umat manusia.
Kebijakan afirmatif negara yang berdimensi ekonomi bagi ormas keagamaan ini, bila merujuk pada pandangan Keith N. Hylton, Yulia Rodionova, & Fei Deng (2011), dapat dikualifikasikan sebagai laws benefiting religion. Hal ini berarti hukum atau kebijakan negara didesain memberi manfaat kepada agama atau kelompok agama, tapi kebijakan serupa tidak diberikan kepada kelompok di luar agama (sekuler).
Laws benefiting religion ini melahirkan dua fenomena yang terjadi secara paralel, yakni meningkatnya praktik korupsi dengan perburuan rente. Meski demikian, di sisi yang lain, ada juga peluang berkurangnya korupsi, jika norma-norma agama yang ada benar-benar dijalankan. Artinya, kebijakan negara yang menguntungkan agama memberi dua kemungkinan, yakni potensi kebaikan dan sebaliknya.
Di tengah pro dan kontra yang muncul, pemerintahan Prabowo Subianto yang dimulai pada 20 Oktober 2024 mendatang punya pekerjaan rumah untuk memastikan pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tersebut akuntabel dan dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berpijak pada spirit lingkungan yang berkelanjutan. Bagi ormas keagamaan, nilai-nilai keagamaan yang adiluhung tersebut seharusnya menjadi mistar dalam tata kelola tambang.
Pemerintahan baru juga harus memastikan kebijakan penawaran konsesi tambang tak berpretensi mengebiri eksistensi ormas sebagai entitas masyarakat sipil yang meniscayakan dialektika terhadap kebijakan negara. Pandangan kritis dari aktivis ormas keagamaan maupun institusi ormas keagamaan terhadap kebijakan negara harus ditempatkan sebagai hal yang niscaya dalam sistem demokrasi.
Terlepas dari pro dan kontra pemberian izin tambang, peran ormas keagamaan sebagai representasi masyarakat sipil tak boleh dikurangi sedikit pun, terutama dalam menjalankan mandat sosialnya dalam berdialektika dengan negara. Jika peran itu berkurang, kualitas demokrasi kita—yang belakangan banyak mendapat catatan kritis karena mengalami stagnasi, bahkan regresi—dipertaruhkan.