maaf email atau password anda salah


Sinkronisasi Transisi Kekuasaan dan Transisi Energi

Pemerintahan Prabowo punya tugas menjalankan program transisi energi. Perlu revisi kebijakan fiskal dan nonfiskal.

arsip tempo : 172661229098.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172661229098.

MENJELANG ujung masa kekuasaannya, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah meletakkan fondasi awal bagi program transisi energi dengan target netral karbon atau net zero emission (NZE) yang harus dipenuhi Indonesia pada 2060 mendatang. Program ini akan diwariskan kepada pemerintahan presiden terpilih berikutnya, bersama dengan segala permasalahan yang melekat di dalamnya.

Jokowi memulai program transisi energi dan target NZE dengan mengumumkannya dalam konferensi tingkat tinggi G20 di Bali pada 2022. Pengumuman ini ditindaklanjuti dengan inaugurasi kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP) dalam acara yang sama. JETP merupakan urunan ide beberapa negara maju untuk peta jalan transisi energi di Indonesia.

Awalnya JETP diharapkan tidak sekadar menjadi wahana urun ide, tapi juga urun biaya dan risiko. Tapi apa daya, ternyata niat menyelamatkan bumi tidak semudah yang dibayangkan. Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan negara maju lain nyatanya tidak siap urun biaya dan risiko untuk mensukseskan transisi energi di Indonesia ini. Mereka hanya bisa menawarkan hibah berskala mungil dan pinjaman dengan bunga komersial, yang tentu saja tak menarik bagi Indonesia.

Minimnya dukungan pembiayaan itu membuat Jokowi berpikir ulang untuk mempensiunkan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang memicu polusi udara. Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang dipublikasikan oleh Sekretariat JETP, dibutuhkan setidaknya US$ 25 miliar untuk mengganti semua pembangkit listrik berbahan bakar fosil dengan pembangkit listrik energi bersih.

Persoalannya, siapa yang mau menyediakan uang sebesar itu pada zaman yang serba susah begini? Tentu saja tidak ada. Bahkan rakyat yang bisa dimanfaatkan untuk ikut membiayai lewat pajak pun, misalnya, rasanya sudah tak akan sanggup jika harus diperas lagi keringatnya. Artinya, sampai dengan akhir masa jabatannya pada Oktober 2024, Jokowi masih belum mampu mencari terobosan atas kebuntuan pembiayaan transisi energi ini.

Tiga Opsi bagi Prabowo

Jadilah, nanti pemerintahan presiden terpilih Prabowo yang ketiban pulung mengatasi keruwetan program transisi energi. Janji NZE 2060 yang sudah diumumkan tentu saja harus dijalankan. Sembari sibuk melakukan sinkronisasi menjelang transisi kekuasaan, Prabowo juga perlu memikirkan strategi pembiayaan program transisi energi.

Hal ini tentu bukan hal mudah bagi Prabowo karena pada saat yang sama ia harus mengalokasikan anggaran untuk memastikan ekonomi tumbuh minimum 8 persen seperti janji kampanyenya. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo mengisyaratkan bahwa isu lingkungan dan perubahan iklim sangatlah penting. Namun ia juga harus menunjukkan komitmen terhadap isu ini.

Dalam hal pembiayaan program transisi energi, setidaknya ada tiga alternatif yang bisa dipertimbangkan pemerintahan Prabowo nanti. Pertama adalah mencari negara mitra alternatif selain negara-negara dalam program JETP. Kandidat terkuatnya adalah Cina.

Pilihan untuk menggandeng Cina bisa dijustifikasi dengan fakta bahwa program transisi energi di negara tersebut berhasil. Dalam kurun waktu 20 tahun sejak 2004, bauran energi bersih Negeri Tirai Bambu naik dari 5 persen menjadi 40 persen pada 2024. Program transisi energi di sana didanai dengan skema pendanaan inovatif, sehingga tidak membebani rakyat. Pengalaman Cina inilah yang ingin ditawarkan kepada Indonesia.

Secara spesifik, Cina melalui Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional (NDRC) menawarkan pembiayaan terhadap proyek-proyek transisi energi yang tengah digarap di Indonesia. Namun Cina lebih berfokus pada akselerasi ekosistem kendaraan listrik. Jalur ini berbeda dengan konsep transisi energi pada JETP yang menitikberatkan pensiun dini PLTU.

Cina memang berkepentingan memperkuat ekosistem kendaraan listrik karena Indonesia merupakan pasar yang potensial. Namun solusi pengurangan emisi melalui konversi kendaraan bermotor ini tak menyelesaikan sumber utama penghasil emisi karbon, yakni pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Apalagi, kita tahu, selama ini Cina justru banyak berinvestasi di pembangunan PLTU untuk sumber energi smelter nikel di Indonesia. Artinya, hulu dari ekosistem kendaraan listrik ini tetaplah bergantung pada energi kotor.

Kedua, dengan melihat realita yang ada, transisi energi sebetulnya bisa didesain agar koheren dengan program penghiliran. Caranya dengan mewajibkan pemilik smelter membangun pembangkit listrik energi bersih. Tingginya potensi keuntungan yang diperoleh para pemain di industri penghiliran mineral harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat yang lebih besar. Jika setiap smelter baru ditenagai oleh energi bersih, dampak efek penggandanya terhadap perekonomian akan lebih baik.

Menurut Financial Research Center for Clean Energy (FRECCE), salah satu cara menaikkan kontribusi industri penghiliran nikel pada perekonomian lokal adalah mewajibkan penggunaan energi bersih pada smelter yang sudah ada maupun yang akan dibangun. Energi bersih akan menaikkan kembali mutu udara di kawasan tersebut sehingga secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar tambang. Energi bersih juga dapat mengurangi eksternalitas negatif kegiatan eksploitasi tambang.

Ketiga, efek pengganda ekonomi yang lebih besar perlu dikejar Prabowo dari agenda penghiliran nikel dengan cara menyelaraskannya dengan program transisi energi. Prabowo membutuhkan sumber-sumber pendapatan negara yang baru dengan cepat. Salah satu yang memungkinkan adalah memungut windfall profit tax untuk komoditas batu bara. Jika besaran pajaknya ditetapkan pada tingkat 25 persen, potensi pendapatannya bisa mencapai Rp 25 triliun per tahun. 

Pendapatan tambahan itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pensiun dini PLTU. Potensi belum termasuk jika pemerintah serius mengamankan royalti tambang yang selama ini hilang karena penyelundupan dan penambangan ilegal. Jika ini bisa dikendalikan, kas negara bisa terisi tambahan sekitar Rp 50 triliun lagi per tahun.

Gabungan berbagai revisi kebijakan fiskal dan nonfiskal di atas akan mengembalikan jati diri program penghiliran. Prabowo tentunya memerlukan program quick win dalam 100 hari pemerintahannya nanti. Program transisi energi dengan memanfaatkan program penghiliran yang dikelola dengan baik dapat menjadi quick win di bidang energi dan sumber daya alam yang dinantikan oleh masyarakat, terutama di wilayah sekitar tambang yang selama ini belum menerima manfaat secara optimal.

Prabowo harus hadir sebagai sosok pemimpin yang pro kepada lingkungan. Jika bersungguh-sungguh, Prabowo berkesempatan mematrikan namanya sebagai pemimpin yang berhasil memulai usaha nyata untuk mencapai target Indonesia bebas emisi 2060.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan