Jangan Surut Melawan Penjegal Konstitusi
DPR batal mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada. Masyarakat sipil tidak boleh lengah.
BATALNYA Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah merupakan kemenangan kecil untuk mencegah para politikus mengangkangi konstitusi. Pembatalan itu tak boleh membuat masyarakat sipil lengah, apalagi sampai menyurutkan langkah melawan pembegal konstitusi.
Para wakil rakyat itu dapat saja menjadwalkan rapat paripurna sewaktu-waktu dalam empat hari ke depan sebelum pendaftaran pasangan calon pada 27 Agustus mendatang. Pengesahan Undang-Undang Pilkada yang baru ini bertujuan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi yang membuyarkan skenario politik mayoritas partai dalam pemilihan kepala daerah untuk memuluskan langkah dinasti Jokowi. Anggota Dewan mengurungkan niat busuk mereka menjegal putusan MK setelah ribuan orang mengepung kompleks DPR di Senayan, Jakarta, pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR terang-terangan mengangkangi konstitusi karena menolak melaksanakan putusan MK. Mereka memilih mengakomodasi putusan Mahkamah Agung saat merevisi ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada. Pasal itu mengatur batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun serta calon bupati, wali kota, wakil bupati, dan wakil wali kota minimal 25 tahun.
MA memutuskan batas usia pencalonan terhitung sejak pelantikan. Adapun MK menegaskan batas usia minimal pencalonan terhitung sejak penetapan pasangan calon.
Dua putusan tersebut seharusnya tak perlu dipertentangkan karena obyek hukumnya berbeda. MA memutuskan uji materi Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Sedangkan MK menguji materi Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada.
Badan Legislasi seharusnya mengikuti putusan MK, yang bersifat final, mengikat, dan langsung dapat dilaksanakan. Namun mereka justru berkukuh mengadopsi putusan MA. Alasan yang mereka kemukakan tidak masuk akal dan dibuat-buat untuk memanipulasi undang-undang.
Sikap ini membuktikan ada ambisi politik yang hendak mereka akomodasi. Siapa lagi kalau bukan kandidat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di kabupaten dan kota yang hampir berusia 25 tahun ataupun kandidat di provinsi yang hampir berusia 30 tahun saat penetapan pasangan calon pada 22 September 2024.
Saat ini hanya ada satu nama yang hampir berusia 30 tahun dan disebut-sebut akan berkontestasi dalam pemilihan gubernur 2024, yaitu Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo. Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia itu akan genap 30 tahun pada 25 Desember mendatang.
Maka, perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada sesuai dengan rumusan Badan Legislasi membuat Kaesang memenuhi syarat usia pencalonan gubernur dan wakil gubernur. Ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan ini menjadi bagian dari perubahan keempat Undang-Undang Pilkada yang disepakati oleh Badan Legislasi dan pemerintah, dua hari lalu.
Agar situasi ini tidak berlarut-larut, KPU mesti bergegas melaksanakan putusan MK terhadap uji materi Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada. Sikap serupa seharusnya mereka tunjukkan saat menindaklanjuti putusan MK atas uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Putusan MK kala itu memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, kakak kandung Kaesang, menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024.
KPU tidak boleh ikut-ikutan masuk angin menjadi antek para pembajak demokrasi. Bila hal itu yang terjadi, publik mesti bergerak menentangnya. Hanya dengan kekuatan massa, kita dapat menghalau pembangkangan terhadap konstitusi.