maaf email atau password anda salah


Lansia Indonesia, yang Tertinggal di Ruang Digital

Kepedulian negara kepada lansia di ruang digital sangat minim. Gerakan inklusi digital baru sebatas jargon.

arsip tempo : 172670743936.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172670743936.

LANSIA dan digital, dua kata yang seolah-olah bertolak belakang. Lansia atau lanjut usia identik dengan segala sesuatu yang tradisional. Sedangkan digital adalah teknologi, kemajuan, dan kecepatan.

Dua hal kontradiktif ini lantas menjadikan kelompok lansia seolah-olah sebagai hambatan atau masalah di ruang digital: gampang termakan dan menyebar hoaks, menjadi korban penipuan digital, gagal melindungi privasi dan data pribadi, merepotkan anak-cucu untuk bertransaksi daring, termasuk "ngeksis" berlebihan, utamanya di grup-grup percakapan keluarga.

Dari fenomena itu, muncul satu pertanyaan: apakah memang lansianya yang bermasalah atau ruang digitalnya yang kurang bersahabat bagi lansia?

Penduduk lansia adalah mereka yang setidaknya berusia 60 tahun. Data BPS menunjukkan saat ini lansia di Indonesia menempati proporsi sekitar 11,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 29 juta orang (Desember 2023). Lansia perempuan (52,82 persen) lebih banyak daripada laki-laki (47,12 persen), sementara lansia di perkotaan (55,35 persen) lebih banyak daripada lansia di perdesaan (44,65 persen).

Yang menarik, jumlah lansia meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2020, terjadi peningkatan 1 persen jumlah lansia, sehingga pada 2045, jumlah lansia diperkirakan seperlima dari total populasi Indonesia atau sekitar 50 juta orang.

Sejak 2021, saat jumlah lansia mencapai 10 persen dari populasi, Indonesia mulai dikategorikan berstruktur ageing population. Situasi ini merupakan dampak transisi demografi, yang ditandai oleh angka kematian dan kelahiran yang sama-sama rendah. Harapan hidup lansia Indonesia juga semakin tinggi.

Memasuki dekade 2010-an, tepatnya pada 2011, angka harapan hidup mencapai 70 tahun dan terus meningkat setiap tahun. Pada 2022, harapan hidup lansia sudah mencapai 71,85 tahun—hampir 72 tahun. Jadi, jangan heran kalau kita semakin banyak menemukan kakek-nenek, aki-nini, oma-opa yang masih gesit, sat-set, dan produktif.

Angka-angka ini merupakan sebuah tantangan, terutama jika dikaitkan dengan keberadaan para lansia di ruang digital. Apa sebenarnya yang mereka lakukan di ruang digital? Apakah selama ini mereka menjadi bagian dari ruang digital? Atau justru terpuruk, terpojok, dan tersisih dari gelombang transformasi masyarakat digital?

Lansia di Ruang Digital: Profil dalam Angka

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2024, mengklasifikasikan pengguna Internet lansia ke dalam dua kategori, yaitu baby boomers dan pre-boomers. Baby boomers adalah lansia berusia 60 hingga 79 tahun, sementara pre-boomers lebih sepuh lagi, yaitu kelahiran 1945 dan sebelumnya, berusia di atas 79 tahun.

Proporsi baby boomers mencapai 6,58 persen dari keseluruhan pengguna Internet Indonesia. Sementara itu, dalam kelompok usianya, lebih dari 60 persen merupakan pengguna Internet aktif. Jumlah pengguna Internet yang lebih senior, menjelang usia 80 tahun, memang hanya 0,24 persen dari keseluruhan jumlah pengguna Internet di Indonesia. Tapi, jangan salah, dalam segmennya sendiri, angka penetrasi Internet user kelompok ini mencapai 32 persen. Artinya, lebih dari 32 persen eyang-eyang kita merupakan pengguna Internet aktif.

Kalau kita masukkan golongan yang sebentar lagi memasuki periode lansia, yaitu generasi X yang berusia antara 44 sampai 59 tahun, jumlahnya bakal lebih menghebohkan lagi. Pengguna Internet dari generasi X mencapai 18,98 persen dari total keseluruhan pengguna Internet di Indonesia, dengan angka penetrasi mencapai 83,69 persen. Artinya, lebih dari 83 persen pra-lansia ini adalah pengguna Internet aktif. Dengan jumlah sebesar itu, potensi para calon lansia sebagai pengguna Internet aktif tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Tapi, ngapain aja, sih para lansia ini di ruang digital? Seproduktif apa mereka di ruang digital? Apakah mereka memang memberikan kontribusi positif di ruang digital atau justru menjadi "masalah" atau malah bermasalah di ruang digital? Nah, di sinilah runyamnya: kepedulian negara kepada lansia di ruang digital ternyata sangat minim.

Pernyataan tersebut punya dasar. Pertama, hingga saat ini, tidak ada baseline data yang menunjukkan perilaku lansia di ruang digital. Akibatnya, kita tidak tahu sejauh mana lansia memanfaatkan ruang digital, kesulitan apa saja yang mereka alami dalam mengadaptasi dunia digital pada kehidupan sehari-hari, termasuk keuntungan atau aspek kemudahan apa saja dari dunia digital yang mereka dapatkan.

Memang, ada data seputar proporsi lansia pengguna media sosial tertentu. Namun semua itu hanya berhenti pada angka-angka yang dieksploitasi untuk kebutuhan marketing. Analisisnya tidak sampai pada faktor-faktor yang bisa memberdayakan lansia, selain sebagai konsumen.

Situasi ini pada akhirnya mewujud pada hal kedua: tidak adanya strategi untuk membantu lansia beradaptasi di ruang digital. Tidak ada program nyata yang melatih lansia agar bisa memanfaatkan fasilitas digital sebaik-baiknya sehingga tetap aktif, produktif, dan sehat lahir-batin. Belum ada panduan, bahkan tindakan intervensi, untuk mengatasi permasalahan lansia dan mengikutsertakan mereka dalam transformasi masyarakat digital.

Sebagai kelompok rentan digital, lansia dibiarkan mengatasi masalahnya sendiri. Mereka, sedihnya, ditinggalkan dalam gelombang transformasi masyarakat digital. Walhasil, bagi lansia, gerakan inklusi digital yang digembar-gemborkan selama ini baru sebatas jargon.

Sebagaimana warga negara lainnya, lansia punya hak untuk diperhatikan dan diikutsertakan dalam transformasi digital. Sudah selayaknya lansia berhenti dipandang hanya sebagai angka. Mereka juga aktor yang produktif, masih punya peran dan semangat untuk mengisi hari-harinya di ruang digital.

Dengan segala jasanya membangun fondasi dunia kita saat ini, lansia tidak boleh disisihkan. Sudah sepantasnya lansia kita rangkul agar mereka bisa menjadi pelaku aktif di ruang digital, dengan caranya sendiri.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 19 September 2024

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan