maaf email atau password anda salah


Salah Arah Memberantas Judi Online

Pemberantasan judi online tak perlu dengan membentuk satgas. Pemerintah terkesan masih setengah hati menuntaskan masalah ini.

 

arsip tempo : 172756491840.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172756491840.

Memberantas judi online dengan membentuk satuan tugas sekali lagi menunjukkan kebijakan pemerintah yang salah kaprah dan salah arah. Alih-alih mengoptimalkan kementerian dan lembaga negara yang memiliki kewenangan, pemerintah malah gemar membentuk satgas. Dalam konteks judi online, mengandalkan pendekatan semacam ini sama saja dengan menegakkan benang basah.

Praktik judi online di Indonesia memang sudah begitu merajalela. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan total perputaran uang dari judi online pada tahun lalu mencapai Rp 327 triliun. Dari 2,3 juta pemain judi online, 78 persen di antaranya masyarakat berpenghasilan rendah, yang biasanya melakukan deposit dengan nilai sekitar Rp 100 ribu. Yang memprihatinkan, banyak di antara mereka adalah pelajar, bahkan di tingkat sekolah dasar.

Dampak perjudian daring sudah sangat luar biasa mempengaruhi masyarakat. Informasi terbaru adalah tindakan seorang polisi wanita terpaksa membakar suaminya yang juga polisi karena gajinya diduga dihabiskan untuk berjudi. Tahun lalu, Persatuan Guru Seluruh Indonesia Kabupaten Demak, Jawa Tengah, misalnya, menemukan sekitar 2.000 siswa di wilayah mereka terpapar judi online.

Merajalelanya judi online membuktikan upaya pemberantasan judi online masih jauh panggang dari api. Kendati pemblokiran konten judi online oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika meningkat pada tahun lalu dibanding pada tahun sebelumnya, dari 206.245 menjadi 937.103 konten, upaya ini tak mempan. Sepanjang 2022 hingga 30 Agustus 2023, polisi mengklaim ada 866 pelaku yang ditangkap dan dijadikan tersangka. Namun jumlah itu belum banyak menyasar bandar besar dan pelaku dari luar negeri.

Karut-marut ini justru direspons Presiden Joko Widodo dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Online pada 14 Juni lalu. Dasar pembentukan satgas ini adalah Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring. 

Satgas tersebut mendapat tiga tugas utama, yaitu mengoptimalkan pencegahan dan penindakan hukum perjudian daring, meningkatkan koordinasi antara kementerian dan lembaga, serta menyelaraskan dan menetapkan pelaksanaan kebijakan strategis dalam pencegahan dan penindakan hukum judi online. Tiga tugas utama ini sesungguhnya sudah melekat pada sejumlah lembaga negara, antara lain Kementerian Komunikasi dan Kepolisian Republik Indonesia. Dengan demikian, satgas tersebut sesungguhnya tak perlu ada.

Presiden Jokowi cukup mengoptimalkan tugas dan kewenangan Kementerian Komunikasi, Polri, Otoritas Jasa Keuangan, serta PPATK untuk memberantas perjudian daring. Pembentukan satgas justru memberi kesan kementerian dan lembaga negara yang seharusnya mengurusi ini bekerja di bawah standar. 

Pemerintah mesti mengakhiri kebiasaan membentuk satgas ketika menghadapi sebuah persoalan. Banyak satgas yang sudah dibentuk, tapi kinerja dan tolok ukur keberhasilannya tidak jelas. Tugas berbagai satgas itu hanya mengkopi berbagai fungsi dan kewenangan lembaga negara yang sudah ada. Dengan demikian, satgas ini terkadang hanya menjadi alat penggebuk terhadap kelompok tertentu.

Sangat wajar publik menganggap keberadaan satgas ini hanya untuk kepentingan pencitraan pemerintahan Jokowi yang ingin terlihat serius memberangus perjudian daring. Jika mau, Jokowi sangat bisa melakukannya sejak dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014, bukan menggebernya di sisa empat bulan masa jabatannya. Lagi pula satgas ini hanya lembaga ad hoc yang tidak mempunyai kewenangan.

Penanganan judi online tidak selamanya harus dengan penindakan seperti penegakan hukum. Akan lebih baik jika pemerintah melakukan pendekatan pencegahan yang mengutamakan edukasi serta penguatan literasi digital yang sehat dan bertanggung jawab. Apalagi masyarakat rata-rata terlibat judi karena sukarela. Mereka termotivasi untuk mendapatkan keberuntungan sesaat. Mereka juga paham bahwa sistem kerja perjudian sudah diatur sedemikian rupa sehingga tetap menguntungkan bandar judinya. Pelaku judi akan tetap miskin dan menderita.

Pencegahan, edukasi, dan penegakan hukum semestinya dilakukan secara berbarengan. Upaya penegakan hukum yang ditempuh itu juga mesti mampu menggugah empati publik. Caranya, penegakan hukum itu harus berkonsentrasi kepada bandar judinya, bukan masyarakat yang tergiur keberuntungan semu.

Tak kalah penting adalah literasi digital untuk memberi kesadaran masyarakat agar tidak ketagihan judi online. Sebab, motivasinya kini bukan sekadar ingin mendapatkan keuntungan, tapi juga dilakukan untuk kesenangan atau sekadar mencari sensasi. Hal-hal seperti ini tentu mustahil bisa diselesaikan oleh satgas judi online.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 September 2024

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan