maaf email atau password anda salah


Makna Keberagaman dalam Perayaan Waisak

Salah satu ajaran Buddha yang relevan untuk merawat keberagaman di Tanah Air adalah maitri karuna. Apa maknanya?

arsip tempo : 171923664863.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171923664863.

BESOK, umat Buddha di seluruh dunia akan merayakan hari raya Trisuci Waisak 2568. Di Indonesia, perayaan waisak selalu diwarnai dengan beragam tema. Kementerian Agama, misalnya, menetapkan "Kesadaran Keberagaman Jalan Hidup Luhur, Harmonis, dan Bahagia” sebagai tema Waisak pada tahun ini.

Setiap organisasi atau perwakilan umat Buddha biasanya juga membuat subtema perayaan Waisak masing-masing, meski tetap mengacu pada tema yang ditetapkan Kementerian Agama. Toh, tema tersebut pada dasarnya berasal dari usulan setiap majelis, parisada, yayasan, atau sangha yang mewakili umat Buddha di Tanah Air.

Tema ini mengandung kepentingan untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa Indonesia. Berbicara soal keberagaman, kita tahu Indonesia sangat kaya oleh keragaman, suku, agama, ras, bahasa, dan sebagainya. Tapi keragaman juga masih terus menjadi persoalan. Masalah keragaman pada satu sisi menjadi semacam bara yang mudah menyala dan melalap sekitar.

Hal itu terlihat dari kasus kekerasan dan diskriminasi yang terus terjadi. Pada bulan ini, kita dikejutkan oleh sejumlah insiden pembubaran ibadah umat beragama oleh masyarakat sekitar. Insiden tersebut terjadi di Tangerang Selatan, Banten, dan Gresik di Jawa Timur. 

Fenomena ini mengingatkan kita semua agar terus berbenah. Keberagaman yang kita miliki bukan hanya berisiko menimbulkan kebakaran besar. Jika dikelola dengan baik, bara tersebut justru dapat menghangatkan dan membuat kita semua nyaman. 

Keberagaman adalah kondisi lahir dan tercipta begitu saja di muka bumi. Keberagaman penting bagi keberlanjutan kehidupan kita. Contoh sederhana, keberagaman pekerjaan yang ada mampu membuat kehidupan terus berjalan, saling mengisi, dan menghidupi.

Dalam urusan makanan, misalnya, dengan mudah kita bisa memesan makanan apa saja karena ada banyak orang yang membantu menyediakannya. Dari petani, pedagang di pasar, juru masak, hingga pengojek yang menyediakan jasa antar makanan. Contoh ini semestinya mengingatkan kita bahwa kondisi keberagaman jelas sangat perlu dan harus tetap ada.

Tapi, jika kita tahu keberagaman itu memang perlu untuk tetap ada, mengapa masih banyak orang yang menentang kondisi ini? Dalam agama Buddha dikenal adanya tiga racun yang mematikan, tapi tidak terasa. Racun-racun ini, yang populer disebut lobha, dosa, dan moha, malah cenderung memunculkan kenikmatan bagi manusia.

Lobha adalah sikap serakah, yang secara sederhana selalu mendorong kita ingin memiliki berbagai hal secara berlebih. Semua mau, mau semua. Sedangkan dosa adalah rasa benci yang sesekali muncul karena dipicu oleh iri, dendam, atau sekadar rasa tidak suka. Sepertinya remeh, tapi dosa ini ibarat korek api dari sebatang kayu yang kecil, tapi bisa menyulut kebakaran yang luas.

Terakhir adalah moha, kebodohan, tapi bukan dalam arti akademik, melainkan ketidakmampuan kita dalam membedakan sikap baik dan buruk. Ketika mencuri sudah menjadi kebiasaan, misalnya, kita tidak lagi mau tahu bahwa mencuri adalah perbuatan buruk. Itulah tanda ketika kita sudah terjangkit racun moha secara akut.

Karena bentuknya yang tak berwarna, tak berbau, dan tak berasa, tiga racun ini terus ada dan hidup di sekeliling kita. Bahkan ketiga racun ini bisa terus membesar karena kita terus memberinya makan, sampai akhirnya racun-racun itu menguasai kita. Tanpa kita sadari, ketiga racun itu kemudian menjadi bagian dari diri kita yang merusak keberagaman dalam kehidupan. 

Keberadaan tiga racun ini harus disadari dan dilawan dengan sungguh-sungguh. Dalam momentum perayaan Trisuci Waisak ini, kita kembali diingatkan untuk terus melawan racun-racun itu dengan konsisten melaksanakan ajaran sang Buddha. 

Inti sari perayaan hari Trisuci Waisak, yang merupakan peringatan hari kelahiran, capaian kesadaran, sekaligus moksa Sang Buddha, adalah bagaimana kita senantiasa ingat dan melaksanakan kata-kata tersebut dalam keseharian.

Salah satu ajaran Buddha yang relevan untuk menjaga keberagaman adalah maitri karuna. Ajaran ini mengajak kita untuk memikirkan kebahagiaan orang lain dengan selalu berupaya mencari cara mencabut penderitaan sekaligus memberi kebahagiaan bagi orang lain. 

Dengan selalu melaksanakan ajaran ini, dengan sendirinya kita berupaya menjauhkan diri dari pengaruh buruk racun lobha, dosa, dan moha. Sebaliknya, dengan perilaku maitri karuna, kita bisa mengubah tiga racun tersebut menjadi obat yang menyembuhkan. Kita bisa saja terkena racun kebencian, tapi benci pada perbuatan jahat. Kita juga bisa tetap bersifat serakah, tapi "serakah" untuk membahagiakan orang lain sebanyak mungkin. Begitu seterusnya.

Tema besar perayaan Trisuci Waisak tahun ini yang ditetapkan Kementerian Agama hanya akan menjadi slogan jika kita, selaku umat Buddha, tidak melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam keseharian. Sebab, hanya dengan melaksanakan ajaran itulah, kita akan mampu mewujudkan, melestarikan, dan memanfaatkan keberagaman bagi semua makhluk hidup.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 24 Juni 2024

  • 23 Juni 2024

  • 22 Juni 2024

  • 21 Juni 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan