maaf email atau password anda salah


Bisnis dalam Lingkaran Politik dan Keluarga

Pengangkatan orang dekat penguasa menjadi petinggi di BUMN masih terus terjadi, terutama pasca-Pemilu 2024. Buruk bagi bisnis.

arsip tempo : 171605279917.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171605279917.

BANYAK orang beranggapan bahwa tak seharusnya urusan bisnis dicampuri dengan kepentingan politik dan keluarga. Namun anggapan itu tampaknya tidak berlaku di Indonesia. Lihat saja bagaimana setelah Pemilu 2024, sejumlah anggota dan orang-orang yang terafiliasi dengan tim kampanye kandidat presiden dan wakil presiden mendapatkan posisi strategis pada badan usaha milik negara (BUMN).

Dalam dunia bisnis, pengaruh politik atau negara terhadap dunia usaha (perusahaan) setidaknya terwujud melalui dua cara. Pertama, melalui kepemilikan saham signifikan oleh pemerintah atau negara, yang menghasilkan perusahaan milik negara atau BUMN. 

Karena BUMN merupakan representasi kecil negara, keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam mencapai performa keuangan akan mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan negara. Karena itu, pemerintah cenderung melakukan beragam cara guna menjaga eksistensi perusahaan.

Kedua, pengaruh politik di dalam perusahaan terjadi dengan ditempatkannya politikus maupun mantan politikus dalam struktur manajemen kunci perusahaan, baik sebagai direksi maupun komisaris. Penempatan mereka di dalam struktur manajemen kunci bukanlah tanpa alasan.

Kedekatan mereka dengan pemerintah, melalui jabatan ataupun peran yang dimiliki sebelumnya, diharapkan membuat perusahaan tempat mereka menjabat mendapatkan perlakuan istimewa. Misalnya kemudahan mendapatkan akses pinjaman dari bank, mendapatkan proyek pemerintah, dan mendapatkan keuntungan melalui regulasi yang memihak.

Penting untuk kita ketahui, pengaruh politik pada bisnis (perusahaan) cenderung lebih tinggi di negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi serta sistem demokrasi multipartai.

Pengaruh Keluarga dalam Bisnis

Selain dicampuri urusan politik, dunia bisnis di Indonesia kental dengan urusan pertalian darah. Laporan yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 menunjukkan lebih dari 80 persen perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki struktur kepemilikan terkonsentrasi, dengan penguasaan dan pengendalian perusahaan terbatas oleh tiga pemegang saham utama.

Mereka ditengarai terafiliasi secara langsung maupun tidak langsung dengan sejumlah keluarga tersohor di Indonesia. Disinyalir, tujuh dari sepuluh perusahaan yang terdaftar di BEI tergolong sebagai perusahaan keluarga.

Pada perusahaan jenis ini, ideologi keluarga seperti “semua untuk keluarga” atau "all for the family", yang kerap diturunkan di dalam lingkungan kerja (bisnis), menjadikan jenis perusahaan ini memiliki tenaga kerja yang cenderung loyal dibanding jenis perusahaan lain.

Dengan adanya kendali atau pengaruh keluarga secara signifikan di dalam perusahaan, tujuan utama perusahaan bukan hanya untuk memaksimalkan nilai (value) yang dapat diterima oleh para pemegang saham. Tapi juga memastikan bahwa perusahaan dapat diwariskan kepada anak, cucu, hingga pihak yang dianggap sebagai bagian dari pendiri perusahaan.

Hal ini juga menjadikan perusahaan keluarga memiliki orientasi bisnis jangka panjang yang relatif lebih baik dibandingkan dengan jenis perusahaan lain. Sehingga manajemen pun cenderung bersikap menghindari risiko (risk-averse).

Namun perusahaan keluarga bukanlah bentuk perusahaan yang sempurna. Perusahaan jenis ini memiliki kecenderungan untuk menempatkan individu, yang menjadi bagian dari keluarga, sebagai manajemen kunci atau posisi strategis lain. Namun sering kali kebijakan itu diambil tanpa mempertimbangkan pengetahuan dan kapabilitas yang dimiliki orang tersebut.

Kecenderungan ini dapat dipahami sebagai upaya perusahaan untuk menjaga eksistensi perusahaan dalam dunia bisnis, serta menjaga agar kendali keluarga di dalam perusahaan tak hilang. Tingginya kontrol keluarga di dalam perusahaan juga sarat akan upaya ekspropriasi atas hak pemegang saham minoritas yang dilakukan oleh pemegang saham mayoritas, dalam hal ini adalah keluarga.

Pengaruh Ideologi Negara

Menariknya, tingginya kepemilikan perusahaan keluarga yang ada pada suatu negara tidaklah terbentuk secara natural. Kondisi ini justru lahir melalui ideologi pemerintah hingga partai politik yang ada di negara-negara tersebut. Misalnya pada negara atau pemerintah yang menganut paham atau ideologi konservatif, maka negara atau pemerintah yang menganut ideologi tersebut akan cenderung terbuka dan permisif terhadap ideologi yang dimiliki oleh perusahaan jenis ini.

Kecenderungan perusahaan keluarga untuk mencapai tujuan non-ekonomi (non-economic goals), seperti mewariskan perusahaan (bisnis) kepada anggota keluarga yang lain, dianggap sejalan dengan ideologi konservatif yang dianut oleh negara atau pemerintah. Itu juga mengapa, dalam banyak kasus di Indonesia, kita dapat mudah menemukan perlakuan istimewa (special treatment) yang diberikan pemerintah kepada perusahaan keluarga dibanding pada perusahaan jenis yang lain.

Sebaliknya, pada negara-negara yang menganut ideologi sosial liberal, yang mana ideologi ini cenderung dimiliki oleh negara-negara yang memiliki sistem tata kelola perusahaan yang baik, akan memiliki kecenderungan untuk bersikap skeptis terhadap janji-janji manis model kapitalisme yang diberikan perusahaan keluarga.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah atau negara yang menganut ideologi ini akan cenderung membuat kebijakan yang mencegah pengalihan kendali perusahaan kepada anak, cucu, hingga kerabat yang memiliki kedekatan khusus dengan pendiri perusahaan dan keluarganya. Pemerintah juga akan membatasi pengaruh keluarga di dalam bisnis.

Tingginya kendali politik dan keluarga pada bisnis di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan dan kondisi yang akan menjadi “lazim” untuk dapat diterima. Meski demikian, kita perlu dengan lantang menolak kecenderungan atas penempatan individu sebagai manajemen kunci, hanya didasarkan atas kesepakatan politik dan ikatan darah pada sebuah perusahaan. Terutama pada BUMN.

Pengabaian atas kapabilitas serta pengetahuan dalam dunia bisnis, akuntansi, keuangan, atau bidang lain yang relevan dalam penempatan individu pada posisi strategis di BUMN tak hanya sulit diterima oleh akal sehat. Praktik ini juga berisiko melemahkan performa perusahaan sebagai pembayar dividen kepada negara. Hal ini juga merupakan bentuk pengingkaran pemerintah, melalui Kementerian BUMN, atas tanggung jawabnya terhadap saya dan kita semua sebagai penikmat dividen perusahaan tersebut.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 Mei 2024

  • 17 Mei 2024

  • 16 Mei 2024

  • 15 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan