maaf email atau password anda salah


Deforestasi Akibat Program Biodiesel 40

Pemerintah akan menerapkan program biodiesel 40 (B40) tahun ini. Mempercepat deforestasi.

arsip tempo : 171580290050.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171580290050.

PEMERINTAH seperti tidak kehabisan cara menambah kerusakan hutan. Salah satunya dengan menaikkan persentase minyak sawit ke dalam solar menjadi 40 persen alias program Biodiesel 40. Dengan dalih mempercepat transisi energi, program tersebut berpotensi menciptakan deforestasi 1,57 juta hektare atau setara dengan luas dua kali Provinsi Banten.

Guna merealisasi janji kampanye Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, presiden dan wakil presiden terpilih, Presiden Joko Widodo berencana menggenjot produksi minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 19,32 juta ton. Dalihnya adalah mempercepat penerapan Biodiesel 40 agar bisa menjalankan program Biodiesel 50. Dengan asumsi produksi CPO untuk B40 dan kebutuhan dalam negeri tetap 18,10 juta ton, ada kekurangan kebutuhan CPO sebesar 1,22 juta ton.

Keinginan mencapai B50 merupakan target ambisius. Yayasan Auriga Nusantara, lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup, memperkirakan untuk menjalankan program itu, perlu pasokan CPO sebanyak 20,6 juta ton. Untuk mewujudkannya, bisa dipastikan, pemerintah kembali menerapkan strategi usang menaikkan produksi, yakni ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit. Jika menerapkan B50 mulai 2025 hingga 2042, kebutuhan perluasan kebun sawit mencapai 5,36 juta hektare.

Turunan target bombastis tersebut sudah bisa diduga: pemerintah akan mengobral izin pembukaan perkebunan kelapa sawit. Artinya, korporasi perkebunan sawit yang memiliki pabrik CPO mendapat karpet merah membabat hutan alam demi memperluas lahannya. Ini sudah terjadi sebelumnya di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah. Hutan alam seluas 63 ribu hektare beralih fungsi menjadi kelapa sawit untuk memasok kebutuhan CPO program biodiesel.

Faktanya, ekspansi kebun sawit tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi CPO. Menurut laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) bersama Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, dan Koalisi Transisi Bersih, pada periode 2001-2022 terjadi penambahan luas kebun sawit sebesar 145 persen, dari 7,25 juta hektare pada 2001 menjadi 17,77 juta hektare pada 2022. Dalam periode yang sama, kenaikan produktivitas CPO hanya 30 persen.

Konsorsium lembaga swadaya masyarakat itu juga menghitung pertumbuhan rata-rata tutupan sawit nasional mencapai 401,8 hektare per tahun. Angka itu berbanding lurus dengan tren deforestasi yang menghilangkan stok karbon sebanyak 342,5 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Jumlah itu hampir setara dengan target pemerintah menurunkan emisi di sektor energi. Jadi, program biodiesel ini justru menghilangkan wilayah tangkapan karbon.

Meningkatkan produksi CPO sebenarnya bisa jauh lebih efektif dengan menaikkan produktivitas alias intensifikasi. Caranya dengan menggenjot produksi tandan buah segar di kebun yang sudah ada. Program intensifikasi ini tak berjalan optimal karena rata-rata produksi sawit nasional hanya 3,97 ton CPO per hektare. Dengan tata laksana dan tata kelola yang baik, produktivitas sebetulnya masih bisa dinaikkan. Buktinya, perusahaan besar seperti Musim Mas Group mampu menghasilkan rata-rata 5,27 ton CPO per hektare.

Masalah lain adalah tidak dilibatkannya petani sawit rakyat dalam skema biodiesel ini. Padahal, dari total luas perkebunan sawit yang 16,8 juta hektare, luas kebun sawit petani rakyat mencapai 6,7 juta hektare. Tanpa melibatkan mereka, program biodiesel hanya menguntungkan korporasi raksasa. Apalagi, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya mengucurkan subsidi dana sawit biodiesel kepada perusahaan perkebunan yang memiliki fasilitas pemurnian metil ester asam lemak (FAME).

Sepanjang 2015-2023, BPDPKS telah mengucurkan dana sekitar Rp 146,56 triliun untuk membayar insentif biodiesel kepada perusahaan produsen FAME. Penggunaan dana besar ini meleset dari tujuan pembentukan BPDPKS, yakni pengembangan sawit rakyat. Artinya, di industri perkebunan sawit, pemenang sesungguhnya adalah korporasi besar dengan “mengalahkan” lingkungan. Petani sawit kecil hanya menjadi penonton.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 15 Mei 2024

  • 14 Mei 2024

  • 13 Mei 2024

  • 12 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan