Menyalakan Kembali Alarm Kebijakan Ekspor Pasir
Pemerintah bergeming terhadap berbagai kritik kebijakan eksploitasi pasir laut. Masyarakat di kawasan pesisir kian rentan.
Imam Syafi’i dan Dian Aulia
Peneliti Muda di Pusat Riset Politik Badan dan Riset dan Inovasi Nasional
Jauh sebelum hiruk-pikuk pilpres, salah satu kebijakan yang mendapat respons publik secara luas adalah potensi pembukaan keran ekspor pasir laut yang dilarang sejak 2003. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Pemerintah tidak menganulir kebijakan tersebut meski kritik dan penolakan bermunculan. Kebijakan ini bukan hanya akan mengancam ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Proses penyusunannya juga tidak melalui konsultasi publik yang memadai.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan telah menunjuk tujuh lokasi yang pasir lautnya boleh dikeruk: Surabaya, Demak, Cirebon, Indramayu, Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Bintan, dan Pulau Lingga di Kepulauan Riau (Ambarwati, 2024).
Pengumuman tersebut mengindikasikan kebijakan yang lahir di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini bakal berlanjut ke pemerintahan Prabowo Subianto, yang dalam rekapitulasi resmi KPU diumumkan sebagai pemenang Pemilu 2024.
Problematika Kebijakan Ekspor Pasir
Pemerintah beralasan peraturan ini ditujukan untuk pemulihan ekosistem pesisir dari sedimentasi dan menjamin tidak akan ada kerusakan lingkungan. Ekspor pun dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi. Alasan serupa sebetulnya pernah digunakan pemerintah untuk mendorong penambangan pasir laut. Nyatanya, penambangan semakin masif, dan pasir kita, terutama dari Kepulauan Riau, menjadi komoditas ekspor penting ke Singapura yang sedang gencar melakukan proyek reklamasi.
Dalam rentang lebih dari empat dekade (1960-2005), tercatat penambahan wilayah darat Singapura mencapai 31 persen dari luas wilayah semula (Arianto, 2023). Kebijakan untuk membuka kembali ekspor pasir laut ini menjadi ironi karena negara-negara tetangga, seperti Kamboja, Malaysia, dan Vietnam, justru mulai mengurangi penjualan pasir laut mereka. Mereka tahu, praktik ini sarat akan persoalan korupsi, penambangan ilegal, dan potensi kerusakan lingkungan pesisir.
Retraubun (2023) menyebutkan pembukaan kembali ekspor pasir laut justru menjadi sebuah “tragedi negara kepulauan”. Pelarangan ekspor pasir pada masa lalu justru meningkatkan posisi tawar Indonesia dengan Singapura, terutama dalam perundingan batas wilayah laut kedua negara. Karena itu, banyak kritik terhadap kebijakan ini bermunculan, bahkan dari Tim Reformasi Hukum Kemenko Polhukam yang merekemondasikan pemerintah mencabut PP tersebut (Koran Tempo, 2024).
Berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti Greenpeace, Kiara, dan Walhi, juga menyerukan bahwa kebijakan ini berpotensi menciptakan kerugian lingkungan yang lebih besar dalam jangka panjang (Ambari, 2023). Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, pada Agustus tahun lalu, bahkan mengeluarkan keputusan bathsul masail yang dengan tegas melarang ekspor pasir karena berisiko menyebabkan kerusakan lingkungan. Bagi kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan, ekspor pasir justru memperberat upaya bersama dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang semakin terasa, terutama di kawasan pesisir.
Bagaimanapun, penambangan pasir laut tidak hanya mengancam ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia, tapi juga berpotensi mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Dua provinsi, yakni Riau dan Kepulauan Riau, yang sebelumnya menjadi lokasi utama penambangan dan pengiriman pasir pada masa lalu ke Singapura, masih memiliki beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang belum sepenuhnya dipulihkan pascatambang. Bahkan, dampak penambangan pasir yang dilakukan dalam rentang waktu tiga dekade (1970-an hingga 2000-an), sebelum kemudian dimoratorium pada 2003, masih dirasakan hingga saat ini (Arianto, 2023).
Ironisnya lagi, dalam pengumuman KKP tersebut, Kepulauan Riau kembali menjadi salah satu dari tujuh lokasi yang diizinkan untuk aktivitas penambangan pasir laut. Tidak dimasukkannya wilayah pulau-pulau kecil dan terluar ke dalam zona pengecualian penambangan pada PP yang dimaksudkan justru semakin mengabaikan peran penting wilayah ini. Baik sebagai titik dasar dalam menentukan garis pangkal lurus kepulauan maupun sebagai bagian dari wilayah dan sistem pertahanan negara (Raharjo, 2023).
Kebijakan Autocratic Legalism
Aspek ekonomi menjadi salah satu alas tujuan pemberlakuan kebijakan pemanfaatan hasil sedimentasi laut, termasuk penambangan dan ekspor pasir laut. Pemanfaatannya diperuntukkan bagi reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), serta pembangunan sarana-prasarana di dalam negeri yang dilakukan oleh pelaku usaha. Hal ini dimungkinkan setelah adanya UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020.
Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja merupakan undang-undang sapu jagat yang bertujuan mengenjot investasi (Kuncoro, 2020). Konsekuensinya, berbagai peraturan perundang-undangan mengalami perubahan, termasuk sejumlah aturan turunan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja, di antaranya mengenai kebijakan ekspor pasir laut yang berada di bawah aturan payung UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan, seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Pengelolaan Wilayah Pulau-Pulau Kecil; UU Pemerintahan Daerah; PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; serta PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan, Perlindungan, dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga mengalami perubahan dan disesuaikan dengan iklim kemudahan investasi.
Mochtar (2023) menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja mencerminkan praktik autocratic legalism yang digunakan untuk melegitimasi rezim dengan menabrak hukum dan konstitusionalisme serta menguntungkan oligarki melalui pembuatan undang-undang. Sedangkan dalam praktik ekonomi, Smith (2023) menyebutkan bahwa autocratic legalism acapkali digunakan untuk menyembunyikan desain otoriter dalam kerangka hukum yang sah. Dengan begitu, pengalihan aset publik, seperti keinginan mengambil sumber daya alam oleh elite berkuasa atau oligarki, berlangsung secara legal, beroperasi di bawah supremasi hukum.
Alih-alih berkomitmen dengan kelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat bermakna dalam pembentukan kebijakan dan pembangunan, kebijakan ekspor pasir laut ini semakin menunjukkan regresi dalam pembangunan hukum dan demokrasi serta lemahnya political will pemerintah dalam mengatasi krisis iklim dunia.
Suramnya Masa Depan Kawasan Pesisir
Membayangkan akselerasi pembangunan kawasan pesisir dan pengembangan pulau-pulau terluar secara umum seolah-olah seperti halaman belakang yang jarang tersentuh oleh kehadiran negara. Tidak mengherankan, dua wilayah ini identik dengan kesan kumuh, sebagaimana tergambarkan oleh keberadaan kampung nelayan atau pulau-pulau kecil yang masih terisolasi.
Sementara itu, pengembangan industri serta eksploitasi kawasan pesisir dan laut, termasuk berbagai proyek reklamasi, telah mengubah kehidupan pesisir. Fabinyi, dkk, (2022) menyebutkan ekspansi pembangunan di kawasan pesisir berdampak pada penurunan potensi perikanan yang berkelindan dengan kerusakan lingkungan dan marginalisasi masyarakat pesisir.
Eksploitasi berlebihan pada akhirnya mendorong peningkatan level kerentanan kawasan pesisir dan potensi hilangnya pulau-pulau kecil. Upaya-upaya untuk meminimalkan dampak perubahan iklim kemudian semakin berat. Konsekuensinya, penduduk kawasan itu, yang terdiri atas nelayan kecil, petambak garam dan ikan, termasuk kelompok yang memanfaatkan jasa lingkungan pesisir dan yang tinggal di pulau-pulau kecil, semakin kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.
Potensi konflik yang melibatkan masyarakat dan kelompok swasta akan semakin tinggi dan berkepanjangan. Di sisi lain, inkonsistensi kebijakan, kurangnya pendanaan, dan lemahnya koordinasi antar-lembaga negara menyebabkan kebijakan jarang memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir (Ferrol-Schulte, dkk, 2015). Hal ini bukan sekadar ketidakmampuan negara, tapi juga representasi sikap ignorance negara dalam melihat keragaman realitas persoalan dalam mengelola kawasan pesisir, laut, serta pulau-pulau kecil dan terluar kita.
Pada akhirnya, alih-alih memberikan keuntungan ekonomi, aktivitas penambangan pasir—lebih-lebih untuk kepentingan ekspor—justru memunculkan risiko kerusakan. Biaya pemulihan lingkungan fisik ataupun sosialnya tentu saja tidak murah dan membutuhkan waktu lama. Pada saat bersamaan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini, termasuk masyarakat di dalamnya, justru masih menjadi entitas yang tetap tertinggal dan termarginalkan. Mereka pun berisiko terancam pelbagai aktivitas ilegal lintas batas, seperti pencurian ikan, penyelundupan, pelanggaran batas kedaulatan negara, dan termasuk potensi perdagangan pasir ilegal ke luar negeri.