maaf email atau password anda salah


Bencana Perikanan Industrial

Penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur di Indonesia berisiko mendatangkan bencana akibat industrialisasi sektor perikanan. 

arsip tempo : 171458102637.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171458102637.

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta/Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan & Peradaban Maritim

Pemilihan presiden 2024 telah selesai. Pada masa kampanye, termasuk dalam sesi debat yang berlangsung hingga lima kali, tiga pasangan kandidat menjanjikan berbagai program. Sayangnya, visi-misi yang berkaitan dengan sektor kelautan dan perikanan, khususnya mengenai perikanan tangkap, hampir tak pernah dibahas. Padahal isu ini tak kalah penting dengan sektor sumber daya alam lainnya, terutama karena, sejak 2021, pemerintah mencanangkan kebijakan perikanan industrial. 

Kebijakan perikanan industrial Indonesia ditandai dengan pencanangan program penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 dan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023. Orientasi industrialisasi dalam kebijakan ini sangat kental karena kuota industrinya berlaku di enam dari sebelas wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Kebijakan penangkapan ikan terukur sebetulnya belum tentu cocok diterapkan di Indonesia yang terletak di daerah tropis. Berdasarkan pengalaman negara lain di daerah subtropis saja, penerapan kebijakan serupa menimbulkan banyak persoalan. Masalah umum yang terjadi akibat kebijakan sejenis antara lain kemerosotan stok sumber daya ikan akibat eksploitasi berlebihan, kerusakan ekosistem dasar laut, maraknya perburuan rente dan korupsi, serta penangkapan ilegal.

Dampak Buruk Perikanan Industrial

Perikanan industrial merupakan perikanan tangkap skala besar yang beroperasi di wilayah perikanan teritorial suatu negara, zona ekonomi eksklusif, dan perairan laut lepas. Pelaku usaha yang menjalankan perikanan industrial kebanyakan berasal dari Cina, Jepang, Norwegia, Amerika Serikat, Inggris, Taiwan, dan Korea Selatan. Mereka mengoperasikan kapal berukuran jumbo di atas 100 gross ton. Alat tangkap yang mereka pakai didominasi oleh pukat harimau (trawl), dengan populasi hingga 96 persen. 

Perikanan industrial menimbulkan dampak utama berupa merosotnya stok sumber daya dan produktivitas perikanan. Thurstan et al (2010) menemukan, kebijakan perikanan di Inggris Raya, yang memperbolehkan pengoperasian kapal pukat harimau dasar (bottom trawl fisheries) selama 118 tahun sejak 1889, mengakibatkan produktivitas dan stok sumber daya ikan mereka anjlok hingga 94 persen. Kondisi ini diikuti oleh kerusakan ekosistem perairan dasar dan menjadi bencana perikanan terbesar di Uni Eropa sepanjang abad ke-19.

Kedua, praktik ini juga mengancam ikan dan invertebrata yang terancam punah. Roberson et al (2023) mengungkapkan, operasi perikanan industrial global menangkap lebih dari 90 jenis ikan dan invertebrata terancam punah. Hal itu belum termasuk pari dan hiu. Ironisnya, sebanyak 13 jenis spesies terancam punah akibat ditangkap secara legal dan diperdagangkan. 

Dampak ketiga adalah melonjaknya jumlah tangkapan sampingan. Gilman et al (2023) menyebutkan hal ini mengancam konservasi spesies laut yang dilindungi, seperti penyu, hiu, ular laut, serta pari manta dan pari setan. Praktik tangkapan sampingan hanya mengincar bagian ikan yang bernilai ekonomi, seperti sirip pada hiu, lempeng insang (pari), dan kulit (ular laut). Penghitungan FAO pada 2018 menyebutkan jumlah tangkapan sampingan global pada periode 2010-2014 mencapai 9,1 juta ton. Sebanyak 4,2 juta ton atau 46 persen bersumber dari kapal pukat harimau dasar.

Keempat, pencemaran laut akibat sampah plastik. Pada 2019, Greenpeace melaporkan pencemaran ini berasal dari alat penangkapan ikan yang hilang ataupun sengaja dibuang. Sampah alat-alat ini menjadi penyebab sebagian besar polusi plastik di lautan yang volumenya mencapai 640 ribu ton setiap tahun. Temuan Lebreton et al (2022) membuktikan bahwa pusaran perairan Samudra Pasifik Utara nyaris ditutupi puluhan ribu ton sampah plastik. Sampah itu didominasi oleh jaring ikan, tali, dan benda-benda pecahan plastik keras dari kapal penangkap ikan. 

Dampak berikutnya adalah kenaikan emisi karbon dioksida di atmosfer. Riset Parker et al (2018) menemukan total pendaratan ikan di seluruh dunia yang mencapai 80 juta ton pada 2011 menghabiskan 40 miliar liter bahan bakar minyak. Produksi emisi setara CO2-nya mencapai 179 juta ton. Negara-negara penyumbang emisi terbesar di sektor ini berasal dari Cina, Indonesia, Vietnam, Amerika Serikat, dan Jepang.  

Hal lain yang menjadi persoalan adalah munculnya kejahatan perikanan global. Riset Belhabib & Le Billon (2022) menemukan, sepertiga kejahatan dalam industri perikanan tangkap berskala besar berasal dari Cina serta afiliasinya, yakni Indonesia, Korea Selatan, Panama, Kanada, Sierre Leone, Kolumbia, dan Ekuador. Buktinya, Paulo et al (2024) menemukan 72-76 persen kapal penangkapan ikan skala industri yang beroperasi tidak terlacak secara publik. Mereka banyak beroperasi di perairan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. 

Adapun dampak ketujuh ialah suburnya praktik korupsi dan perburuan rente. Yan dan Graycaret (2020) menyebutkan sejumlah sumber korupsi sektor perikanan tangkap: (i) manipulasi perizinan; (ii) negosiasi perjanjian yang rahasia dan tidak transparan; (iii) lemahnya penegakan hukum; (iv) penyuapan dan pemerasan; (v) korupsi politik berupa pembiaran penangkapan ikan ilegal demi meraup suara dalam pemilu (Nunan et al. 2018); serta (vi) korupsi yang dibarengi oleh kejahatan lain, seperti pencucian uang dari perikanan ilegal. 

Di Indonesia, berdasarkan disertasi Nugroho (2024), rata-rata kebocoran ekonomi perikanan akibat perburuan rente dan korupsi sepanjang 2010-2022 mencapai Rp 8,57 triliun per tahun. Akibatnya, negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 781,32 triliun. 

Perlunya Perubahan Kebijakan

Berbagai dampak buruk dari kebijakan perikanan industrial tersebut patut diantisipasi melalui penerapan kebijakan radikal. Kebijakan pertama yang dapat dilakukan adalah mengubah paradigma pembangunan perikanan dari berorientasi pertumbuhan (growth oriented) menjadi degrowth biru (DB). Konsep DB adalah upaya membangun visi kelautan dan perikanan bersama masyarakat pesisir secara partisipatif; memperjuangkan hak-hak masyarakat pesisir atas hak akses dan kelola sumber daya; mengutamakan produksi skala kecil; konsumsinya bersifat lokal; mengembangkan koperasi perikanan disertai dukungan teknologi informasi; serta pengelolaan bersama wilayah laut. 

Kebijakan berikutnya adalah penerapan re-grabbing perikanan sebagai perwujudan DB. Pasalnya, perikanan industrial kerap merampas sumber daya, ruang, serta hak akses masyarakat lokal/adat/dan nelayan tradisional. Terlebih, kebijakan penangkapan ikan terukur dicap sebagai bagian dari ekonomi biru. Persoalannya, konsep ekonomi biru mengadopsi model kebijakan neoliberalisme (privatisasi) dalam tata kelola perikanan (Said dan MacMillan, 2019). 

Pemerintah juga perlu mereformasi kelembagaan perikanan tangkap nasional. Nelayan tradisional serta masyarakat lokal dan adat harus diposisikan sebagai produsen pangan protein nasional. Reformasi kelembagaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme konstitusional, dengan memasukkan hak alamiah sumber daya alam (natural rights) dan ruang laut (ocean rights) dalam UUD 1945. 

Berbagai upaya ini, jika dijalankan, dapat menjamin kesejahteraan nelayan serta menjaga keberlanjutan stok sumber daya ikan dan ekosistem penopangnya. Berbagai persoalan dalam sektor perikanan tangkap inilah yang menjadi pekerjaan rumah penting bagi presiden terpilih 2024.

PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan