Peluang Pengalihan Subsidi Energi Fosil demi Target Iklim
Pergantian presiden menjadi momentum tepat bagi pemerintah untuk mulai mengurangi subsidi energi fosil. Tak bijak jika dialihkan menjadi program makan siang gratis.
Rindo Sai’o dan Tiza Mafira
Climate Policy Initiative Indonesia
Pengurangan subsidi bahan bakar fosil dan pengalihan fungsinya untuk menjawab urgensi pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) serta transisi berkeadilan bukanlah gagasan baru. Dalam satu dekade terakhir, berbagai lembaga riset, organisasi pembangunan, dan pakar lingkungan konsisten menyerukan ajakan ini melalui berbagai kajian. Mereka kerap mengingatkan soal dampak pencemaran lingkungan dan krisis iklim yang ditimbulkan, hingga persoalan inefisiensi yang berujung pada penyaluran subsidi energi tidak tepat sasaran dan pemborosan anggaran negara.
Akar keraguan pemerintah menjawab seruan ini dapat dipahami dari dimensi ekonomi dan politik. Tradisi penggelontoran subsidi yang telah mengakar selama puluhan tahun membuat masyarakat terbiasa, bahkan menggantungkan kegiatan ekonomi harian pada bahan bakar fosil yang harganya disubsidi langsung. Akibatnya, pemangkasan anggaran yang signifikan dikhawatirkan memicu instabilitas sosial dan berisiko menjadikan pemerintah tidak populer.
Kekhawatiran tersebut jelas kontraproduktif dengan komitmen iklim Indonesia yang tertuang dalam Road Map Nol Emisi Karbon 2060, Enhanced NDC 2022, serta Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif JETP, khususnya dalam mencapai target bauran EBT sebesar 34 persen pada 2030. Seperti kita tahu, per akhir 2023, realisasi bauran EBT Indonesia hanya 13,1 persen. Akibatnya, pemerintah merencanakan revisi penurunan target bauran EBT pada 2025 dari 23 persen menjadi 17-19 persen.
Melihat ironi tersebut, pengalihan anggaran untuk mendukung pengembangan EBT sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap transportasi umum ramah lingkungan harus segera diupayakan. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan memiliki peluang sangat strategis melalui pergantian rezim pemerintahan pada tahun ini. Ditambah lagi, momentum aksi iklim global makin menguat, baik dari segi kesadaran lingkungan nasional maupun kerja sama internasional.
Urgensi Pengalihan Subsidi Energi Fosil
Realitas kian membengkaknya anggaran subsidi energi fosil juga merupakan persoalan global. Laporan Global Landscape of Climate Finance 2023 oleh Climate Policy Initiative (CPI) mencatat aliran pendanaan iklim global mencapai US$ 1,27 triliun pada periode 2021 dan 2022. Meski angka tersebut menjadi rekor tertinggi untuk pendanaan iklim, besaran subsidi energi fosil di seluruh dunia pada periode yang sama justru tercatat enam kali lipat lebih tinggi atau sebesar US$ 7 triliun.
Laju pertumbuhan subsidi energi fosil yang mengkhawatirkan ini menjadi perhatian bersama semua negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang sejak 2021 membahas persoalan tersebut. COP28 yang pada tahun lalu diselenggarakan di Dubai kian menegaskan komitmen global untuk meningkatkan kapasitas EBT sebanyak tiga kali lipat pada 2030 dan secara bertahap menghapus subsidi fosil yang tidak efisien.
Dinamika komitmen global tersebut menandakan pergeseran tatanan dunia. EBT dipandang menjadi sumber energi masa depan untuk menggantikan bahan bakar fosil—yang tidak hanya memperparah krisis iklim, tapi juga makin menipis pasokannya. Namun tren tersebut berseberangan dengan perkembangan terakhir di Indonesia yang baru saja menganggarkan Rp 186,9 triliun subsidi energi untuk tahun ini. Jumlah itu setara dengan US$ 12 miliar, tertinggi dalam sejarah anggaran pemerintah untuk subsidi energi.
Di sisi lain, proyeksi CPI menunjukkan Indonesia membutuhkan pendanaan iklim sebesar US$ 16 miliar per tahun untuk dapat mewujudkan target nol emisi karbon dan 87 persen bauran EBT pada 2060. Proyeksi ini sangat tinggi dibanding rata-rata pendanaan iklim Indonesia, yang setiap tahun hanya US$ 3 miliar.
Pemerintah perlu segera mengalihkan anggaran subsidi energi fosil. Bukan hanya karena nilainya sangat signifikan dan dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pendanaan iklim negara, tapi juga lantaran penyaluran subsidi energi fosil selama ini sangatlah inefisien dan tidak tepat sasaran. Hal ini dikonfirmasi oleh PT Pertamina dan data dari Kementerian Keuangan, yang menyebutkan subsidi energi fosil (solar dan Pertalite) lebih banyak dinikmati oleh dunia usaha (hingga 89 persen) dan rumah tangga mampu. Sementara itu, mereka yang seharusnya berhak mendapat subsidi, yakni kalangan rumah tangga tak mampu, hanya menikmati 5 persen dari keseluruhan subsidi.
Rincian scorecard pendanaan fosil oleh International Institute of Sustainable Development lebih jauh menjelaskan bahwa predikat C+ yang disandang Indonesia—peringkat ke-5 dari ke-8 negara G20 berstatus net oil importer—disebabkan oleh komponen utama subsidi berupa induced transfer. Artinya, lebih dari 80 persen anggaran digunakan untuk langsung mengurangi harga. Selain itu, porsi investasi ke badan usaha milik negara masih signifikan (sekitar 16 persen) untuk mendukung produksi minyak dan gas.
Garis merah yang penting ditarik dari kedua alasan di atas adalah pemerintah harus tegas dan segera mengubah haluan kebijakan subsidi energi fosil agar kita tak tertinggal dalam upaya mengurangi emisi serta pengembangan EBT sebagai sumber energi utama.
Mempopulerkan Pengalihan Subsidi
Persoalan berikutnya yang perlu dituntaskan adalah keraguan pemerintah yang kerap memandang pengurangan subsidi energi fosil sebagai kebijakan tak populer. Keraguan itu sebetulnya dapat dijawab dengan mulai membangun kesadaran masyarakat mengenai EBT sebagai sumber energi masa depan. Pemerintah juga harus menunjukkan bagaimana pengalihan subsidi energi fosil bisa lebih tepat sasaran dan bermanfaat.
Untuk meyakinkan masyarakat mengenai manfaat pengalihan subsidi energi fosil, ada dua komponen kebijakan yang dapat diambil secara serentak. Komponen pertama adalah mengubah mekanisme subsidi yang saat ini terfokus pada pengurangan harga menjadi manfaat langsung bagi kelompok masyarakat yang membutuhkan. Berdasarkan scorecard pendanaan fosil Indonesia, porsi bantuan langsung bahkan tidak sampai 0,03 persen dari subsidi energi fosil dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan nilai bantuan langsung ini perlu dipadukan dengan penguatan pemetaan data penerima dan transparansi penyalurannya.
Seiring dengan terbangunnya kesadaran masyarakat akan peran sentral EBT, pemerintah dapat menjustifikasi pengalihan subsidi fosil dengan menyalurkannya untuk pengembangan EBT dan kendaraan umum listrik yang lebih ramah lingkungan serta sektor padat manfaat. Selain strategis dalam memperbaiki pola mobilitas masyarakat, opsi kebijakan ini dapat mengurangi emisi dari sektor transportasi yang menyumbang 27 persen dari total emisi karbon Indonesia.
Ada secercah harapan ketika pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang sementara pemilihan presiden 2024 mengumumkan rencana efisiensi subsidi energi dengan menghilangkan porsi yang selama ini dinikmati masyarakat mampu. Namun pengalihan subsidi untuk membiayai program makan siang gratis bukanlah pilihan bijak. Kepentingan bersama mencapai komitmen iklim serta melindungi alam Indonesia dari dampak perubahan iklim jauh lebih penting dan mendesak.
Langkah nyata pengalihan subsidi fosil akan menghindarkan Indonesia dari ketertinggalan aksi iklim skala global, serta opportunity cost berupa mahalnya mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Pengalihan subsidi juga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil yang makin mengakar. Strategi ini penting dilakukan segera demi membangun kesiapan dan ketangguhan Indonesia menyambut masa depan yang bertumpu pada energi bersih serta pembangunan berkelanjutan.