maaf email atau password anda salah


Tiga Halangan Pemakzulan Presiden Joko Widodo

Proses pemakzulan presiden tidak semudah dulu. Ada setidaknya tiga halangan yang harus diatasi DPR bila hendak memulainya.

arsip tempo : 171494285790.

Ilustrasi. tempo : 171494285790.

Adam Setiawan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Belakangan ini isu pemakzulan kembali mencuat. Kali ini isu diembuskan oleh Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, kelompok 100 tokoh yang mendorong DPR dan MPR memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Isu serupa pernah dilemparkan oleh Denny Indrayana karena cawe-cawe Jokowi dalam pemilihan presiden 2024.

Berdasarkan UUD 1945 pasca-amendemen, proses pemberhentian presiden tidak semudah sebelum reformasi. Presiden Sukarno dulu memang pernah dilengserkan karena dinilai tidak melaksanakan haluan negara. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberhentikan dengan alasan penyalahgunaan wewenang. Pemakzulan yang menimpa Sukarno dan Gus Dur sebenarnya tidak memiliki basis hukum yang jelas karena ketentuannya masih bersifat sumir. Sedangkan ketentuan dalam UUD 1945 setelah amendemen didesain sedemikian ketat, baik secara substantif maupun prosedural, untuk proses pemakzulan.

Tidak mudah rasanya untuk dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden saat ini karena hal itu harus melalui mekanisme politik yang relatif cukup panjang. Apalagi ada unsur yang mutlak harus terpenuhi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945, yakni bahwa presiden dan/atau wakil presiden harus terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang membuat mereka tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Dalam konteks isu pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo, paling tidak ada tiga halangan yang harus diatasi dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam bingkai sistem presidensial. Ketiganya adalah kemauan politik (political will) dari DPR, terpenuhinya unsur-unsur yang menguatkan adanya pelanggaran, dan durasi dari proses pemakzulan.

Political Will

Melihat situasi dan peta politik saat ini, partai pendukung Jokowi diperkirakan masih menjadi benteng terakhir Presiden untuk menghalau isu tersebut. Namun ada masalah mengenai ke arah mana isu ini akan dibawa. Ini sebagai implikasi dari sistem multipartai, ketika preferensi partai politik anggota koalisi Jokowi terpecah selama proses pemilihan presiden 2024. PDIP dan PPP, misalnya, kini mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Partai NasDem dan PKB mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Gerindra, Golkar, dan PAN mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sehingga praktis tersisa dua partai yang berada di luar kabinet. Sedangkan preferensi politik Jokowi tentu kepada Prabowo-Gibran.

Andaipun dukungan partai kepada Jokowi tereduksi akibat perbedaan preferensi politik tersebut, inisiasi proses pemakzulan tampaknya masih sukar. Konstitusi mengatur bahwa proses itu dapat dimulai DPR jika permohonan tersebut didukung sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari total anggota DPR. Untuk mencapai jumlah itu, partai pendukung Jokowi harus menarik dukungannya dan, dengan demikian, menarik kadernya dari kabinet.

Sistem presidensial memang berbeda dari sistem parlemen, yang cenderung lebih dinamis. Giovanni Sartori (1994) menyatakan bahwa sistem presidensial, yang diterapkan negara-negara Amerika Latin seperti Brasil, Uruguay, Cile, dan Paraguay, tidak berjalan efektif, sedangkan sistem parlementer lebih fleksibel. Fleksibilitas tersebut dilihat dari syarat dan mekanisme impeachment (dakwaan).

Di ranah akademis masih ada perdebatan mengenai sistem pemerintahan Indonesia, apakah menggunakan sistem pemerintahan presidensial atau semipresidensial karena masih terasa adanya corak parlementer. Namun menyatunya sistem presidensial dan sistem multipartai mengakibatkan proses pemakzulan sejak tahap awal menjadi lebih rumit.

Seperti yang dikemukakan Sartori (1994), sistem presidensial dan multipartai cenderung mengalami kompleksitas dan instabilitas. Ini berbeda dari sistem politik Amerika Serikat, yang merupakan kombinasi sistem presidensial dan hegemoni dua partai, sehingga lebih efektif. Ini tampak dari proses pemakzulan Donald Trump, politikus Partai Republik, yang dilakukan DPR sebanyak dua kali dan bahkan ketika Donald Trump tidak lagi menjabat presiden meskipun pada akhirnya Trump diselamatkan oleh Senat, yang dikuasai anggota Partai Republik.

Unsur Pelanggaran

Banyak kalangan yang menuding Petisi 100 berupaya menjegal Prabowo-Gibran. Namun episentrum permasalahan sebenarnya berawal dari kasus etik yang menimpa Anwar Usman, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi yang notabene ipar Jokowi dan paman Gibran, yang terbukti melakukan pelanggaran etik karena memiliki konflik kepentingan dengan kasus yang sedang diperiksa.

Kendati tidak ada gelagat atau peran nyata yang dilakukan secara langsung oleh Jokowi, tapi membiarkan anaknya melaju ke gelanggang pemilihan presiden bersama Prabowo seakan-akan menjustifikasi narasi bahwa Jokowi melakukan “cawe-cawe”. Lebih jauh lagi, hal tersebut telah merobohkan tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini.

Jika gugatan Petisi 100 dipertimbangkan oleh DPR, dia masuk pada unsur pelanggaran manakah? Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, gugatan itu paling tidak harus terpenuhi dalam hal dugaan adanya unsur (1) pengkhianatan terhadap negara; (2) korupsi, penyuapan; (3) tindak pidana berat lainnya; atau (4) perbuatan tercela. Jika yang menjadi dasar pelanggaran pemakzulan adalah kecurangan pemilu dan persekongkolan Presiden dengan salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden, ia dapat masuk dalam dugaan pengkhianatan terhadap negara. Namun hal ini nantinya menjadi perdebatan alot karena ketentuan tersebut secara eksplisit mengacu pada keamanan negara, sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 104 hingga Pasal 111 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama. Karena itu, untuk menentukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden tidaklah gampang. Dibutuhkan kecermatan dan kearifan karena proses pemakzulan akan berdampak luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Durasi Pemakzulan

Pemakzulan merupakan mekanisme politik sehingga kental dengan anasir politik. Ini tampak dari keterlibatan DPR yang memiliki peran krusial. Namun pemakzulan tidak boleh lepas dari kepentingan publik yang dilanggar, sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton bahwa unsur terpenting pemakzulan adalah adanya penyalahgunaan atau pelanggaran terhadap kepercayaan publik (Cass R. Sunstein, 2009).

Pasal 7B UUD 1945 menyebutkan bahwa proses pemakzulan dilakukan secara bertahap. Pertama, DPR harus mengkaji dulu suatu gugatan secara komprehensif sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menentukan unsur pelanggarannya.

Kedua, DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Di sini bisa menjadi drama tarik-ulur karena adanya potensi konflik kepentingan dan terlanggarnya prinsip imparsial karena keberadaan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi.

Ketiga, apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Presiden terbukti melakukan pelanggaran, DPR dapat segera menggelar sidang paripurna dan meneruskan usul pemberhentian ke MPR. Namun, di tengah jalan dapat saja terjadi perubahan konstelasi politik, baik di DPR maupun MPR, sehingga syarat kuorum tak terpenuhi.

Munculnya desakan publik mengenai pemakzulan ini, seperti oleh Petisi 100, pastilah terkesan dipaksakan karena proses pemakzulan sebenarnya tidaklah mudah dan cepat. Apalagi mengingat masa bakti DPR dan Presiden juga akan segera berakhir. Tiga halangan di atas tampaknya juga masih sulit diatasi dalam waktu yang pendek ini, ketika waktu pencoblosan dalam pemilihan umum tinggal sebulan lagi.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan